Surah al-Lail 92 ~ Tafsir Ibni ‘Arabi

Dari Buku:
Isyarat Ilahi
(Tafsir Juz ‘Amma Ibn ‘Arabi)
Oleh: Muhyiddin Ibn ‘Arabi

Penerjemah: Cecep Ramli Bihar Anwar
Penerbit: Iiman
Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (MMU)

اللَّيْلُ

Al-Lail

Surah Ke-92: 21 Ayat

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

 

وَ اللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى.

وَ النَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى.

وَ مَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَ الْأُنْثَى.

إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّى. فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَ اتَّقَى.

وَ صَدَّقَ بِالْحُسْنَى.

فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى.

092:1. Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),

092:2. dan siang apabila terang benderang,

092:3. dan penciptaan laki-laki dan perempuan,

092:4. sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.

092:5. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa.

092:6. dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga),

092:7. maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.

Allah bersumpah dengan “malam” kegalapan jiwa ketika menutupi cahaya ruh. Allah juga bersumpah dengan “siang” cahaya ruh ketika terang. Dari keduanya (jiwa dan ruh) muncullah wujud kalbu yang merupakan singgasana (‘arsy) ar-Raḥmān. Sebab sesungguhnya hati terbentuk dari kesatuan ruh dan jiwa. Hati memiliki dua wajah. Yang satu mengarah kepada ruh (rūḥ) dan disebut fu’ād. Dengan wajah fu’ād ini hati menerima berbagai pengetahuan makrifat dan hakikat. Sedangkan wajah kedua mengarah kepada jiwa (nafs) dan disebut shadr. Dengan shadr ini hati memelihara berbagai rahasia dan membentuk makna-makna. Allah juga bersumpah dengan diri-Nya Yang Maha Penguasa dan Maha Bijaksana, yang telah menciptakan laki-laki yang tak lain merupakan ruh (rūḥ) dan menciptakan perempuan yang tak lain adalah jiwa (nafs). Lalu dari keduanya lahirlah hati.

Inna sa’yakum lasyattā (Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda – ayat 4). Berbeda-beda karena sebagian di antara kamu tertarik ke arah ruh dan menghadap kepada kebaikan. Ini terjadi lantaran menangnya cahaya ruh atas kegelapan jiwa. Sementara sebagian kamu cenderung ke arah nafsu dan pelanggaran kejahatan. Ini terjadi karena menangnya kegelapan jiwa atas ruh. Makna ayat ini kemudian dijelaskan secara lebih rinci dalam ayat selanjutnya: Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa (fa ammā man a‘thā wat-taqā – ayat: 5). Maksudnya, barang siapa mengutamakan pembersihan diri sehingga menolak segala yang mengabaikan dari al-Ḥaqq dan meninggalkannya degnan mudah, serta bersih dari bentuk-bentuk jiwa kotor, sehingga ia tidak pernah cenderung ke arah apa yang ditolaknya itu – dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (wa shaddaqa bil-ḥusnā – ayat: 6)… Pahala yang baik itu tak lain adalah derajat kesempurnaan yang dicapai dengan iman ilmiy. Sebab, seandainya ia tidak meyakini wujud kesempurnaan itu; Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah (Fa sanuyassiruhu lil-yusrā – ayat: 7); Dan membantunya menempuh jalan mudah yang tak lain adalah penempuhan-ruhani di jalan Allah (suluk). Allah membantunya karena ia sendiri mau memutuskan segala hal selain Dia (‘alā’iq) dan sangat yakin (akan kebenaran-Nya).

وَ أَمَّا مَنْ بَخِلَ وَ اسْتَغْنَى.

وَ كَذَّبَ بِالْحُسْنَى.

فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى.

وَ مَا يُغْنِيْ عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّى.

إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَى.

وَ إِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَ الْأُولَى.

فَأَنْذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّى.

لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى.

الَّذِيْ كَذَّبَ وَ تَوَلَّى.

وَ سَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى.

الَّذِيْ يُؤْتِيْ مَالَهُ يَتَزَكَّى.

092:8. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup,

092:9. serta mendustakan pahala yang terbaik,

092:10. maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.

092:11. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.

092:12. Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk,

092:13. dan sesungguhnya kepunyaan Kami-lah akhirat dan dunia.

092:14. Maka Kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala.

092:15. Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka,

092:16. yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman).

092:17. Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu,

092:18. yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya,

Wa ammā man bakhila was-taghnā (Dan adapun orang yang bakhil dan merasa dirinya tidak cukup – ayat: 8); memperturutkan cinta harta, mengumpulkan dan enggan bersedekah serta merasa cukup dengan hartanya, sehingga ia tidak ingin mengupayakan keutamaan karena terhijab oleh hartanya dari al-Ḥaqqserta mendustakan pahala yang terbaik (wa kadzdzaba bil-ḥusnā – ayat: 9). Maksudnya, mendustakan adanya derajat kesempurnaan dan kebaikan (al-fadhīlah) karena dirinya merasa cukup dengan kehidupan dunia saja dan terhijab dari alam cahaya dan ahkirat…. Maka kami akan menyiapkan baginya [jalan] yang sukar (fa sanuyassiruhu lil-‘usra – ayat: 10). Jelasnya, kami akan menyiapkan dirinya untuk memasuki jalan kesukaran yang tak lain dari kemerosotan dirinya dari tingkatan fitrah – yang suci – sampai ke dasar tabiat yang paling rendah, ke dasar yang serendah-rendahnya (asfala sāfilīn), tempat berbagai serangga dan belatung. Di dalam dasar yang paling rendah itu, ia meronta-ronta tak bisa lagi mengumbar syahwatnya.

Wa mā yughnī ‘anhu māluhu idzā taraddā (dan hartanya tidak manfaat baginya apabila ia telah binasa – ayat: 11). Harta yang telah ia peroleh dengan susah payah dan menghabiskan umur itu tidaklah bermanfaat baginya ketika ia jatuh ke dalam jurang sumur Jahannam yang paling dalam dan dasar nerakan Hāwiyah (api yang amat panas [al-Qāri‘ah [101]: 11).

Inna ‘alainā lalhudā (Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk – ayat: 12); Memberi petunjuk dengan memberinya bimbingan ke arah Kami: dengan cahaya akal dan panca indra; dengan menggabungkan bukti-bukti rasional (‘aqliyyah) dan dalil-dalil agama, serta dengan keteguhan di dalam memaknai dalil-dalil itu dan mencamkannya. Wa inna lanā lal-ākhirata wal-ūlā (Dan sesungguhnya kepunyaan Kami-lah akhirat dan dunia – ayat: 13). Yakni, Kami memberikan dunia dan akhirat kepada orang yang menghadap kepada Kami. Karena itu, bagi mereka yang benar-benar membersihkan diri, selain akan mendapatkan pahala akhirat, Kami juga tidak mencegah mereka untuk mendapatkan kenikmatan dunia. Sebab, barang siapa mengutamakan akhirat yang lebih mulia, maka dunia yang lebih hina tentulah akan berada di bawah telapak kakinya. Ini diisyaratkan dalam firman-Nya: Niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. (al-Mā’idah [5]: 66).

Fa andzartukum nāran talazhzhā (Maka Kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala – ayat: 14). Yang dimaksud neraka yang menyala-nyala adalah neraka besar yang lidah apinya mencapai seluruh tingkatan wujud. Itulah neraka besar yang meliputi hijab, kemurkaan (al-qahr), kebencian (al-sukhth) serta penyiksaan (ta‘dzīb). Karena itu Allah berfirman: Lā yashlāhā illal-asyqā (Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka – ayat: 15); yang sama sekali tak memiliki kesiapan, yang hakikat dirinya sudah busuk, dan yang menyekutukan Allah (syirk) di dalam empat tingkatan (al-mawāqif) (perbuatan, sifat, nama dan dzat); yang mendustakan [kebenaran] dan berpaling [dari iman] (al-ladzī kadzdzaba wa tawallā – ayat: 16). Ia mendustakan Allah karena kemusyrikannya itu, dan berpaling dari agama karena pembangkangannya.

Wa sayujannabuh-al-atqā (dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu – ayat: 17). Maksudnya, orang yang bertakwa dari segala hal selain Allah, baik dzat, sifat maupun perbuatannya, akan dijauhkan dari api neraka itu. Mereka yang bertakwa itu menjauhi segala hal selain Allah, dengan cara tenggelam di dalam hakikat Penyantun (‘ayn-al-jam‘). Itulah mereka yang paling takwa secara mutlak, yang tidak pernah hanyut di dalam hal-hal selain Allah. Sebab, jika mereka sedikit saja abai dalam hal-hal selain Allah, maka (ketika disadarkan kembali) mereka akan melihat Allah dan akan diadzab dengan sebagian neraka. Adapun orang takwa, ada kalanya ia tidak dijauhkan dari seluruh tingkatan neraka, misalnya orang yang membersihkan diri dari bentuk-bentuk sifat kotor dan perbuatan tercela, tetapi ia masih memandang ada sifat-sifat selain Allah; maka sekalipun dosanya akan diampuni, tetapi ia akan dihalangi dari ruh Dzat dan kelezatan al-muqarrabūn (orang-orang yang didekatkan) kepada hijab paling dekat ke wujud-Nya.

Al-ladzī yu’tī mālahu yatazakkā (yang menafkahkan hartanya [di jalan Allah] untuk membersihkannya – ayat: 18). Jelasnya, orang yang memberikan harta dalam keadaan suci dari “kotoran mencintai berbagai sekutu Allah” dan dari mencintai segala hal selain Allah, sambil membersihkan diri dari syirik khafiy (tersembunyi).

وَ مَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِّعْمَةٍ تُجْزَى.

إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى.

وَ لَسَوْفَ يَرْضَى

092:19. padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,

092:20. tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi.

092:21. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.

Wa mā li aḥadin ‘indahu min ni‘matin tujzā (Padahal tidak ada seorang pun yang memberikan nikmat kepadanya yang harus dibalas – ayat: 19). Maksudnya, mereka memberikan harta bukan untuk balas budi, bukan pula untuk tukar-menukar, kecuali semata-mata untuk mencari wajah Tuhannya Yang Maha Tinggi (illa-btighā wajhi rabbih-il-a‘lā – ayat: 20), dengan menjauhi segala hal selain Allah. Sementara itu, karena mereka berada dalam tingkatan takwa yang paling tinggi, maka wajah Allah yang tak lain adalah “Dzat berikut seluruh sifat-Nya” itu pun disifati dengan sifat Yang Maha Tinggi (al-‘alā). Kenapa demikian? Alasannya adalah sebagai berikuti: Sesungguhnya setiap nama Allah menunjukkan satu dari sekian wajah-Nya. Karena itu, Allah memiliki wajah tersebut. Misalnya, jika seseorang berdoa sekhidmat-khidmatnya kepada Allah dengan nama-Nya tertentu – misalnya Yā Razzāq (Wahai Maha Pemberi Rezeki) – maka Dia akan menampakkan-Diri kepada orang tersebut melalui wajah-Nya yang ditunjukkan oleh nama-Nya itu; begitu pula jika ia beribadah kepada-Nya sekhusyuk-khusyuknya, maka, sesuai dengan kapasitas kesiapan-ruhani orang tersebut, Dia akan menampakkan Diri kepadanya melalui wajah tertentu pula. Dengan alasan itu, maka wajah-Nya Yang Paling [Maha] Tinggi [al-Wajh-ul-A‘lā] – yang disebutkan dalam ayat di atas – itu tak lain adalah wajah-Nya yang ditunjukkan oleh dan sesuai dengan nama-Nya Yang Paling Tinggi itu pun mencakup pula seluruh nama-Nya. Karena itu, sekalipun ayat di atas menyebutkan nama Yang Paling Tinggi itu hanya sebagai sifat Tuhan saja, tetapi Tuhan sendiri pun hakikatnya tak lain adalah nama-Nya Yang Paling Tinggi itu.

Wa la saufa yardhā (dan kelak ia benar-benar mendapat kepuasan – ayat: 21); ia merasa puas karena telah sampai kepada-Nya, di dalam hakikat Kesatuan (‘ayn-ul-jam‘) dan di dalam penyaksian dzātiy (al-syuhūd-udz-dzātiy). Kemudian, setelah sampai di dalam hakikat Kesatuan itu, ia menyaksikan wajah-Nya Yang Maha Tinggi itu pada saat terlibat aktif di tengah-tengah kemajemukan makhluk (yang tak lain adalah manifestasi dari ragam nama-namaNya [fi maqām tafshīl]); tegasnya, pada saat ia kembali baqā’ sehabis fanā’ (al-baqā’ ba‘d-al-fanā’). Ini semua dicapai semata-mata karena keridhaan Tuhan dan kemurahan-Nya berikut seluruh sifat-Nya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *