Surah al-Lail 92 ~ Tafsir al-Jailani

Dari Buku: TAFSIR al-Jaelani
Oleh: Syekh ‘Abdul-Qadir Jaelani
Penerjemah: Abdul Hamid

Penerbit: PT. SAHARA intisains

Surah ke 092; 21 ayat
Al-Lail
(malam).

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Pembuka Surah al-Lail

Orang yang diperlihatkan kepadanya semua ciptaan Sang Haqq dan keadaannya, baik yang gaib maupun yang tersaksikan, pasti mengetahui bahwa turunnya kebenaran dari alam ketuhanan menuju cakrawala kemanusiaan, itu melalui beberapa fase yang berbeda-beda dan keadaan yang bermacam-macam.

Karena itulah Allah s.w.t. bersumpah dengan keadaan yang bersifat gaib dan yang tersaksikan serta dengan pencampuran keduanya yang berada di tabir yang menyatukan sifat kemanusiaan, di mana sifat kemanusiaan juga mencakup sifat gaib dan tersaksikan yang menghasilkan berbagai macam taklif ilahiyah. Setelah memberikan keberkahan, Allah s.w.t. berfirman: (بِسْمِ اللهِ) [Dengan menyebut nama Allah] yang menampakkan nama-namaNya yang tidak terbatas, (الرَّحْمنِ) [Yang Maha Pemurah] kepada semua ciptaan-Nya di mana Dia menciptakan mereka melalui Dzat-Nya supaya semua menghadap kepada-Nya dengan penuh ketaatan, (الرَّحِيْمِ) [lagi Maha Penyayang] kepada satu macam manusia dengan cara Dia memberitahukan kepadanya jalan rahasia dan batasan-batasannya yang hakiki melalui berbagai lembaran yang berharga.

Ayat 1.

(وَ اللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى) [Demi malam apabila menutupi] maksudnya: atas nama identitas kegaiban Ilahi yang bersemayam di tempat tersembunyi nan berawan, dan ditutupi oleh berbagai macam warna yang menghasilkan nama-nama dan sifat-sifatNya, karena kuatnya kilauan warna tersebut.

Ayat 2.

(وَ النَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى) [Dan siang apabila terang-benderang] maksudnya: atas nama identitas ketersaksian Ilahi yang muncul di alam keterlihatan dan keterjelasan, yang menampakkan pengaruh-pengaruh nama dan sifat-Nya untuk suatu hikmah besar, di mana hikmah itu dihasilkan oleh perasaan iman dan ma‘rifat atas pengaruh tersebut:

Ayat 3.

(وَ مَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَ الْأُنْثَى) [Dan penciptaan laki-laki dan perempuan] maksudnya: atas nama Dzat-Nya Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana yang telah menciptakan, menentukan, dan membentuk alam manusia yang disifati dengan sifat Rahman dan yang – dalam dirinya – terhimpun semua tingkatan alam, di mana Allah s.w.t. menyisipkan dan menitipkan kepadanya sebagian sifat ketuhanan yang gaib dan sifat kemanusiaan yang nyata. Kemudian manusia dibebani dengan berbagai tanggungjawab yang sulit untuk menaikkannya dari sifat kemanusiaan yang paling rendah menuju sifat ketuhanan yang paling tinggi. Karena itulah Allah s.w.t. menjadikan manusia sebagai khalifah dan lebih memilihnya untuk memangku jabatan tersebut dibandingkan semua ciptaan-Nya yang lain, supaya ia meraih posisi yang mengandung kemaslahatan tertinggi dan karakteristik yang mulia. Allah s.w.t. juga menciptakan pasangan bagi manusia supaya ia bisa terus berkembang di alam zhahir dan posisinya semakin baik, di mana posisi inilah yang menjadi tujuan tertinggi keberadaan manusia di alam zhahir.

Kemudian, sebagai jawaban atas sumpah dan sebagai titah bagi setiap manusia yang berfungsi untuk mendidik dan memperingatkan mereka pada kerusakan dan kemaslahatan mereka, Allah s.w.t. berfirman:

Ayat 4.

(إِنَّ سَعْيَكُمْ) [Sesungguhnya usaha kamu] yang kamu kerjakan di dunia, wahai orang-orang mukallaf, (لَشَتَّى) [memang berbeda-beda] dan beraneka ragam sesuai dengan perbedaan bagian yang dititipkan Allah s.w.t. kepadamu.

Ayat 5.

(فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى) [Adapun orang yang memberikan] rezeki materi maupun immateri yang telah dikaruniakan Allah s.w.t. kepadanya seraya diiringi dengan kekhusya‘an, ketundukan, ketulusan niat dan maksud, dan berbagai macam ketaatan dan ibadah yang diperintahkan kepadanya: (وَ اتَّقَى) [dan bertakwa] serta menjauhkan diri dari segala macam keharaman dan larangan-Nya.

Ayat 6.

(وَ صَدَّقَ بِالْحُسْنَى) [Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga)] maksudnya: membenarkan adanya kebutuhan terhadap nama-nama Ilahi dan jejak-jejak sifat-Nya yang luhur, yang tidak terhingga.

Ayat 7.

(فَسَنُيَسِّرُهُ) [Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya], menyediakan untuknya, dan memberi petunjuk kepadanya menuju (لِلْيُسْرَى) [jalan yang mudah], yang akan mengantarkannya kepada tujuan tauhid dan ma‘rifat, di mana kedua hal ini dapat menyelamatkannya dari keragu-raguan dan angan-angan yang menyesatkan.

Ayat 8.

(وَ أَمَّا مَنْ بَخِلَ) [Dan adapun orang-orang yang bakhil] dan tidak mau menafkahkan hartanya sesuai dengan yang diperintahkan Allah s.w.t, (وَ اسْتَغْنَى) [dan merasa dirinya cukup] dari membutuhkan nama-nama Ilahi:

Ayat 9.

(وَ كَذَّبَ بِالْحُسْنَى) [Serta mendustakan pahala yang terbaik].

Ayat 10.

(فَسَنُيَسِّرُهُ) [Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya] dan menyediakan untuknya (لِلْعُسْرَى) [(jalan) yang sukar] dan berliku, yaitu jalan kekufuran dan kemaksiatan yang akan mengantarkannya menuju lembah syahwat dan memastikan pelakunya berada di lapisan neraka yang paling bawah.

Ayat 11.

(وَ) [Dan] setelah Kami menghukumnya di akhirat karena kebakhilan dan kekufurannya, (مَا يُغْنِيْ عَنْهُ مَالُهُ) [hartanya tidak bermanfaat baginya] dalam mencegah dan menghalangi kemarahan Allah s.w.t. (إِذَا تَرَدَّى) [apabila ia telah binasa], telah jatuh, dan telah tenggelam di lembah Jahannam yang paling dasar serta berada dalam kobarang api neraka.

Kemudian, sebagai peringatan bagi orang-orang yang melampaui batas, Allah s.w.t. berfirman:

Ayat 12.

(إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَى) [Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk] maksudnya: Kami tidak memiliki kewajiban apa-apa untuk memperbaiki kalian selain hanya memberi hidayah dan petunjuk. Maka Kami pun memberi hidayah kepada kalian, namun kalian tetap tidak mau menerimanya.

Ayat 13.

(وَ إِنَّ لَنَا لَلآخِرَةَ وَ الْأُولَى) [Dan sesungguhnya kepunyaan Kami-lah akhirat dan dunia] maksudnya: kewajiban Kami hanyalah menjelaskan dan memperingatkan kalau akhirat lebih baik dari dunia. Lalu Kami menjelaskan cara hidup di dunia, dan cara mempersiapkan dan memperbanyak bekal untuk kehidupan akhirat. Namun kalian tetap tidak mau menerima penjelasan Kami dan tidak mau menjalankan apa yang sudah kami jelaskan. Meski demikian, Kami tetap menegaskan hidayah dan petunjuk bagi kalian dengan menyertakan peringatan yang sangat keras.

Ayat 14.

Maka dari itu, (فَأَنْذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّى) [Kami memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala] dan berkobar-kobar karena begitu panasnya.

Ayat 15.

Kami juga telah menjelaskan kepada kalian bahwa (لاَ يَصْلاَهَا) [tidak ada yang masuk ke dalamnya] maupun sampai kepadanya (إِلاَّ الْأَشْقَى) [kecuali orang yang paling celaka].

Ayat 16.

(الَّذِيْ كَذَّبَ) [Yang mendustakan (kebenaran)] kitab-kitab Allah s.w.t. dan hukum-hukum yang tercantum di dalamnya, (وَ تَوَلَّى) [dan (berpaling) dari beriman] kepada para rasul dan dari dakwah mereka serta tidak mau menerima perintah Kami.

Ayat 17.

(وَ) [Dan] Kami juga telah menjelaskan kepada kalian wahai orang-orang mukallaf, bahwasanya (سَيُجَنَّبُهَا) [kelak akan dijauhkan] dan dipalingkan dari api yang berkobar di bagian dasar neraka Jahīm, (الْأَتْقَى) [orang yang paling takut pada neraka itu].

Ayat 18.

(الَّذِيْ يُؤْتِيْ مَالَهُ) [Yang menafkahkan hartanya] dan menyedekahkan di jalan Allah – karena mengharapkan keridhaan-Nya – dengan cara memberikannya kepada fakir miskin demi (يَتَزَكَّى) [untuk membersihkan] dan menyucikan dirinya dari segala macam kotoran dunia sehingga tidak ada yang tersisa sedikit pun dalam hatinya selain Allah s.w.t., sampai akhirnya ia ke sidarat-ul-muntahā. Namun meskipun ada ayat-ayat semacam ini, mereka tetap tidak terperingatkan dan tidak mau memahami.

Ayat 19.

(وَ) [Dan] ringkasnya, (مَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِّعْمَةٍ تُجْزَى) [tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya] maksudnya: tidak sah dan tidak pantas seseorang menyedekahkan hartanya karena mengharapkan balasan, penggantian, maupun upah. Sebab yang pantas dengan keadaannya adalah hendaknya ia tidak memberikan sesuatu karena mengharapkan imbalan dari pihak yang memberi, yaitu Allah s.w.t.

Ayat 20.

(إِلاَّ ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى) [Tetapi (ia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Rabbnya Yang Maha Tinggi] maksudnya: ia menyedekahkan hartanya karena mengharapkan pertemuan dengan Allah s.w.t. pada hari pembalasan, bukan mencari pujian duniawi maupun pahala ukhrawi. Jadi ia berharap dapat bertemu dengan-Nya dan melihat wajah-Nya yang mulia.

Ayat 21.

(وَ لَسَوْفَ يَرْضَى) [Dan kelak ia benar-benar mendapat kepuasan] dari Allah s.w.t. karena beruntung dapat bertemu dengan-Nya saat tersingkapnya hijab.

“Ya Allah, karuniakanlah kepada kami kesempatan menemui-Mu pada hari kami menghadap Diri-Mu.”

 

Penutup Surah al-Lail

Wahai orang yang mencari keridhaan Allah s.w.t. dan berharap dapat memandang keindahan dan keperkasaan-Nya; kamu harus memperbagus adabmu kepada-Nya dalam semua keadaanmu pada saat di dunia, dan membersihkan jiwamu dari segala macam angan-angan dan harapan yang dapat memalingkanmu dari menghadap kepada-Nya. Kamu harus meninggalkan kehidupan duniawi untuk beribadah kepada Allah s.w.t., selalu berusaha dengan penuh keikhlasan, dan berharap mendapat petunjuk-Nya, maka Allah s.w.t. akan memberi hidayah kepadamu untuk menempuh jalan petunjuk.

Berhati-hatilah! Jangan sampai kamu berpaling pada perhiasan dunia yang hina. Sebab perhiasan dunia dapat mengalihkan perhatianmu dari derajat tertinggi akhirat, dan menyesatkanmu menuju lapisan terendah neraka Jahannam. Kamu harus mencampakkan semua perhiasan dunia sampai kamu terbebas dari bencana yang diakibatkannya.

 

Semoga Allah s.w.t. memasukkan kita semua ke dalam golongan orang-orang yang melarikan diri dari dunia dan isinya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *