Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir asy-Syanqithi (1/10)

Dari Buku:
Tafsir Adhwa’-ul-Bayan
(Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
(Jilid 11, Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh asy-Syanqithi

Penerjemah: Ahmad Affandi, Zubaidah Abdurrauf, Kholid Hidayatulullah, Muhammad Yusuf.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir asy-Syanqithi

سُوْرَةُ الْجِنِّ

AL-JINN (Jinn)

Surah ke 72: 28 ayat.

 

Firman Allah s.w.t.:

قُلْ أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوْا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا. يَهْدِيْ إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَ لَنْ نُّشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا.

Katakanlah (hai Muḥammad): Telah diwahyukan kepadaku bahwa sekumpulan jinn telah mendengarkan (al-Qur’ān), lalu mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’ān yang menakjubkan,” (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan Tuhan kami.”

(Qs. al-Jinn [72]: 1-2).

Di dalamnya terdapat penetapan tentang mendengarnya jinn terhadap al-Qur’ān dan kemu‘jizatannya, hidayah yang mereka dapatkan darinya dan keimanan mereka kepada Allah s.w.t. Penjelasan tentang hal itu telah dipaparkan oleh Syaikh dalam surah al-Aḥqāf pada pembahasan firman Allah: (وَ إِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُوْنَ الْقُرْآنَ.) “Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jinn kepadamu yang mendengarkan al-Qur’ān.” (Qs. al-Aḥqāf [46]: 29).

Dalam surah al-Aḥqāf terdapat penjelasan ketika terdapat sejumlah jinn yang setelah mendengarkan al-Qur’ān menemui kaumnya menjadi pemberi peringatan terhadap mereka.

Di dalamnya juga terdapat penjelasan bahwa mereka mengetahui kitab Mūsā a.s., yakni Taurāt, dan mereka bersaksi bahwa al-Qur’ān membenarkan Kitāb sebelumnya, dan ia memberi petunjuk kepada jalan yang lurus, sebagaimana firman Allah: (يَهْدِيْ إِلَى الرُّشْدِ) “(Yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar.” (Qs. al-Jinn [72]: 2).

 

Firman Allah s.w.t.:

وَ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ سَفِيْهُنَا عَلَى اللهِ شَطَطًا.

Dan bahwasanya orang yang kurang akal dari kami dahulu selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah. (Qs. al-Jinn [72]: 4).

Kata (شَطَطٌ) berarti (الْبَعِيْدُ الْمُفْرِطُ فِي الْبُعْدِ) “yang jauh melampaui batas.”

Dalam mu‘allaqah-nya Untazah berkata:

شَطَّتْ مَزَارُ الْعَاشِقِيْنَ فَأَصْبَحت عُسْرًا عَلَى طَلَابِهَا ابنت مَحْرم

Telah jauh sekali tempat ziarah orang-orang yang merindu,

Sehingga saudara semahram kesulitan mencarinya.”

Dilantunkan juga untuk selainnya:

شَطَّ الْمَزَارُ بِجَذْوَى وَ انْتَهَى الْأَمَلْ

Tempat ziarah jauh di Jadzwā dan angan-angan terhenti.”

Jadi, dalam kedua bait syair tersebut (شَطَطٌ) adalah (الْإِفْرَاطُ فِي الْبُعْدِ) “amat jauh” karena pada yang pertama ia mengatakan: (فَأَصْبَحت عُسْرًا عَلَى طَلَابِهَا), dan pada yang kedua ia mengatakan: (وَ انْتَهَى الْأَمَلْ), dan keinginan terhenti.

Al-Qur’ān menjelaskan bahwa maksud (شَطَطٌ) adalah (الْبُعْدُ الْخَاصُّ) “kejauhan yang khusus”, yakni jauh dari kebenaran, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah s.w.t. (فَاحْكُمْ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَ لَا تُشْطِطْ) “Maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran.” (Qs. Shād [38]: 22).

Di antaranya juga adalah, jauh dari tauhid yang hakiki kepada kemusyrikan, dan itulah yang dimaksud firman Allah: (لَنْ نَدْعُوَاْ مِنْ دُوْنِهِ إِلهًا، لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا) “Kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran.” (Qs. al-Kahfi [18]: 14) karena doa mereka kepada selain Allah s.w.t. adalah yang paling jauh dari kebenaran.

Maksud ini ditunjukkan dalam firman Allah: (وَ لَنْ نُّشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا.) “Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan Tuhan kami.” (Qs. al-Jinn [72]: 2).

 

Firman Allah s.w.t.:

وَ أَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيْدًا وَ شُهُبًا.

Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api”. (Qs. al-Jinn [72]: 8).

Allah s.w.t. menjelaskan maksud penjagaan, bahwa Dia menjaganya dari yang mencuri dengar, sebagaimana dalam firman-Nya: (إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِيْنَةٍ الْكَوَاكَبِ، وَ حِفْظًا) “Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, dan telah memeliharanya (sebenar-benarnya).” (Qs. ash-Shāffāt [37]: 6-7).

Allah s.w.t. menjelaskan keadaan mereka sebelum itu, bahwa mereka duduk dalam posisi mendengarkan, maka mereka mencuri kata dan menemui peramal yang kemudian ia mendustakan kalimat tersebut dengan seratus kebohongan, sebagaimana Allah s.w.t. menjelaskan bahwa panah api-panah api itu datang kepada mereka dari bintang-bintang.

Sebagaimana dalam firman Allah: (وَ لَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيْحَ وَ جَعَلْنَاهَا رُجُوْمًا لِلشَّيَاطِيْنِ) “Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaithan.” (Qs. al-Mulk [67]: 5).

 

Firman Allah s.w.t.:

وَ أَنَّا لَا نَدْرِيْ أَشَرٌّ أُرِيْدَ بِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا.

Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.” (Qs. al-Jinn [72]: 10).

Di dalamnya terdapat pernyataan bahwa jinn tidak mengetahui yang ghaib.

Allah s.w.t. juga menjelaskan: (فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنِّ أَنْ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوْا فِي الْعَذَابِ الْمُهِيْنِ) “Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jinn itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.” (Qs. Saba’ [34]: 14).

Dalam ayat ini muncul kesamaran, ketika mula-mula mereka mengatakan: (إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا. يَهْدِيْ إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ) “Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’ān yang menakjubkan,” (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya.” (Qs. al-Jinn [72]: 1-2) kemudian mereka menyatakan: (وَ أَنَّا لَا نَدْرِيْ أَشَرٌّ أُرِيْدَ بِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا.) “Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka” (Qs. al-Jinn [72]: 10)

Dalam kenyataannya, mereka saling bertanya satu sama lain ketika mereka mencoba mengetahui rahasia langit dan terhalang karena penjagaan yang ketat, dan akhirnya mereka mengakui ketika mendengarkan Qur’ān dan mengetahui sebab ketatnya penjagaan langit, karena ketika mereka dilarang, tidak terlintas dalam pikiran mereka bahwa itu lantaran adanya wahyu, sebagaimana firman Allah: (وَ أَنَّهُمْ ظَنُّوْا كَمَا ظَنَنْتُمْ أَنْ لَّنْ يَبْعَثَ اللهُ أَحَدًا.) “Dan sesungguhnya mereka (jinn) menyangka sebagaimana persangkaan kamu (orang-orang kafir Makkah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang (rasūl) pun” (Qs. al-Jinn [72]: 7)

Firman Allah: (وَ أَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيْدًا وَ شُهُبًا.) “dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api.” (Qs. al-Jinn [72]: 8) menunjukkan maksudnya, bahwa mereka berhenti mendengarkan, sebagaimana mereka mengatakan “barang siapa mendengarkan Qur’ān maka ia akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya)”. Namun seseorang menduga bahwa mereka berusaha mendengarkan meski adanya penjagaan yang ketat. Akan tetapi, Allah s.w.t. menjelaskan bahwa mereka tidak bisa mendengarkan setelah itu, sebagaimana dalam firman Allah: (إِنَّهُمْ عَنِ السَّمْعِ لَمَعْزُوْلُوْنَ) “Sesungguhnya mereka benar-benar dijauhkan daripada mendengar al-Qur’ān itu.” (Qs. asy-Syu‘arā’ [26]: 212).

 

Firman Allah s.w.t.:

وَ أَنْ لَّوِ اسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَّاءً غَدَقًا.

Dan bahwasnya jika mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).” (Qs. al-Jinn [72]: 16).

Firman Allah: (وَ أَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَىةَ وَ الْإِنْجِيْلَ وَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمء مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوْا مِنْ فَوْقِهِمْ وَ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ) “Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurāt, Injīl dan (al-Qur’ān) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka.” (Qs. al-Mā’idah [5]: 66).

(وَ لَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوْا وَ اتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَ الْأَرْضِ) “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (Qs. al-A‘rāf [7]: 96).

Jadi, semuanya adalah nash, bahwa jika umat istiqāmah di jalan yang lurus, yang kuat berpegang kepada tali Allah s.w.t., maka akan dibuka untuk mereka berkah dari langit dan bumi.

Contohnya adalah firman Allah: (فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا، يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا، وَ يُمْدِدْكُمْ بَأَمْوَالٍ وَ بَنِيْنَ وَ يَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَ يَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا.) “Maka aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu… sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun….”, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Qs. Nūḥ [71]: 10-12).

Mafhūm-nya adalah, orang yang tidak istiqāmah pada jalan maka kadang-kadang penyimpangannya atau kemusyrikannya menjadi sebab tidak mendapatkan nikmat Allah s.w.t., sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: (وَ اضْرِبْ لَهُمْ مَثَلًا رَجُلَيْنِ جَعَلْنَا لِأَحَدِهِمَا جَنَّتَيْنِ مِنْ أَعْنَابٍ وَ حَفَفْنَاهُمَا بِنَخْلٍ وَ جَعَلْنَا بَيْنَهُمَا زَرْعًا، كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ آتَتْ أُكُلَهَا وَ لَمْ تَظْلِمْ مِنْهُ شَيْئًا وَ فَجَّرْنَا خِلَالَهُمَا نَهَرًا، وَ كَانَ لَهُ ثَمَرٌ.) “Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu tiada kurang buahnya sedikit pun dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, dan dia mempunyai kekayaan besar.” (Qs. al-Kahfi [18]: 32-34).

Ini adalah nikmat yang sempurna, sebagaimana disifati oleh Allah s.w.t.:

وَ كَانَ لَهُ ثَمَرٌ فَقَالَ لِصَاحِبِهِ وَ هُوَ يُحَاوِرُهُ أَنَا أَكَثَرُ مِنْكَ مَالًا وَ أَعَزُّ نَفَرًا، وَ دَخَلَ جَنَّتَهُ وَ هُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَنْ تَبِيْدَ هذِهِ أَبَدًا، وَ مَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَ لَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى رَبِّيْ لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا، قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَ هُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِيْ خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلًا.

Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mu’min) ketika ia bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat.” Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zhalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira Hari Kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu”. Kawannya (yang mu’min) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?” Hingga (وَ أُحِيْطَ بِثَمَرِهِ فَأَصْبَحَ يُقَلِّبُ كَفَّيْهِ عَلَى مَا أَنْفَقَ فِيْهَا وَ هِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوْشِهَا وَ يَقُوْلُ يَا لَيْتَنِيْ لَمْ أُشْرِكْ بِرَبِّيْ أَحَدًا، وَ لَمْ تَكُنْ لَهُ فِئَةٌ يَنْصُرُوْنَهُ مِنْ دُوْنِ اللهِ وَ مَا كَانَ مُنْتَصِرًا) “Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membolak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-para (rack; shelf – untuk tanaman yang menjalar)nya dan dia berkata: “Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku”. Dan tidak ada bagi dia segolongan pun yang akan menolongnya selain Allah; dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya.” (Qs al-Kahfi [18]: 42-43).

Betapa malam ini sama seperti malam sebelumnya dalam hal yang dijalani oleh dunia Islam saat ini antara dua arah yang saling kontradiktif, komunisme serta kapitalisme. Kenyataannya, militer komunis yang mengingkari wujud Allah s.w.t. dan kafir kepada yang telah menciptakannya dari debu, kemudian dari sperma, kemudian menjadi seseorang, mengandalkan sedikit kemajuan teknologi antariksanya, namun ia membutuhkan umat lain untuk mengimpor gandum. Rusia sendiri akan menghilangkan sebagian cadangan emasnya untuk dibelikan gandum, dan terus-menerus membelinya dari militer kapitalisme.

Demikian juga negara-negara Islam yang mengambil perekonomiannya dari madzhab sosialisme yang berasal dari madzhab komunisme. Itu terjadi setelah melimpahnya produksi pertanian melebihi yang lainnya, sehingga mengimpor bahan-bahan makanan yang diperlukan dari negara lain. Itu adalah Sunnah Allah s.w.t. pada makhluknya, meski mereka adalah orang-orang Islam, sebagaimana Allah s.w.t. menceritakan kepada kita kisah penghuni surga: (إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوْا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِيْنَ، وَ لَا يَسْتَثْنُوْنَ، فَطَافَ عَالَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَ هُمْ نَائِمُوْنَ.) “Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari, dan mereka tidak mengucapkan, “In syā’ Allāh”, lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur.” Hingga: (فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيْمِ) “Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap-gulita.” Hingga: (قَالُوْا سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِيْنَ.) “Mereka mengucapkan: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zhalim.” (Qs. al-Qalam [68]: 17-29).

Unduh Rujukan:

  • [download id="14892"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *