Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir asy-Syanqithi (10/10)

Dari Buku:
Tafsir Adhwa’-ul-Bayan
(Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
(Jilid 11, Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh asy-Syanqithi

Penerjemah: Ahmad Affandi, Zubaidah Abdurrauf, Kholid Hidayatulullah, Muhammad Yusuf.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir asy-Syanqithi

Masalah

Dalam ayat: (وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا.) “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (Qs. al-Jinn [72]: 18) terdapat gabungan dua masalah, maka seakan-akan yang pertama menunjuk pada yang kedua dengan mafhūm-nya, dan seakan-akan yang kedua adalah manthūq-nya yang pertama karena keberadaan masjid-masjid tersebut milik Allah s.w.t. yang menuntut diperlakukan secara khusus untuk ibadah dan tidak menyekutukan-Nya.

Adapun tuntutan, diperlakukan secara khusus untuk ibadah, maka Syaikh telah menuliskan tentang hal itu dengan pembahasan sempurna pada pembahasan tentang surah al-Ḥujurāt dalam salah satu dari banyak masalah dalam firman-Nya: (يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَا تَرْفَعُوْا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَ لَا تَجْهَرُوْا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لَبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَ أَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ.) “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (Qs. al-Ḥujurāt [49]: 2).

Ia menjelaskan apa yang menjadi hak bagi Allah s.w.t. dan apa yang menjadi hak bagi Rasūlullāh s.a.w., serta kewajiban untuk mengkhususkan kepada Allah s.w.t. apa yang menjadi hak bagi-Nya.

Dia juga menjelaskan tatakrama salam kepada Rasūlullāh s.a.w., dan meletakkan tangan di atas tangan seperti dalam keadaan shalat adalah salah satu jenis ibadah yang tidak layak kecuali untuk Allah s.w.t. Pembahasan selesai.

Penggabungan di sini antara mafhūm dan manthūq dengan mafhūm yang sama, karena menunjukkan kepentingan dan perhatian yang besar terhadap masalah tersebut.

Jadi, ia menoleh kepada apa yang terdapat dalam hadits-hadits shaḥīḥ, berupa larangan yang kuat dan ancaman yang keras dalam kaitannya dengan masalah masjid dan dakwah tauhid.

Apa yang dilakukan orang-orang terdahulu dengan mendirikan masjid-masjid di atas kuburan, dan membuka pintu kemusyrikan seperti dalam hadits Ummu Salamah dan Ummu Ḥabībah r.a. dalam al-Bukhārī dan Muslim mengenai kisah keduanya kepada Rasūlullāh s.a.w. tentang apa yang mereka saksikan di Ḥabasyah sebelumnya, kemudian beliau bersabda:

أُولئِكَ كَانُوْا إِذَا مَاتَ فِيْهِمِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ أَو الْعَبْدُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا أُولئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Mereka itu jika terdapat seorang yang shalih atau hamba yang shalih di tengah-tengah mereka meninggal dunia, maka mereka membangun masjid di atas kuburannya. Mereka adalah makhluk terburuk di sisi Allah pada Hari Kiamat kelak.” (2421).

Juga hadits dalam Shaḥīḥain:

لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَ النَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسْجِدًا

Allah melaknat Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.

‘Ā’isyah berkata: “Jika bukan karena itu, maka aku akan mengeluarkan kuburannya, yakni karena khawatir dijadikan kuburan.” (2432).

Hadits al-Muwaththa’, sabda Nabi s.a.w.:

اللهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِيْ وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَاهِمْ مَسَاجِدَ.

Ya Allah, janganlah jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah. Allah sangat murka kepada suatu kaum yang menjadikan kuburan para nabinya sebagai masjid.” (2443).

Semua itu termasuk yang melarang dengan keras menggabungkan antara kuburan dengan masjid karena takut fitnah, dan merupakan sadd-udz-dzarī‘ah. Ini dipersaksikan oleh apa yang disebutkan oleh para ulama tafsir dari sebab turun ayat, bahwa jika orang Yahudi dan Nasrani memasuki sinagog dan gerejanya, maka mereka menyekutukan Allah dengan yang selain-Nya, maka Allah s.w.t. memperingatkan kaum muslim untuk tidak melakukan hal itu.

Masalah ini termasuk yang telah menyebar di kebanyakan negeri Islam, yang mendorong untuk memberikan perhatian kepadanya, dan kaitan antara ayat ini dengannya serta nash-nash Nabawi yang syarīḥ tentang masalahnya, meskipun itu berupa masjid.

Ibnu Katsīr menyebutkan dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata: “Ketika ayat ini turun di dunia, tidak ada masjid selain Masjid-ul-Ḥarām, Masjid-ul-Iliyā’ (Bait-ul-Maqdis), dan Masjid Nabawi.” (2454).

 

Peringatan

Masalah ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dari sebagian orang dalam kaitannya dengan Masjid Nabi dan ruangan setelah dimasukkan ke dalam bagian dalam masjid.

Ibnu Ḥajar menjawab hal itu dalam Fatḥ-ul-Bārī dengan pernyataannya tentang hadits ‘Ā’isyah r.a., bahwa Nabi s.a.w. bersabda saat sakit yang menyebabkan beliau meninggal dunia: (لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَ النَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسْجِدًا) “Allah melaknat Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.

‘Ā’isyah berkata: “Andai bukan karena itu, aku akan mengeluarkan kuburannya, hanya saja aku takut menjadikannya sebagai masjid.” (HR. al-Bukhārī dalam pembahasan tentang jenazah).

Pada sebagian riwayatnnya: “Hanya saja beliau takut.”

Ibnu Jarīr berkata: “Itulah yang dikatakan ‘Ā’isyah sebelum Masjid Nabi diperluas. Oleh karena itu, masjid diperluas ruangannya dengan berbentuk segitiga yang berujung runcing, sehingga tidak mudah bagi seseorang untuk shalat ke arah kuburan sambil menghadap Qiblat. Pembahasan selesai.

Kitab sirah dan tarikh Masjid Nabi menyebutkan sebagian khabar mengenai hal tersebut, di antaranya yang diriwayatkan oleh as-Samhudī dalam Wafā’-ul-Wafā’, ia berkata: Dari al-Muthallib, ia berkata: “Mereka mengambil debu dari kuburan, maka ‘Ā’isyah r.a. memerintahkan untuk menemboknya dan memukul mereka. Di dinding juga terdapat lubang, maka ia memerintahkan untuk menutupnya.”

Dikutip dari Ibnu Syaibah, Abū Ghissān bin Yaḥyā bin ‘Alī bin ‘Abd-il-Ḥamīd, ia seorang yang mengerti tentang berita Madīnah. Rumah Nabi s.a.w. di mana beliau dikubur di sana dengan Abū Bakar r.a. dan ‘Umar r.a. masih nampak hingga ‘Umar bin ‘Abd-il-‘Azīz membangun sebuah bangunan pendulum yang ada hingga saat ini, pada saat pembangunan masjid pada masa kekhalifahan al-Walīd bin ‘Abd-il-Mālik. Dibangunnya bangunan itu supaya tidak menyerupai persegi empat Ka‘bah dan supaya tidak dijadikan sebagai qiblat untuk shalat.

Abū Zaid bin Syaibah berkata: Abū Ghissān berkata: Aku mendengar sebagian ulama yang menyatakan bahwa ‘Umar bin ‘Abd-il-‘Azīz membangun rumah itu tidak sesuai bangunan aslinya. Aku juga mendengar seseorang yang menyatakan bahwa ia membangun 3 tembok di rumah Nabi s.a.w. dan tiga tembok di sisi kubur beliau. Satu tembok dari bangunan rumah Nabi s.a.w., satu tembok rumah yang diklaim dibangun pada masa ‘Umar bin ‘Abd-il-‘Azīz dan satu tembok pendulum yang nampak.

Abū Ghissān juga berkata seperti yang diceritakan oleh al-Iqsyidī: Seorang yang tsiqat mengabarkan kepadaku dari ‘Abd-ur-Raḥmān bin Mahdī dari Manshūr bin Rubai‘ah dari ‘Utsmān bin ‘Urwah, ia berkata: Aku mengantarkan ‘Umar bin ‘Abd-il-‘Azīz ke kubur Nabi s.a.w., lalu ada yang menyarankan dibangun tempat peristirahatan di masjid, namun ia pun menolak. Ia lalu berkata: “Perintah Amīr-ul-Mu’minīn harus dilaksanakan.” Aku berkata: Jika harus dibuat sebuah tempat maka hendaknya dibangun sebuah haluan, yakni tempat agar kita berzirah di belakang ruangan. Pembahasan selesai.

Al-Qurthubī berkata: “Kaum muslim sangat berhati-hati memperlakukan kubur Nabi s.a.w., maka mereka meninggikan dindingnya dan menutup jalan masuk menujunya. Mereka juga menjadikannya berposisi menjulang dari kubur beliau, karena khawatir orang-orang akan menjadikannya sebagai qiblat dalam shalat, sehingga nampak seperti penyembahan kepadanya, maka dibangun dua tembok dari kedua sudut yang berada di sebelah Utara dan dibelokkan sehingga kedua tembok itu bertemu pada sudut segitiga dari sisi Utara, supaya tidak mungkin seseorang menghadap kubur beliau. Pembahasan selesai dari Fatḥ-ul-Majīd.

Sebagian ulama berkata: “Apa yang dilakukan terhadap kuburan beliau dan kuburan kedua sahabat beliau merupakan pengabulan untuk doa beliau:

اللهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِيْ وَثَنًا يُعْبَدُ.

Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah.” (2465).

Sebagaimana Ibn-ul-Qayyūm, selaku orang yang paling menolak penyerupaan kemusyrikan seperti gurunya. Ibnu Taimiyyah, berkata:

فَأَجَابَ رَبُّ العَالَمِيْنَ دُعَاءَهُ وَ أَحَاطَهُ بِثَلَاثَةِ الْجَدْرَان
حَتَّى غَدَتْ أَرْجَاؤُهُ بِدُعَائِهِ فِيْ عِزَّةٍ وَ حِمَايَةٍ وَ صِيَان.

Maka Tuhan semesta alam mengabulkan doanya,

dan mengelilinginya dengan tiga tembok.

Hingga terkabul harapan dengan doanya,

dalam kemuliaan, penjagaan, dan pemeliharaan.”

Penulis Fatḥ-ul-Majīd berkata: “Hadits di atas menunjukkan bahwa kuburan Nabi s.a.w. jika disembah maka menjadi berhala, akan tetapi Allah s.w.t. melindunginya dengan apa yang menghalanginya dari manusia, sehingga tidak sampai kepadanya.”

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa berhala adalah sesuatu yang secara langsung berhubungan dengan penyembah dari kuburan dan peti mati yang ada di atasnya. Pembahasan selesai.

Apa yang dikatakan ini merupakan hakikat yang diambil secara jeli dari dasarnya, karena kalau saja diamankan maka kubur beliau tentu dapat dijadikan seperti berhala yang beliau khawatirkan semasa hidupnya, dan beliau doakan kepada Allah sekembalinya beliau ke haribaan-Nya, karena hal itu bertentangan dengan tauhid yang dapat menghancurkan sendi-sendi yang telah beliau bangun semasa hidupnya.

Inilah ringkasan yang paparkan dalam permasalahan ini.

 

Selayang Pandang

Di sini terdapat selayang pandang, meski saya tidak mengambil satu pendapat pun, yakni bahwa semua nash yang dipaparkan telah jelas dalam hal larangan menjadikan masjid sebagai kuburan, sehingga kuburan dulu, baru dibangun masjid, sebagaimana terdapat dalam kisah Asḥāb-ul-Kahfi: (قَالَ الَّذِيْنَ غَلَبُوْا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا) “Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadahan di atasnya”.” (Qs. al-Kahfi [18]: 21).

Maksudnya, kuburan adalah yang pertama dan masjid adalah yang kedua.

Masalah ruangan dan masjid Nabi adalah sebaliknya, karena masjid adalah yang pertama, dan memasukkan ruangan yang kedua, maka tidak bisa diaplikasikan kepadanya nash-nash tersebut menurut pandangan saya.

Di sisi lain, yang dimasukkan ke masjid bukanlah kuburan, akan tetapi ruangan, yakni dengan segala isinya.

Penulis Fatḥ-ul-Majīd telah memaparkan sebelumnya tentang definisi berhala, yaitu apa yang disembah dari dekat.

Baginya demikian, dan tidak ada orang yang shalat yang jauh dari Makkah kecuali pasti terdapat kuburan antara ia dengan Ka‘bah, serta tidak dianggap sebagai orang yang shalat ke kuburan, karena Ka‘bah berada jauh darinya dan adanya penghalang selainnya, meskipun jauhnya bersifat relatif. Demikian juga pada tema tiga kuburan dalam ruangan, ia berada jauh dari shalat langsung menghadap kepadanya.

Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah memiliki pernyataan tentang masalah tersebut, yang ringkasnya dari Majmū‘, jil. 27, h. 232. Seakan-akan ketika Nabi s.a.w. wafat dan dikuburkan di ruangan ‘Ā’isyah, ia adalah istrinya yang suci di sebelah Timur belakang masjid, tidak terdapat sesuatu pun yang termasuk dalam masjid. Kemudian keadaan berjalan demikian seterusnya hingga masa sahabat berlalu di Madīnah.

Setelah itu, pada masa Kekhalifahan al-Walīd bin ‘Abd-il-Mālik bin Marwān, sekitar satu tahun dari pembaitannya, masjid diperluas dan ruangan dimasukkan menjadi bagian dari masjid karena darurat. Al-Walīd menulis kepada wakilnya, ‘Umar bin ‘Abd-il-‘Azīz, untuk membeli ruangan dari para pemiliknya, yakni ahli waris istri-istri Nabi s.a.w., karena mereka semuanya telah meninggal. Selanjutnya ia memerintahkannya untuk membeli ruangan dan menambahkannya menjadi bagian masjid, maka ia menghancurkannya dan memasukkannya ke dalam masjid, namun ruangan ‘Ā’isyah tetap ada seperti sedia kala, dalam keadaan terkunci yang tidak mungkin seorang pun memasuki kuburan Nabi s.a.w, tidak bisa untuk menyampaikan shalawat kepadanya, tidak juga untuk memanjatkan doa, dan tidak juga untuk yang lain-lainnya, hingga saat ‘Ā’isyah pada masa hidupnya, dan ia meninggal sebelum ruangan tersebut dimasukkan, lebih dari 20 atau 30 tahun.

Pada h. 328 ia berkata: Tidak mungkin seseorang melakukan hal-hal yang dilarang di sisi kuburan beliau setelah bangunan itu tertutup dan pintunya terkunci, serta di atasnya dibangun satu tembok lagi.

Semua itu merupakan bentuk pemeliharaan kepada Nabi s.a.w., sehingga rumah dan kuburnya tidak dijadikan berhala. Jika tidak, maka telah maklum bahwa penduduk Madīnah seluruhnya adalah orang Islam, dan tiada yang mendatanginya kecuali orang Islam, dan seluruhnya mengagungkan Rasūlullāh s.a.w., maka mereka tidak melakukan hal itu untuk meremehkan kuburan yang dimuliakan, akan tetapi mereka melakukannya agar tidak dijadikan sebagai berhala yang disembah. Dan supaya tidak seperti kalangan ahl-ul-kitāb memperlakukan kuburan pada nabi mereka. Pembahasan selesai.

Telah berlalu pembahasan Ibnu Qayyūm tentang pembuatan tiga tembok dan menjadikan ujung tiga tembok Utara dalam bentuk runcing. Dan saat ini bisa disaksikan setelah Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyūm adanya pipa besi dari belakang semua itu, serta jauh dari ujung segi tiga ke Utara sekitar enam meter, yakni ukuran merupakan sebuah mihrab yang besar yang membuat jauhnya antara orang yang shalat di arah Utara dari ruangan yang dimuliakan dan antara tiga kuburan, sehingga meniadakan sama sekali hubungan antara shalat di belakangnya dengan kuburan yang agung tersebut. Walḥamdulillāhi rabb-il-‘ālamīn.

 

Catatan:


  1. 242). Diriwayatkan dari ‘Ā’isyah r.a.: Al-Bukhāri dalam pembahasan tentang shalat (no. 247), Manāqib-ul-Anshār (no. 3873) dan Muslim dalam pembahasan tentang tempat-tempat shalat (no. 16, 17, dan 18).
  2. 243). Takhrīj-nya telah dijelaskan sebelumnya.
  3. 244). HR. Mālik dalam pembahasan tentang Shalat qashar dalam perjalanan (no. 85) dan Aḥmad dalam al-Musnad (2/246).
  4. 245). Tafsīr (4/432).
  5. 246). Takhrīj-nya telah dijelaskan sebelumnya.

Unduh Rujukan:

  • [download id="14892"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *