Surah al-Ikhlash 112 ~ Tafsir Nur-ul-Qur’an (Bagian 3)

TAFSIR NUR-UL-QUR’AN
(Diterjemahkan dari: Nur-ul-Qur’an: An Enlightening Commentary into the Light of the Holy Qur’an).
Oleh: Allamah Kamal Faqih Imani
Penerjemah Inggris: Sayyid Abbas Shadr Amili
Penerjemah Indonesia: Rahadian M.S.
Penerbit: Penerbit al-Huda

Rangkaian Pos: Surah al-Ikhlash 112 ~ Tafsir Nur-ul-Qur'an

PENJELASAN

 

Keimanan pada Keesaan Allah

Keimanan pada Allah sebagai Pencipta alam raya, merupakan dasar Islam dan merupakan kriteria pemikiran, pendidikan, perilaku, dan perbuatan seorang Muslim. Semua rincian doktrin, tabiat, filsafat hidup dan lain-lain dibangun berdasarkan landasan ini (tauhid).

Dalam Islam, keimanan kepada Allah berpijak pada bukti dan argumentasi logis. Islam mengutuk taqlid buta (dalam hal keimanan). Dalam hal ini, Imām ‘Alī bin Abī Thālib a.s. dikutip telah mengatakan: “Langkah pertama agama adalah menerima, memahami dan mengetahui-Nya (Allah) dan suatu kesempurnaan pemahaman terletak pada keyakinan, dan cara berkeyakinan yang sesungguhnya adalah dengan cara ikhlas mengimani bahwa tiada tuhan selain Dia…” (171)

Doktrin Islam berakar pada keimanan murni pada keesaan Allah, Yang Maha Suci, dan bahwa tidak ada tuhan selain Dia, tak sesuatupun yang menyerupai-Nya, ataupun menentang-Nya. Allah juga melampaui segala sifat manusia yang merupakan karakteristik makhluk yang akan mati. Allah adalah Yang Maha Mutlak, Maha Mandiri, dan Maha Kaya.

Menurut doktrin Islam, keimanan terhadap keesaan Allah dapat dipahami dari empat matra berbeda:

 

1. Keimanan pada keesaan Allah dalam Diri-Nya Sendiri.

Allah Yang Maha Suci adalah Esa, Unik pada Diri-Nya Sendiri; tak sesuatu pun dari makhluk-Nya menyerupai-Nya: Dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. (QS. al-Ikhlāsh: 4).

Ini merupakan suatu fakta yang disebutkan oleh akal logis dan penalaran ilmiah. Secara logis hal ini diterima bahwa diri sebab adalah berbeda dari diri akibat.

Menarik untuk disebutkan bahwa akal manusia hanya bisa melihat hal yang merupakan suatu citra yang ia munculkan dalam pikirannya sendiri. Allah Yang Maha Suci jauh dari bisa direduksi menjadi demikian, dan itulah mengapa pikiran tidak bisa memahami Dzāt-Nya. Bagaimana bisa manusia memandang Dzāt Diri Tuhan sementara menemukan kebenaran tentang materi alam semesta saja ia tak mampu melakukannya, meski ia bisa melihat dan merasakan materi dan bisa menjelaskannya serta mengetahui akibat-akibatnya. Ia tetap tidak bisa mengetahui esensinya, kendatipun ia bisa memecahkannya ke dalam beberapa bagian atau komponen.

Bagaimana bisa ia memandang Dzāt Pencipta Yang Maha Agung, sementara al-Qur’ān menampilkan fakta ini: …..dan mereka berselisih tentang Allah; padahal Dialah Tuhan Yang Maha Keras siksaan-Nya. (QS. ar-Ra‘du: 13).

 

2. Keimanan pada Keesaan Allah dalam Sifat-sifatNya (Tauḥīd Sifat).

Hanya Dia yang memiliki sifat-sifat Yang Maha Agung. Dia mempunyai kemutlakan dalam pengetahuan, kekuasaan, kehendak, kearifan, kemandirian dan lain-lain. Dia jauh dari semua kesalahan, dan tidak seorang pun yang menyerupai-Nya dalam sifat-Nya. Adalah logis, bahwa sifat-sifat mengikuti diri (yang disifati), dan karena itulah sifat-sifat matahari berbeda dengan sifat-sifat debu. Demikian pula dengan sifat-sifat Allah yang berbeda dari sifat-sifat makhluk. Inilah pengertian firman Allah: ….. Dan kepunyaan Allah-lah (semata) (semua) nama-nama yang paling bagus, maka serulah Dia dengannya,….. (QS. al-A‘rāf: 180), atau, Maha Pengasih Maha Penyayang. (QS. al-Fātiḥah: 3). Ayat ini menerangkan bahwa hanya Dia yang memiliki sifat-sifat terpuji. Inilah pengertian firman Allah: Maha Suci Allah, Tuhan Yang Maha Besar jauh dari apa yang mereka nisbahkan kepada-Nya. (QS. ash-Shaffāt: 180).

Dengan demikian berarti, Allah jauh dari setiap kekurangan sebagaimana yang disifatkan kaum musyrik kepada-Nya. Keimanan kepada keesaan Allah dalam sifat-sifatNya tidak bisa dipahami kecuali setelah menyatakan sifat-sifat Allah yang sejati. Semua sifat yang sejati itu disebut “sifat-sifat kesempurnaan”, seperti memiliki kekuatan, ilmu, kehendak, pilihan, kehidupan, keabadian, kearifan, dan seterusnya. Hal ini berujung pada penolakan segala sifat yang bukan milik-Nya, seperti ketanpurnaan (imperfection) dan cacat, kebutuhan akan ruang dan waktu, melakukan kejahatan, inkarnasi, gerakan, memiliki anggota tubuh seperti tangan, kaki, dan seterusnya. Ini disebut “sifat-sifat keagungan Allah” atau “sifat-sifat negatif”.

 

3. Keimanan pada Keesaan Allah dalam Perbuatan-Nya (Tauḥīd Fi‘il).

Inilah kebenaran swabukti di mana perbuatan merupakan ekspresi dari diri dan sifat. Sebagaimana tangan sama sekali tidak bisa berbuat seperti pikiran, karena perbedaan alamiah antara keduanya dalam hal dzāt dan sifat, dan seperti angin yang tidak bisa berbuat seperti arus listrik, maka tak seorang pun bisa berbuat seperti Allah Yang Maha Suci. Kreativitas manusia semata-mata merupakan suatu proses pembuatan sarana-sarana bermanfaat dari hukum alam yang ditetapkan oleh Allah. Hal ini dilakukan melalui pikiran yang dianugerahkan Allah Yang Maha Tahu kepada manusia. Peranan manusia terbatas pada pengaturan partikular-partikular menurut hukum-hukum alam.

Hanya Allah Yang Maha Kuasa yang bisa menciptakan, memberi rezeki kepada manusia, menghidupkan yang mati, mematikan yang hidup, dan membangkitkannya lagi. Dia bisa berbuat apa saja yang Dia kehendaki, karena Dia adalah Tuhan Yang kuasa berbuat apapun.

Tidak ada apa pun selain Allah yang bisa mempengaruhi penciptaan. Tak seorang pun bisa menunda kehendak Allah atau melakukan apa yang Dia lakukan.

 

4. Keimanan pada Keesaan Allah dalam Ibadah (Tauḥīd ‘Ubūdiyyah).

Keimanan hakiki pada keesaan Allah Yang Maha Suci tidaklah sempurna tanpa menyembah Allah dengan ikhlas. Dialah Pencipta dan Pemilik makhluk-makhlukNya. Allah yang memberikan nikmat dan karunia-Nya kepada manusia. Karena alasan tersebut, Dia berhak diibadahi oleh hamba-Nya. Semua wahyu Ilahi telah mengajak manusia untuk tunduk dan taat kepada-Nya semata. Allah Yang Maha Suci berfirman: Sesungguhnya Aku ini Allah. Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku saja, dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku! (QS. Thāhā: 14).

Dia mengajari kepada manusia untuk mengatakan: Hanya kepada-Mu aku beribadah dan hanya kepada-Mu aku meminta pertolongan. (QS. al-Fātiḥah: 5)

Ibadah merupakan sikap syukur yang ditunjukkan kepada sumber keagungan dan rahmat, pengakuan akan karunia dan nikmat, dan penampakan atau kewajiban yang ditetapkan oleh Allah. Secara serentak, ibadah meninggalkan dampak yang menyempurnakan ruh manusia, dengan membimbing naluri keagamaan membenam pada kedalaman relung-relung jiwa manusia menuju arah yang benar. Dengan demikian, manusia tidak akan tersesat atau berakhir dalam cengkeraman kaum tiran.

Menjadi seorang hamba Allah sesungguhnya mendorong manusia untuk memutuskan rantai yang membelenggu kuat pada dirinya. Selain itu, dengan menjadi hamba Allah berarti ia menghadapkan wajah kepada-Nya, Sang Sumber kemuliaan, keindahan, dan kebenaran. Jiwa menghasratkan sifat-sifat tersebut dan berusaha meraih kemajuan dan kesempurnaan untuk sifat-sifat sempurna itu. Mereka menjadi tujuan yang paling sublim dan menjadi ideal tertinggi dari pikiran dan perbuatan manusia. Seorang Muslim mengetahui pasti bahwa Penciptanya memiliki sifat-sifat yang paling mulia. Dia Maha Adil, Maha Pengasih, Maha Bijaksana, Maha Penerima taubat, Maha Baik kepada hamba-hambaNya yang berdosa, Maha Benar dan seterusnya.

Manusia berkarya untuk merefleksikan pewarnaan sifat-sifat itu dalam kehidupannya dan membangun masyarakat manusia berikut hubungan-hubungannya berlandaskan sifat-sifat tersebut. Pada akhirnya, ia mengobjektifkan kebenaran, cinta, rahmat, dan keagungan dalam hidupnya.

Selain itu, ritus-ritus ibadah Islam mempunyai efek-efek edukasional dan pembaharuan pada kehidupan individu, kelompok dan masyarakat.

 

Doa

Ya Allah, kukuhkanlah kami dalam tauḥīd sepanjang hidup kami.

Ya Allah, seperti halnya tauḥīd, kemusyrikan itu memiliki banyak cabang. Selamat dari kemusyrikan tidaklah mungkin tanpa keagungan-Mu. Liputilah kami dengan rahmat dan kemuliaan-Mu. Ya Allah, hidupkanlah kami dalam tauḥīd, matikanlah kami dalam tauḥīd, dan himpunkanlah kami di hari kebangkitan dengan hakikat tauḥīd.

 

Catatan:


  1. 17). Nahj-ul-Balāghah, Khutbah ke-1. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *