Surah al-Ikhlash 112 ~ Tafsir Juz ‘Amma – al-Khayyath

TAFSIR JUZ ‘AMMA
Oleh: Syaikh ‘Abdullah al-Khayyath
(Imam Masjid-il-Haram)
Penerjemah: Herman Susilo, Lc.
Penerbit: GRIYA ILMU

TAFSIR SURAT AL-IKHLĀSH

Surah ke-112: 4 Ayat

Al-Ikhlāsh, Ayat 1-4:

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ. وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ

112:1. Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.

112:2. Allah adalah Ilah yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.

112:3. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan,

112:4. dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya.

 

MAKNA AYAT SECARA GLOBAL:

Allah ta‘ala berfirman: “Katakanlah wahai Muhammad dengan kesungguhan dan penuh keyakinan dan pemahaman terhadap maknanya (اللهُ أَحَدٌ) “Allah Maha Esa”, tidak ada yang menyerupai-Nya, tidak ada yang seperti-Nya, dan tidak ada yang sebanding dengan-Nya. Ash-Shamad (الصَّمَدُ), yaitu Tuan yang bergantung kepada-Nya seluruh makhluk dalam memenuhi kebutuhan mereka, dan mereka bergantung kepada-Nya dalam meraih manfaat dan menolak mudharat. Itulah sifat-sifat Ilah yang haqq yang diibadahi. Dan Dia adalah Rabb yang (لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ) “tidak beranak dan tidak pula diperanakkan”. Allah tidak memiliki anak, tidak memiliki orang tua dan tidak pula memiliki pasangan hidup, dan Dia adalah Rabb yang tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya. Tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Surat ini dinamakan al-Ikhlāsh karena ia mencakup pengesaan Allah dalam Nama-nama dan Sifat-sifatNya. Telah diriwayatkan dari Nabi s.a.w. bahwa beliau bersabda tentang keutamaannya (bahwa ia sebanding dengan sepertiga al-Qur’an. (11)).

 

FAEDAH:

1. Surat yang mulia ini mencakup tauhid Asma’ dan Shifat. Ahl-us-Sunnah menetapkan bagi Allah apa yang Allah tetapkan bagi Diri-Nya Sendiri atau apa yang Rasul-Nya s.a.w. tetapkan bagi-Nya. Dan Ahl-us-Sunnah menafikan dari-Nya apa yang Allah nafikan untuk Diri-Nya Sendiri dan apa yang dinafikan oleh Rasul-Nya tanpa takyīf, tamtsīl, taḥrīf dan ta‘thīl. (22).

2. Dalam surat ini terdapat bantahan terhadap seluruh kelompok kesyirikan dan kesesatan yang mengklaim bahwa Allah mempunyai anak. Maha Tinggi Allah setinggi-tingginya dari apa yang mereka katakan.

3. Semua sifat kesempurnaan, maka Allah yang lebih berhak memilikinya. Dan segala sifat kekurangan, maka Allah (سُبْحَانَهُ) suci darinya.

 

Catatan:


  1. 1). H.R. al-Bukhari dan Malik dari Abu Sa‘id, Ibnu Majah dari Anas bin Malik, dan beberapa jalan riwayat lain. 
  2. 2). Takyīf secara bahasa bermakna membagaimanakan atau bertanya dengan kata “kaifa” (bagaimana). Adapun secara istilah, maka takyīf ada dua bentuk: 1. Mengkhayalkan sifat-sifat Allah ta‘ala dalam bentuk tertentu yang dibayangkan di alam fikiran. Misalnya, seseorang mengkhayalkan bagaimana kaki Allah dengan mengkhayalkan kaki yang sangat besar lagi hebat yang ada dalam fikirannya. 2. Menanyakan bagaimana hakikat sifat Allah ta‘ala walaupun tanpa menyerupakannya dengan makhluk. Seperti pertanyaan seorang ahli bid‘ah kepada Imam Malik tentang bagaimana cara Allah istiwa’ di atas ‘Arsy. Perbedaan antara takyīf dan tamtsīl: Takyīf adalah menyerupakan sifat-sifat Allah ta‘ala dengan sesuatu yang tidak ada wujudnya di luar alam fikiran (kenyataan), sedangkan tamtsīl adalah menyerupakan sifat-sifat Allah ta‘ala dengan sesuatu yang ada wujudnya di luar alam fikiran. Adapun persamaan keduanya bahwa keduanya merupakan perbuatan menyerupakan Allah ta‘ala dengan makhluk, karena khayalan manusia juga adalah makhluk ciptaan Allah. Tamtsīl secara bahasa bermakna menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Adapun menurut istilah syari‘at maknanya adalah meyakini bahwa sifat-sifat Allah Yang Maha Pencipta serupa dengan sifat-sifat makhluk ciptaan-Nya. Taḥrīf secara bahasa bermakna menyimpangkan sesuatu dari hakikat, bentuk dan kebenarannya. Adapun menurut istilah syari‘at maknanya adalah memalingkan sebuah ucapan dari makna zhahirnya yang semula difahami kepada makna lain yang tidak ditunjukkan oleh rangkaian kalimatnya. Ta‘thīl secara bahasa bermakna meninggalkan dan mengosongkan. Adapun menurut istilah syari‘at maknanya adalah menolak makna yang benar di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. (-ed). 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *