Surah al-Falaq 113 ~ Tafsir al-Qur’an-ul-Majid an-Nur

Judul Buku:
TAFSĪR AL-QUR’ĀNUL MAJĪD AN-NŪR

JILID 4

Penulis: Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy
Diterbitkan oleh: Cakrawala Publishing

Surat Ke-113

AL-FALAQ

Surat al-Falaq bermakna Shubuḥ. Diturunkan di Makkah sesudah surat al-Fīl, Surat al-Falaq merupakan salah satu dari surat yang dinamakan al-Mu‘awwidzah (yang melindungi). Satunya lagi adalah surat an-Nās yang letaknya sesudah surat ini, terdiri dari 5 ayat.

 

A. KANDUNGAN ISI

Isi surat al-Falaq mendorong kita untuk beriman kepada Allah, dan supaya kita berlindung kepada Allah dari semua kejahatan makhluk. (11).

 

B. KAITAN DENGAN SURAT SEBELUMNYA

Persesuaian antara surat yang telah lalu (al-Ikhlāsh) dan surat ini adalah:

Surat yang telah lalu menjelaskan bahwa Allah yang disembah itu Esa, dan Dialah yang dituju oleh segenap makhluk. Dalam surat ini, Allah menyuruh Nabi berlindung kepada Tuhan yang menjadikan waktu Shubuḥ, dari semua kejahatan, khususnya dari kejahatan pada pendengki.

 

C. TAFSIR SURAT AL-FALAQ

Allah memerintahkan kita berlindung kepada-Nya dari macam-macam makhluk. Sanggahan pengaruh sihir terhadap Nabi.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Bismillāhirraḥmānirraḥīm

Dengan (menyebut) nama Allah Yang Maha Pemurah, yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya.

 

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ. مِنْ شَرِّ مَاخَلَقَ.

Qul a‘ūdzu bi rabbil falaqi. Min syarri mā khalaq.

“Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan yang menjadikan waktu Shubuḥ. Dari kejahatan makhluk yang diciptakan-Nya.”

(al-Falaq [113]: 1-2).

Katakanlah, hai Muḥammad: “Aku berlindung kepada Tuhan, yang menjadikan makhluk dan menciptakan alam, dari semua gangguan dan kejahatan yang akan ditimpakan kepada diriku oleh para makhluk.”

وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ.

Wa min syarri ghāsiqin idzā waqab.

“Dan dari kejahatan malam, ketika malam telah gelap.”

(al-Falaq [113]: 3).

Aku berlindung diri dari kejahatan malam, ketika malam telah menutup tabir gelapnya. Saat malam telah gelap memang menimbulkan ketakutan, karena di dalam suasana gelap itulah bersembunyi orang-orang yang jahat dan ingin melakukan gangguan dan kejahatan.

وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ.

Wa min syarrin naffātsāti fil ‘uqad.

“Dari kejahatan hembusan tukang tenung pada simpulan benang.”

(al-Falaq [113]: 4).

Aku berlindung diri dari kejahatan orang-orang yang suka menghasut dan memfitnah untuk memutuskan tali kasih-sayang dan persaudaraan di antara sesama dan suka menimbulkan percekcokan.

Dalam menafsirkan ayat ini, para ahli tafsir meriwayatkan beberapa hadits yang menyatakan bahwa Labīd ibn al-A‘sham menyihir Nabi, sehingga Nabi berkhayal bahwa dia telah membuat sesuatu atau mendatangi sesuatu. Padahal, beliau tidak membuatnya atau mendatanginya.

Kemudian Allah memberi tahu Nabi bahwa beliau telah disihir orang dan menjelaskan bahwa benda-benda alat sihirnya dilemparkan ke dalam sebuah sumur. Setelah benda-benda itu dikeluarkan dari sumur, barulah Rasūlullāh sembuh dan berkenaan dengan hal itu turunlah surat ini.

Tetapi mengatakan bahwa Nabi pernah terkena sihir berarti mengakui bahwa akal Nabi pernah dipengaruhi oleh sihir. Hal ini berarti membenarkan tuduhan orang-orang musyrik. Karena itu, kita wajib beri‘tiqad (berkeyakinan), sebagaimana ditandaskan al-Qur’ān, Nabi itu bukan seorang yang dapat disihir.

Hadits-hadits yang mengenai persoalan ini, walaupun kita akui shahihnya, tetapi itu adalah hadits-hadits yang hanya diriwayatkan oleh beberapa orang saja, yang tidak dapat kita pergunakan menjadi dasar untuk menetapkan sesuatu kepercayaan. Kita wajib percaya bahwa Nabi terpelihara dari hal-hal yang seperti itu.

Walaupun kita tidak mengakui bahwa Nabi terkena sihir, tidak berarti kita menolak adanya sihir. Boleh jadi, orang lain bisa gila lantaran disihir, tetapi mustahil Nabi akan dapat diperlakukan seperti itu, karena Allah akan melindunginya.

Lebih-lebih lagi pendapat ahli-ahli tafsir itu dapat ditolak dengan alasan bahwa surat al-Falaq ini turun di Makkah, sedangkan kejadian sihir yang menimpa Nabi, menurut mereka, terjadi di Madinah. Jelasnya, hendaklah kita berpegang kepada nash al-Qur’ān yang mengatakan bahwa Nabi tidak dapat disihir orang.

وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ.

Wa min syarri ḥāsidin idzāḥasad.

“Dan dari kejahatan pendengki apabila dia dengki.”

(al-Falaq [113]: 5).

Aku berlindung dari kejahatan para pendengki, apabila dia melaksanakan niat jahatnya. Kita mengetahui bahwa orang yang dengki berupaya sungguh-sungguh menjerumuskan orang yang tidak disukainya agar binasa. Dia menginginkan hilangnya kenikmatan dari orang-orang yang dibencinya.

Kata Abū Muslim al-Asfahānī: “Surat ini memberi isyarat bahwa sinar kebenaran telah berkembang dan bahwa kemenangan telah diperoleh oleh Nabi dalam tiga periode.”

Pertama, ketika masyarakat manusia masih dalam kegelapan yang menakutkan, maka Muḥammad-lah yang mula-mula melihat sinar terang yang menyuluh alam.

Kedua, berkembang sinar petunjuk dalam masyarakat mu’min, walaupun orang-orang musyrik terus-menerus berupaya hendak memadamkannya.

Ketiga, pada akhirnya kebenaranlah yang menang.

Maka timbullah segolongan manusia yang mendengki (membenci) para mu’min atas nikmat iman. Akan tetapi ināyah Allah memelihara para mu’min dari semua bencana yang hendak ditimbulkan oleh para pendengki itu.

Catatan:


  1. 1). Baca Muslim 6 hadits no. 264, Aḥmad 10 no. 144. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *