Surah al-Falaq 113 ~ Tafsir al-Azhar (Bagian 3)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Falaq 113 ~ Tafsir al-Azhar

BENARKAH NABI MUHAMMAD S.A.W. PERNAH KENA SIHIR?

 

Menurut dari yang dinukil oleh asy-Syihāb dari kitab “at-Ta’wīlāt” karangan Abū Bakar al-Asham dari hal peristiwa Nabi s.a.w. kena sihir. Menurut beliau ini, Hadis berkenaan dengan Nabi s.a.w. kena sihir itu adalah matrūk, artinya ialah Hadis yang mesti ditinggalkan dan tidak boleh dipakai. Karena kalau Hadis demikian diterima, berarti kita mengakui apa yang didakwakan oleh orang kafir, bahwa Nabi s.a.w. telah (mempan) kena sihir. Padahal yang demikian itu sangat bertentangan dengan Nash yang ada dalam al-Qur’an sendiri. Dengan tegas Tuhan berfirman:

وَ اللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ.

Allah memelihara engkau dari manusia.” Al-Mā’idah : 67

Dan firman Allah lagi:

وَ لَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى.

Dan tidaklah akan berjaya tukang sihir itu, bagaimanapun datangnya.” Thāhā : 69

Dan lagi kalau riwayat Hadis itu diterima, berarti kita menjatuhkan martabat nubuwwah. Dan lagi kalau Hadis itu dibenarkan, berarti bahwa sihir bisa saja membekas kepada Nabi-nabi dan orang-orang yang shalih, yang berarti mengakui demikian besar kekuasaan tukang-tukang sihir yang jahat itu sehingga dapat mengalahkan Nabi dan semuanya itu adalah tidak benar! Dan orang-orang kafir pun dapat saja merendahkan martabat Nabi-nabi dan orang-orang yang shalih itu dengan mencap “Mereka itu kena sihir.” Dan kalau benar-benar hal ini terjadi, niscaya benarlah dakwa orang-orang yang kafir, dan dengan demikian jelaslah Nabi s.a.w. ada aibnya, dan ini adalah tidak mungkin.” – Sekian disalinkan dari at-Ta’wīlāt buah tangan Abū Bakar al-Asham tersebut.

Hadis Nabi kena sihir ini termasuk dalam catatan Hadis Shaḥīḥ yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, yang berasal dari Hadis ‘A’isyah, bahwa beliau s.a.w. pernah disihir oleh seorang Yahudi dari Bani Zuraiq, namanya Labid bin al-A’sham. (لَبِيْدُ بْنُ الْأَعْصَمُ)

Dikatakan dalam Hadis itu bahwa Nabi merasa seakan-akan beliau berbuat sesuatu padahal tidaklah pernah diperbuatnya.

Demikianlah beliau rasakan beberapa lamanya. Sampai pada suatu waktu Nabi berkata kepada ‘A’isyah: “Hai ‘A’isyah! Aku diberi perasaan bahwa Allah memberi fatwa kepadaku pada perkara yang aku meminta fatwa pada-Nya, maka datanglah kepadaku dua malaikat, yang duduk ke sisi kepalaku dan yang seorang lagi di sisi kakiku. Lalu berkata yang duduk dekat kepalaku itu kepada yang duduk di ujung kakiku: ‘Orang ini diobatkan orang!’ (Disihir? Kawannya bertanya: ‘Siapa yang mengobatkannya? (menyihirnya?)’).

Yang di kepala menjawab: “Labīd bin al-A’sham.”

Kawannya bertanya: “Dengan apa?”

Yang di kepala menjawab: “Pada kudungan rambut dan patahan sisir dan penutup kepala laki-laki, dihimpit dengan batu dalam sumur Dzi Auran.” – Tersebut di Hadis itu bahwa Nabi pergi ke sumur itu membongkar ramuan yang dihimpit dengan batu itu dan bertemu.

Dalam riwayat dari Ibnu ‘Abbās, bahwa Rasulullah s.a.w. menyuruh ‘Ali Bin Abū Thālib dan Zubair bin ‘Awwām dan ‘Ammār bin Yāsir memeriksa sumur itu dan mencari ramuan tersebut. Lalu ditimba air sumur itu dan diselami ke bawah sampai bertemu bungkusan ramuan tersebut yang dihimpit dengan batu. Yang bertemu di dalam kain kasah bungkusan itu ialah guntingan rambut Nabi s.a.w., patahan sisir beliau dan sebuah potongan kayu yang diikat dengan 11 buah ikatan dan di tiap ikatan itu ditusukkan jarum. Lalu diturunkan Allah kedua Surat ini, jumlah ayat keduanya, “al-Falaq dan an-Nās” ialah 11 ayat pula. Tiap-tiap satu ayat dibaca, dicabut jarum dan dibuka buhulnya, dan tiap satu jarum dicabut dan satu buhul diungkai, terasa satu keringanan oleh Nabi s.a.w., sehingga sampai diuraikan buhul dan dicabut jarum yang 11 itu, dan terasa oleh Nabi s.a.w. bahwa beliau sembuh sama sekali.

Lalu bertanyalah mereka kepada beliau: “Apakah orang jahat itu tidak patut dibunuh saja?

Beliau menjawab: “Allah telah menyembuhkan daku, dan aku tidak suka berbuat jahat kepada orang.”

Dalam riwayat yang dibawakan oleh al-Qusyairi pun tersebut bahwa seorang pemuda Yahudi bekerja sebagai khadam Nabi s.a.w.. Pada suatu hari anak itu dibisiki oleh orang-orang Yahudi supaya mengambil rambut-rambut Nabi yang gugur ketika disisir bersama patahan sisir beliau, lalu diserahkannya kepada yang menyuruhnya itu. Maka mereka sihirlah beliau, dan yang mengepalai mensihir itu ialah Labīd bin al-A’sham. Lalu al-Qusyairi menyalinkan lagi riwayat Ibnu ‘Abbās tadi.

Supaya kita semuanya maklum, meskipun beberapa tafsir yang besar dan ternama menyalin berita ini dengan tidak menyatakan pendapat, sebagai Tafsīr al-Qurthubī, Tafsīr al-Khāzin bagi Ibrahim al-Baghdadi; malahan beliau ini mempertahankan kebenaran riwayat itu berdasar kepada shahih riwayatnya, Bukhari dan Muslim. Namun yang membantahnya ada juga. Di antaranya Ibnu Katsīr.

Ibnu Katsīr setelah menyalinkan riwayat ini seluruhnya, membuat penutup demikian bunyinya: “Demikianlah mereka meriwayatkan dengan tidak lengkap sanadnya, dan di dalamnya ada kata-kata yang gharīb, dan pada setengahnya lagi ada kata-kata yang mengandung nakarah syadīdah (sangat payah untuk diterima). Tetapi bagi setengahnya ada juga syawāhid (kesaksian-kesaksian) dari segala yang telah tersebut itu.”

Almarhum orang tua saya dan guru saya yang tercinta, Hadhrat-usy-Syaikh Dr. ‘Abd-ul-Karīm Amrullāh di dalam Tafsir beliau yang bernama “al-Burhān” menguatkan riwayat ini juga. Artinya, bahwa beliau membenarakan Nabi s.a.w. kena sihir. Dengan alasan Hadis ini adalah shahih, Bukhari dan Muslim merawikan. Dengan menulis begitu beliau membantah apa yang ditulis oleh Syaikh Muhammad ‘Abduh di dalam Tafsir Juzu’ ‘Ammanya. Karena Syaikh Muhammad ‘Abduh menguatkan juga, sebagai yang tersebut di dalam kitab at-Ta’wīlāt, buah tangan Abu Bakar al-Asham yang telah kita salinkan di atas tadi, bahwa tidaklah mungkin seorang Nabi atau Rasul, ataupun orang yang shalih dapat terkena oleh sihir, berdasar kepada firman Tuhan sendiri di atas tadi pun telah kita salinkan, (al-Mā’idah ayat 67, dan Thāhā ayat 69). Bahwa tidak mungkin sihir dapat mengena kepada seseorang kalau Allah tidak izinkan. Dan terhadap kepada Rasul-rasul dan Nabi-nabi sudah dipastikan oleh Tuhan bahwa sihir itu akan gagal, walau dengan cara bagaimana pun datangnya.

Maka Penafsir yang sezaman dengan kita ini yang menolak Hadis itu, walaupun shahih, Bukhari dan Muslim yang merawikan, ialah Syaikh Muhammad ‘Abduh dalam Tafsir Juzu’ ‘Ammanya, al-Qasimi dengan tafsir “Maḥāsin-ut-Ta’wīl”nya yang terkenal, dan yang terakhir kita dapati ialah Sayid Quthub di dalam tafsirnya “Fī Zhilāl-il-Qur’ān” menegaskan bahwa Hadis ini adalah Hadis al-Aḥad, bukan mutawātir. Maka oleh karena jelas berlawan dengan ayat yang sharīḥ dari al-Qur’an tidak mengapa kalau kita tidak percaya bahwa Nabi Muhammad bisa terkena oleh sihir walaupun perawinya Bukhari dan Muslim. Beberapa Ulama yang besar-besar, di antara Imam Malik bin Anas sendiri banyak menyatakan pendirian yang tegas menolak suatu Hadis al-Aḥad kalau berlawanan dengan ayat yang sharīḥ. Misalnya beliau tidak menerima Hadis bejana dijilat anjing mesti dibasuh 7 kali, satu kali di antaranya dengan tanah. Karena di dalam al-Qur’an ada ayat yang terang jelas, bahwa binatang buruan yang digungung anjing dengan mulutnya, halal dimakan sesudah dibasuh seperti biasa dengan tidak perlu 7 kali, satunya dengan air.

Ulama yang banyak mencampurkan “Filsafat” dalam tafsirnya atau memandang segala soal dari segi Filsafat dan Ilmu ‘Alam, yaitu Syaikh Thanthawi Jauhari menulis tentang Hadis Nabi kena sihir itu demikian: “Segolongan besar ahli menolak Hadis-hadis ini dan menetapkannya sebagai merendahkan martabat Nubuwwat. Dan sihir yang menyebabkan Nabi merasa seakan-akan dia berbuat sesuatu padahal dia bukan berbuat, adalah amat bertentangan dengan Kebenaran, dipandang dari dua sudut:

Pertama: Bagaimana Nabi s.a.w. dapat kena sihir, ini adalah menimbulkan keraguan dalam syariat.

Kedua: Sihir itu pada hakikatnya tidaklah ada.

Alasan ini ditolak oleh yang mempertahankan. Mereka berkata: “Sihir itu tidaklah ada hubungannya melainkan dengan hal-hal yang biasa terjadi saja. Dia hanyalah semacam penyakit. Sedang Nabi-nabi itu dalam beberapa hal sama saja dengan kita orang biasa ini, makan minum, tidur bangun, sakit dan senang. Kalau kita mengakui kemungkinannya tidur, mesti kita akui kemungkinan beliau yang lain. Dan yang terjadi pada Nabi kita ini hanyalah semacam penyakit yang boleh saja terjadi pada beliau sebagai manusia, dengan tidak ada pengaruhnya sama sekali kepada akal beliau dan wahyu yang beliau terima.

Dan kata orang itu pula: “Pengaruh jiwa dengan jalan mantra (hembus atau tuju) kadang-kadang ada juga, meskipun itu hanya sedikit sekali. Maka semua ayat-ayat dan Hadis-hadis ini dapatlah memberi dua kesan: (1) Jiwa bisa berpengaruh dengan jalan membawa mudharrat, dan jiwa pun bisa berpengaruh membawa yang baik. Maka si Labīd bin al-A’sham orang Yahudi itu telah menyihir Nabi dan membekaskan mudharrat. Namun dengan melindungkan diri kepada Allah dengan kedua Surat “Al-Falaq” dan “An-Nās”, mudharrat itu hilang dan beliau pun sembuh.” – Sekian Syaikh Thanthawi Jauhari.

Tetapi ada satu lagi yang perlu diingat! Kedua Surat ini tidak turun di Madinah, tetapi turun di Makkah, dan di Makkah belum ada perbenturan dengan Yahudi.

Sekarang mari kita lihat pula betapa pendapat Jarullāh az-Zamakhsyarī di dalam tafsirnya “Al-Kasysyāf”. Tafsir beliau terkenal sebagai penyokong Aliran Mu’tazilah, sebagai ar-Rāzī penyokong Mazhab asy-Syāfi’ī. Penganut faham Mu’tazilah tidaklah begitu percaya terhadap pengaruh sihir, atau mantra atau tuju sebagai yang kita katakan di atas tadi.

Sebab itu maka seketika menafsirkan ayat 4: “Dan daripada kejahatan perempuan-perempuan yang meniup pada buhul-buhul,” beliau menafsirkan demikian:

“Perempuan-perempuan yang meniup, atau sekumpulan perempuan tukang sihir yang membuhulkan pada jahitan, lalu disemburnya dengan menghembus. Menyembur ialah menghembus sambil menyemburkan ludah. Semuanya itu sebenarnya tidaklah ada pengaruh dan bekasnya, kecuali kalau di situ ada semacam ramuan yang termakan yang memberi mudharrat, atau terminum atau tercium, atau yang kena sihir itu menghadapkan perhatian kepadanya dari berbagai wajah. Tetapi Allah ‘azza wa jalla kadang-kadang berbuat juga suatu hal pada seseorang untuk menguji keteguhan hatinya, apakah dia orang yang belum mantap fahamnya atau orang awam yang masih bodoh. Maka orang-orang yang dungu dan yang berfikir tidak teratur mengatakan kesakitan yang ditimpakan Allah kepadanya adalah karena perbuatan orang! Adapun orang yang telah mendapat ketetapan pendirian karena teguh imannya tidaklah dapat dipengaruhi oleh itu.

Kalau engkau bertanya kepadaku: “Kalau demikian apakah yang dimaksud dengan bunyi ayat melindungkan diri kepada Allah dari kejahatan perempuan yang meniup pada buhul-buhul itu?

Saya akan jawab dengan tiga macam keterangan:

  1. Artinya ialah berlindung kepada Allah dari kejahatan mereka itu, yaitu membuat ramuan sihir, dan berlindung kepada Allah dari dosanya.
  2. Berlindung kepada Allah daripada kepandaian wanita-wanita itu memfitnah manusia dengan sihirnya dan penipuannya dengan kebatilan.
  3. Berlindung kepada Allah jangan sampai Allah menimpakan suatu musibah tersebab semburannya itu.” – Sekian kita salin.

Dan di dalam Tafsirnya “Al-Kasysyāf” itu tidak ada dia menyinggung-nyinggung Hadis-hadis yang mengatakan Nabi pernah kena sihir orang Yahudi itu. Karena menurut keterangan di atas, meskipun memang ada perempuan mengadakan mantra, menyembur, meniup, namun bekasnya tidak akan ada, kecuali kalau ada yang termakan, terminum, tercium atau tersentuh barang ramuan yang membahayakan. Artinya serupa juga dengan racun.

Maka menurut pendapatnya itu, sedangkan kepada manusia yang biasa tidak ada bekas hembus dan sembur itu, apa lagi kepada Nabi s.a.w.

Pendapat yang dipilih oleh penafsir Abū Muslim lain lagi. Beliau menafsirkan ayat berlindung daripada kejahatan perempuan-perempuan yang meniup pada buhul-buhul itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan sihir. Menurut beliau buhul-buhul yang dimaksud di ujung ayat 4 ini ialah suatu maksud atau rencana yang telah disusun oleh seorang laki-laki. Perempuan meniup-niup itu menurut beliau ialah bujuk dan rayuan perempuan, yang dengan lemah-lembut, lenggang-lenggok gemalai terhadap laki-laki, merayu dan membujuk, sehingga maksud laki-laki yang tadinya telah bulat menjadi patah, sehingga rencananya berobah dan maksudnya bertukar. Berdasar kepada ayat 28 dari Surat 12, Surat Yūsuf:

إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيْمٌ

Sesungguhnya tipudaya kalian sangatlah besarnya, hai perempuan.”

Berapa banyaknya benteng-benteng pertahanan laki-laki menjadi runtuh berantakan karena ditembak oleh peluru senyuman dan bujuk rayuan perempuan.

Maka dapatlah kita ambil kesimpulan bahwasanya masalah tentang Hadis yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim tentang Nabi s.a.w. kena sihir oleh orang Yahudi itu, sampai sihir itu membekas kepada beliau, bukanlah baru zaman sekarang dibicarkan orang. Ibnu Qatibah telah memperbincangkannya di dalam “Ta’wīlu Mukhtalaf-il-Ḥadīts”, dan ar-Rāzī pun demikian pula. Keduanya sama-sama patut dipertimbangkan. Adapun pendapat az-Zamakhsyari yang mengadakan sama sekali pengaruh sihir, dapatlah kita tinjau kembali setelah maju penyelidikan orang tentang kekuatan Roh (Jiwa) manusia, tentang pengaruh jiwa atas jiwa dari tempat yang jauh, sebagai telepatih dan sebagainya.

Dan kita cenderunglah kepada pendapat bahwasanya Jiwa seorang Rasul Allah tidaklah akan dapat dikenai oleh sihirnya seorang Yahudi. Jiwa manusia yang telah dipilih Allah (Mushthafā) bukanlah sembarang jiwa yang dapat ditaklukkan sedemikian saja. Sebab itu maka pendapat Syaikh Thanthawi Jauhari yang menyamakan Roh Rasul dengan Roh manusia biasa, karena sama-sama makan, sama tidur, sama bangun dan sebagainya adalah satu pendapat yang meminta tinjauan lebih mendalam!

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *