Surah al-Buruj 85 ~ Tafsir Ibni ‘Arabi

Dari Buku:
Isyarat Ilahi
(Tafsir Juz ‘Amma Ibn ‘Arabi)
Oleh: Muhyiddin Ibn ‘Arabi

Penerjemah: Cecep Ramli Bihar Anwar
Penerbit: Iiman
Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (MMU)

الْبُرُوْجُ

AL-BURŪJ

Surah Ke-85: 22 Ayat

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

 

وَ السَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوْجِ. وَ الْيَوْمِ الْمَوْعُوْدِ. وَ شَاهِدٍ وَ مَشْهُوْدٍ. قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُوْدِ. النَّارِ ذَاتِ الْوَقُوْدِ. إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُوْدٌ. وَ هُمْ عَلَى مَا يَفْعَلُوْنَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ شُهُوْدٌ.

85: 1. Demi langit yang mempunyai gugusan bintang,

85: 2. dan hari yang dijanjikan,

85: 3. dan yang menyaksikan dan yang disaksikan.

85: 4. Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit,

85: 5. yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar,

85: 6. ketika mereka duduk di sekitarnya,

85: 7. sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman.

Was-samā’i dzāt-il-burūj. Wal-yaum-il-mau‘ūd. Wa syāhidin wa masyhūd (Demi langit yang mempunyai gugusan bintang, dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan – ayat 1-3). Yang dimaksud langit yang mempunyai gugusan bintang adalah “langit” ruh insani yang mempunyai berbagai tingkatan maqam dan derajat ruhani. Sedangkan yang dimaksud hari yang dijanjikan adalah kiamat besar (kubrā) yang tak lain adalah tahap akhir dari penyingkapan tauhid Dzātī (11). Adapun yang dimaksud yang menyaksikan (syāhid) adalah orang yang telah menyaksikan Penyaksian Dzātī di dalam Hakikat Kesatuan (‘Ayn-ul-jam‘). Sedangkan yang disaksikan (masyhūd) adalah “Dzat dalam Keesaan-Nya Sendiri.” (adz-Dzāt-ul-Aḥadiyah). Kata syāhid (yang menyaksikan) tidak memakai al (asy-syāhid) – yang berarti kata ini bersifat umum (nakirah) dan tidak mengacu pada orang tertentu – dimaksudkan untuk mengagungkan sang syāhid. Untuk lebih jelasnya, sesungguhnya sang syāhid tidak diketahui oleh seorang pun kecuali oleh Allah semata. Ia juga tak memiliki kemampuan apa pun kecuali dari-Nya semata, karena ia telah fanā’ di dalam-Nya dan segenap diri serta energinya pun telah lenyap (“ke dalam-Nya”). Nah, bagaimana mungkin sang syāhid bisa diketahui? Sementara Yang Disaksikan itu sendiri (masyhūd) tidaklah diketahui oleh siapapun kecuali oleh Diri-Nya semata. Demi Allah, sesungguhnya Yang Disaksikan itu sendiri (masyhūd) pada dasarnya adalah juga Yang Menyaksikan (Syāhid). Tak ada perbedaan di antara keduanya kecuali dalam pikiran nalar (yang suka memilah-milah) saja.

Adapun pernyataan Allah yang diperkuat dengan sumpah dalam surah ini (jawāb qasam) hanya disebutkan secara tersirat (mahzhūf). Secara tersurat kira-kira berbunyi: Sesungguhnya kamu akan dihijab; atau sesungguhnya kamu akan dilaknat. Dalil yang menunjukkan kata-kata tersurat ini adalah ungkapan: “telah dibinasakan” dalam ayat selanjutnya (ayat 4).

Qutila ashhāb-ul-ukhdūd. An-nāri dzāt-il-waqūd (Telah dibinasakan orang-orang yang membuat parit [pembesar-pembesar Najran di Yaman]. Yang berapi [dinyalakan dengan] kayu bakar. – ayat 4-5) Kata parit, (di samping berarti parit yang dalam sejarahnya dibuat oleh para pembesar Najran untuk menyiksa orang-orang beriman, secara tafsir-ruhani bisa juga) diartikan sebagai “parit” tempat bercokolnya berbagai hawa nafsu di dalam tubuh. Karena itu, ayat ini juga bisa berarti: Sesungguhnya orang-orang yang berpaham materialisme (al-badaniyyūn), yang terhijab oleh egoisme nafsu yang bercokol di dalam “belahan-belahan atau jurang bumi” tubuh, benar-benar dilaknat. Sementara itu, ungkapan “yang berapi [yang dinyalakan] dengan kayu bakar” (ayat 5) adalah ungkapan yang menjelaskan keadaan “parit” tempat bercokolnya hawa nafsu itu. Jadi, “parit” itu benar-benar penuh gejolak api. Itulah “api efek-efek tabiat rendah” yang membakar pemilik tabiat rendah itu dengan “kayu bakar” syahwat dan angan-angan.

Idz hum ‘alaihā qu‘ūd (Ketika mereka duduk di sekitaranya – ayat 6). Maksudnya, mereka tetap tak beranjak dari “parit” api nafsu itu (di dunia), sehingga (di hari yang dijanjikan – ayat 2), tahu-tahu mereka berada di tengah-tengah lapangan Quddūs dan merasakan ruh tiupan-tiupan Ilahi.

Wa hum ‘alā ma yaf‘alūna bil-mu’minīn syuhūd (Sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman – ayat 7) Yakni, dalam keadaan seperti itu, kelak di akhirat, mereka sama-sama menyaksikan atas apa yang telah mereka perbuat terhadap “orang-orang ahli penyingkapan dan penemuan” (ahl-ul-kasyfi wal-‘ayan), seperti pencelaan, penghinaan, olok-olok, dan pengingkaran.

وَ مَا نَقَمُوْا مِنْهُمْ إِلَّا أَنْ يُؤْمِنُوْا بِاللهِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ. الَّذِيْ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ. إِنَّ الَّذِيْنَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوْبُوْا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَ لَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيْقِ.

85: 8. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mu’min itu melainkan karena orang-orang mu’min itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji,

85: 9. Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.

85: 10. Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mu’min laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka adzab Jahannam dan bagi mereka adzab (neraka) yang membakar.

Wa mā naqamū minhum illā an yu’minu billāh-il-‘azīz-il-ḥamīd (Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu, melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji – ayat 8). Jelasnya, mereka tidak mengingkari orang-orang “ahli penyingkapan dan penemuan” itu, kecuali karena ahli penyingkapan dan penemuan itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa, yang mengalahkan musuh-musuhNya dengan kemurkaan, dendam, hijab dan ketercegahan (dari rahmat-Nya); Yang Maha Terpuji, yang memberi nikmat kepada para kekasih-Nya dengan hidayah dan keyakinan penuh.

Alladzī lahu mulk-us-samāwāti wal-ardh (Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu – ayat 9). Allah menjadikan kerajaan langit dan bumi itu sebagai hijab bagi orang-orang yang malang, tapi melalui dua kerajaan itu Dia menampakkan-Diri kepada para kekasih-Nya. Dan Allah menyaksikan segala sesuatu, selalu hadir dengan menampakkan-Diri kepada para kekasih-Nya, kepada setiap atom. Karena itu, Allah mengamini mereka yang beriman dan mengingkari mereka yang ingkar.

Inn-al-ladzīna fatan-ul-mu’minīna wal-mu’mināti tsumma lam yatūbū fa lahum ‘adzābu jahannama wa lahum ‘adzāb-ul-harīq (Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan [seperti menyiksa, membunuh dan sebagainya] kepada orang-orang mu’min laki-laki dan perumpuan, kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka neraka Jahannam dan azab [neraka] yang membakar – ayat 10). Jelasnya, sesungguhnya orang-orang yang terhijab, yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang mu’min laki-laki dan perempuan, dari kalangan ahli penyaksian (syuhūd) dengan mengingkari dan menghina mereka, kemudian mereka tidak bertaubat, tak pernah beranjak dari hijab dan tak pernah sadar, maka bagi mereka neraka Jahannam, berupa efek-efek api tabiat rendah. Bagi mereka pula adalah adzab [neraka] “api” sifat kemurkaan Allah yang membakar; api sifat kemurkaan ini bertumpuk di atas api tabiat rendah. Mereka bisa tersiksa dengan “api” sifat-sifat Tuhan karena ketika tubuh mereka rubuh dan luruh, mereka sangat merindukan berbagai cahaya sifat-sifat di alam Quddūs, tetapi mereka dicampakkan dan terusir dari berbagai cahaya itu oleh murka al-Ḥaqq. Karena itu, mereka disiksa dengan dua neraka sekaligus.

إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ذلِكَ الْفَوْزُ الْكَبِيْرُ. إِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيْدٌ. إِنَّهُ هُوَ يُبْدِئُ وَ يُعِيْدُ. وَ هُوَ الْغَفُوْرُ الْوَدُوْدُ. ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيْدُ. فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيْدُ. هَلْ أَتَاكَ حَدِيْثُ الْجُنُوْدِ. فِرْعَوْنَ وَ ثَمُوْدَ. بَلِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فِيْ تَكْذِيْبٍ. وَ اللهُ مِنْ وَرَائِهِمْ مُّحِيْطٌ. بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَّجِيْدٌ. فِيْ لَوْحٍ مَّحْفُوْظٍ.

85: 11. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; itulah keberuntungan yang besar.

85: 12. Sesungguhnya adzab Tuhanmu benar-benar keras.

85: 13. Sesungguhnya Dia-lah Yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali).

85: 14. Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih,

85: 15. yang mempunyai ‘Arasy lagi Maha Mulia,

85: 16. Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.

85: 17. Sudahkah datang kepadamu berita kaum-kaum penentang,

85: 18. (yaitu kaum) Fir‘aun dan (kaum) Tsamūd?

85: 19. Sesungguhnya orang-orang kafir selalu mendustakan,

85: 20. padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka.

85: 21. Bahkan yang didustakan mereka itu ialah al-Qur’ān yang mulia,

85: 22. yang (tersimpan) dalam Lauḥ maḥfūzh.

Inn-al-ladzīna āmanu wa ‘amil-ush-shāliḥati lahum jannātun tajri min taḥtih-al-anhār. Dzālik-al-fauz-ul-kabīr (Sesungguhnya bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Itulah keberuntungan yang besar – ayat 11). Jelasnya, sesungguhnya orang-orang yang beriman, dengan keimanan sejati – yakni iman ‘aini (ul-yaqīn) dan iman ḥaqqi (ul-yaqīn) (22) – dan mengerjakan amal-amal shāliḥ, teguh di dalam menegakkan berbagai perbuatan (kehendak) Tuhan untuk menyempurnakan akhlak dan membina tata-sosial (an-nizhām); maka bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai ilmu tauhid af‘āl (perbuatan), sifat dan dzat, serta hukum-hukum penampakan Diri-Nya. Surga itu adalah tiga surga af‘āl, sifat dan dzat (33). Itulah keberuntungan besar tiada tara.

Inna bathsya rabbika lasyadīd. Innahu huwa yubdi’u wa yu‘īd. Wa huw-al-ghafūr-ul-wadūd. Dzul-‘arsy-il-majīd. Fa‘‘ālun limā yurīd (Sesungguhnya azab Tuhanmu benar-benar keras. Sesungguhnya Dialah yang menciptakan [makhluk] dari permulaan dan menghidupkannya kembali. Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. Yang mempunyai singgasana dan Maha Mulia. Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya – ayat 12-16). Jelasnya, sesungguhnya adzab Tuhanmu, dengan sifat murka-Nya Yang Hakiki dan dengan cara pemusnahan, sangatlah keras. Begitu kerasnya adzab itu hingga meludeskan (seluruh tubuh yang disiksa). Tak ada sisa dan tak ada bekas. Sesungguhnya Dia-lah yang memulai adzab itu dan mengulangi-nya kembali. Memulai adzab dengan memusnahkan berbagai perbuatan, mengulanginya dengan memusnahkan berbagai sifat, dan kemudian dengan meludeskan dirinya. Dia-lah Yang Maha Pengampun, menutupi berbagai dosa “sisa-sisa wujud kekasih-Nya” dengan cahaya-Nya. Yang Maha Pengasih kepada orang-orang yang terhijab dengan mengantarkan mereka ke sisi-Nya, memberi mereka berbagai nikmat dan memuliakan mereka dengan kesempurnaan-kesempurnaan yang tak perlu lagi dicapai melalui latihan ruhani (riyādhah). Yang Mempunyai singgasana; artinya, Dia bersemayam di atas singgasana hati para kekasih-Nya dari kalangan kaum ‘ārif. Lagi Maha Mulia, Maha Agung, menampakkan-Diri dengan sifat-sifat kesempurnaan baik dari sifat-sifat Keindahan-Nya (jamāl) maupun Keagungan-Nya (jalāl). Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya; artinya, Dia selalu bisa berbuat apa yang dikehendaki-Nya; artinya, Dia selalu bisa berbuat apa yang dikehendaki-Nya; artinya, Dia selalu bisa berbuat apa yang dikehendaki-Nya untuk menampakkan-Diri kepada kaum ‘ārif, karena keteguhan kaum ‘ārif sendiri untuk selalu bertindak sesuai dengan kehendak-Nya. Atau ayat ini juga bisa berarti: Dia selalu berkuasa untuk menghijabkan-Diri dari orang-orang ingkar dengan keagungan-Nya, juga untuk menampakkan-Diri kepada kaum ‘ārif dengan keindahan-Nya.

Hal atāka ḥadīts-ul-junūd. Fir‘auna wa Tsamūd. Bal-il-ladzīna kafaru fī takdzīb. Wallāhu min warā’ihim muḥīth. (Sudahkah datang kepadamu, berita kaum penentang, yaitu [kaum] Fir‘aun dan [kaum] Tsamud. Sesungguhnya orang-orang kafir selalu mendustakan. Padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka – 17-20). Jelasnya, sudah datangkah kepadamu cerita orang-orang yang terhijab, baik terhijab oleh egoisme, seperti Fir‘aun dan para pengikutnya, maupun terhijab oleh “sebab-sebab sekunder” (al-asbāb) atau oleh “segala hal selain Allah (al-aghyār) seperti kaum Tsamūd dan kaum lainnya? Sesungguhnya orang-orang kafir, yang terhijab secara mutlak di dalam maqam apapun dan dengan cara bagaimanapun, selalu mendustakan ahli Kebenaran (ahl-ul-ḥaqq/Ahlullāh) karena mereka selalu terpenjara oleh situasi mereka sendiri. Padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka, di atas keterpenjaraan dan keterhijaban mereka. Allah mengepung dalam arti bahwa Dia meliputi segala sesuatu, hanya saja orang-orang kafir membatasi Keserba-Meliputan-Nya. Dengan begitu mereka benar-benar ingkar.

Bal huwa qur’ānun majīd. Fī lauḥ-il-maḥfūzh. (Bahkan yang didustakan mereka itu adalah al-Qur’ān mulia, yang [tersimpan] dalam Lauḥ-ul-Maḥfūzh – ayat 21-22). Jelasnya, bahkan yang didustakan mereka itu adalah “ilmu tentang Keserba-Meliputan-Nya itu,” yaitu al-Qur’ān yang menghimpun segala ilmu. Al-Qur’ān itu mulia karena keagungan dan keserba-mencakupannya. Yang dimaksud Lauḥ (lembaran dalam ayat 22) adalah “hati Muḥammad” (al-qalb-ul-Muḥammady). Jadi, (ayat itu bisa juga) berarti: dalam “hati Muḥammad” al-Qur’ān itu terjaga (maḥfūzh) dari segala pergantian dan perubahan, ataupun dari bisikan setan berupa khayalan dan kepalsuan.

Rangkaian ayat di atas (1-21) berarti demikian jika yang dimaksud dengan hari yang dijanjikan (pada ayat 2) adalah hari kiamat besar (kubrā). Sementara itu, jika yang dimaksud dengan hari itu adalah hari kiamat kecil (sughrā) atau kematian, maka rangkaian ayat di atas menjadi berarti lain pula. Lebih jelasnya, jika yang dimaksud hari yang dijanjikan itu adalah kematian, maka yang dimaksud langit yang mempunyai gugusan bintang [burūj] (pada ayat 1) adalah “ruh yang memiliki “gugusan tubuh” [tubuh-tubuh].” Sebab, tubuh-tubuh itu adalah layaknya istana-istana (abrāj, seakar kata dengan burūj yang berarti gugusan bintang) bagi ruh; atau layaknya panca indera bagi ruh. Terlebih lagi, ruh itu keluar melesat dari tubuh tak ubahnya seperti burung merpati yang melesat terbang dari sarang-sarangnya (burūj, selain berarti gugusan bintang, juga berarti sarang-sarang). Ketika keluar dari tubuh, ruh itu menyaksikan ilmu dan amalnya.

Adapun pernyataan Allah yang diperkuat dengan sumpah-Nya dalam surah ini juga bersifat tersirat. Secara tersurat kira-kira berbunyi: Sesungguhnya orang-orang materialisme [al-badaniyyūn] itu akan dihancurkan.

Qutila ashhāb-ul-ukhdūd (Telah dibinasakan orang-orang yang membuat parit – ayat 4). Jelasnya, orang-orang pembuat “parit” berbagai hawa nafsu di dalam tubuh mereka itu, sungguh telah dibinasakan. Mereka dibinasakan karena mereka tetap tak beranjak dari “parit” berbagai hawa nafsu itu (nafsānī). (Ketika ruh keluar dari tubuh), maka, melalui lisan atau bahasa perilaku mereka sendiri, mereka menyaksikan apa yang telah mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman pada daya-daya ruhani, mereka menyaksikan apa yang telah mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman pada daya-daya ruhani, seperti perbuatan menginjak-injak mereka, mencegah mereka dari tujuan-tujuan mulia dan penyempurnaan diri mereka, menundukkan mereka di bawah ketiak nafsu dan syahwatnya, dan seterusnya (ayat 6-7). Orang-orang yang beriman pada daya-daya ruhani itu tidak diingkari kecuali semata-mata karena beriman kepada Allah Yang Maha Suci dari segala tempat dan arah; Yang Mengalahkan orang-orang terhijab dengan sifat murka-Nya; Yang Maha Terpuji dan Memberi nikmat petunjuk kepada orang-orang yang mau menerima petunjuk; Yang Tersembunyi di balik hijab penampakan kerajaan langit dan bumi; Yang Menyaksikan dan Menampakkan-Diri atas segala sesuatu (ayat 8-9).

Sesungguhnya mereka yang memfitnah (mendatangkan cobaan terhadap) orang-orang yang beriman kepada akal dan jiwa-jiwa, kemudian mereka tidak taubat dengan riyādhah dan mengupayakan berbagai watak kebaikan, tidak patuh kepada orang-orang yang beriman itu, maka mereka akan mendapat neraka “Jahannam efek-efek tabiat rendah”, dan mereka juga akan amat tersiksa oleh “neraka rindu yang membakar” kepada cahaya-cahaya Ilahi, sementara mereka selalu tercegah dari mendapatkannya (ayat 10).

Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar beriman pada daya-daya ruhani itu, dan beramal shalih dengan berbagai keutamaan dan akhlak terpuji, mereka akan mendapatkan berbagai surga dari surga-surga perbuatan dan sifat-sifatNya. Itulah surga-surga jiwa dan hati. Itulah keberuntungan dibanding dengan kerugian orang-orang terhijab tadi. Itulah keberuntungan berupa keselamatan dari api neraka. (ayat 11).

Inna bathsya rabbika (Sesungguhnya adzab Tuhanmu – ayat 12) terhadap orang-orang yang terhijab dengan adzab pembinasaan, sangatlah keras. Sebab, Dia menyiksa dengan cara terlebih dulu menyiksa mereka, membinasakan mereka dan kemudian menghidupkan kembali mereka untuk disiksa kembali. Begitu seterusnya. Dialah Yang Maha Pengampun (al-ghafūr – ayat 14) kepada orang-orang yang bertaubat dari kalangan mereka yang beriman kepada daya-daya ruhani, menutupi dosa-dosa keburukan mereka dengan cahaya rahmat-Nya; Yang Maha Pengasih (al-wadūd – ayat 14) kepada mereka dengan kasih abadi, sehingga Dia memuliakan mereka dengan melimpahkan berbagai kesempurnaan dan keutamaan; Yang Mempunyai Singgasana (dzul-‘arsy – ayat 15) dan menguasai hati, Yang Mulia (al-majīd – ayat 15) dan menyinari seluruh daya-daya dengan cahaya-Nya. Yang Maha Berkuasa [untuk selalu] berbuat apa yang dikehendaki-Nya (fa‘‘ālun limā yurīd – ayat 16); Yang menampakkan-Diri dengan berbagai tindakan-Nya ke dalam kerajaan hati. Karena itu, Dia membenarkan maqām (sikap) tawakkal, yaitu hanyut (fanā’) dalam keyakinan sepenuhnya bahwa satu-satunya perbuatan yang benar-benar hakiki hanyalah perbuatan-Nya. Wallāhu a‘lam.

Catatan:


  1. 1). Di hari kiamat kelak, orang-orang beriman akan mendapatkan kenikmatan puncak, yaitu kenikmatan melihat Allah. Ini disebutkan dalam firman-Nya: Wajah-wajah [orang-orang beriman] pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. (al-Qiyāmah [75]: 22-23). Agaknya, penglihatan kepada Allah itulah yang dimaksudkan sebagai tahap akhir dari penyingkapan tauhid Dzat. Jika di dunia hanya dimungkinkan penyingkapan terhadap sifat-sifat dan perbuatan-perbuatanNya saja, maka di akhirat penyingkapan terhadap Dzat pun dimungkinkan. Dalam penyingkapan terhadap Dzat-Nya itu, maka mereka akan benar-benar menemukan bahwa satu-satunya yang hakiki hanyalah Dzat-Nya Sendiri. Al-Kasysyani mengartikan kiamat besar sebagai kebangkitan ke dalam kehidupan hakiki, yakni menetapnya diri di dalam Al-Ḥaqq (baqā’) setelah mengalami peleburan diri (fana’) di dalam-Nya. Ini seperti diisyaratkan dalam an-Nazi‘at: 34. Lihat pula catatan kaki surah an-Naba’ no. 1. 
  2. 2). Tampaknya, yang dimaksud dengan iman ‘ainī dan iman ḥaqqī adalah sejajar dengan pengertian ‘ain-ul-yaqīn (keyakinan dengan penyaksian) dan ḥaqq-ul-yaqīn (keyakinan hakiki). ‘Ain-ul-yaqīn dan ḥaqq-ul-yaqīn adalah dua tahap lanjut dari ‘ilm-ul-yaqīn. Ketiga tingkatan keyakinan ini bisa diibaratkan dengan keyakinan tentang adanya api. Orang yang baru sampai pada tingkat pertama, ‘ilm-ul-yaqīn, ia hanya baru mendengar tentang adanya api. Sementara pada tingkat ‘ain-ul-yaqīn, ia sudah bisa menyaksikan cahaya api. Dan pada puncaknya, ḥaqq-ul-yaqīn, ia sudah benar-benar terbakar oleh api itu. 
  3. 3). Tampaknya, dalam pandangan Ibn ‘Arabi, tiga tingkatan tauhid, yaitu tauḥīd af‘al (perbuatan), tauḥīd shifat dan tauḥīd dzāt; akan pula membuahkan tiga tingkatan surga, yaitu surga af‘al, surga sifat dan surga dzat. Tentang surga perbuatan dan surga sifat, lihat catatan kaki surah an-Naba’ no. 9. Sementara itu, yang dimaksud surga dzat adalah menyaksikan “indahnya keesaan dalam Diri-Nya”. Surga ini disebut pula sebagai surga ruh (jannat-ur-rūḥ) al-Kasysyani op. cit., h. 41. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *