Surah al-Balad 90 ~ Tafsir Ibni ‘Arabi

Dari Buku:
Isyarat Ilahi
(Tafsir Juz ‘Amma Ibn ‘Arabi)
Oleh: Muhyiddin Ibn ‘Arabi

Penerjemah: Cecep Ramli Bihar Anwar
Penerbit: Iiman
Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (MMU)

 

الْبَلَدُ

AL-BALAD

Surah Ke-90: 20 Ayat

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

 

لَا أُقْسِمُ بِهذَا الْبَلَدِ.

وَ أَنْتَ حِلٌّ بِهذَا الْبَلَدِ.

وَ وَالِدٍ وَ مَا وَلَدَ.

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِيْ كَبَدٍ.

أَيَحْسَبُ أَنْ لَّنْ يَقْدِرَ عَلَيْهِ أَحَدٌ.

يَقُوْلُ أَهْلَكْتُ مَالًا لُّبَدًا.

أَيَحْسَبُ أَنْ لَّمْ يَرَهُ أَحَدٌ.

090:1. Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekkah).

090:2. dan kamu (Muḥammad) bertempat di kota Mekkah ini,

090:3. dan demi bapak dan anaknya.

090:4. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.

090:5. Apakah manusia itu menyangka bahwa sekali-kali tiada seorang pun yang berkuasa atasnya?

090:6. Dia mengatakan: “Aku telah menghabiskan harta yang banyak”.

090:7. Apakah dia menyangka bahwa tiada seorang pun yang melihatnya?

Allah bersumpah dengan kota suci yang tak lain adalah “kota” al-Quddūs yang pernah disinggahi Rasulullah s.a.w. Itulah ufuk yang paling tinggi atau “lembah suci” (al-wād al-muqaddas) (1).

Dan kamu [Muhammad] bertempat sepenuhnya “di kota suci ini” (Wa anta ḥillun bi hādzal-balad – ayat 2). Di “kota” suci itu, engkau berbuat sekehendakmu tanpa dibatasi oleh jeratan-jeratan sifat (nafsu) dirimu dan adat-istiadat.

Wa wālidin wa mā walad (dan demi bapak dan anaknya – ayat 3) Yang dimaksud bapak adalah rūḥ-ul-Quddūs yang tak lain adalah Bapak Hakiki bagi jiwa-jiwa insani. Ini seperti disebutkan ‘Īsā a.s.: Sesungguhnya aku akan pergi ke Bapakku dan Bapak Samawi kalian (innī dzāhibun ilā abī wa abīkum al-samāwī). Juga seperti disebutkan ‘Īsā a.s.: Tirulah Bapak Samawi kalian dan jiwa kalian yang lahir dari-Nya (Tasyabbahu bi abīkum al-samāwī wa nafsika allatī waladahā huwa). Yang dimaksud Bapak Samawi kalian adalah rūḥ-ul-Quddūs, dan yang dimaksud jiwa kalian yang lahir dari-Nya adalah jiwa nalar.

Laqad khalaqn-al-insāna fī (Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah [al-kabad] – ayat 4). Yang dimaksud susah payah adalah kepayahan dan penderitaan yang diakibatkan oleh hawa nafsu, penyakit batin, kerusakan hati dan kerasnya hijab. Sebab, kata al-kabad (dalam ayat ini) secara bahasa berarti hati yang keras, yang tak lain adalah pokok pangkal kekuatan tabiat rendah, kerusakan akal dan hijab hati. Lalu makna hati keras dari kata al-kabad itu dipinjam (isti‘arah) untuk menunjukkan kerasnya hijab hati dan penyakit kebodohan.

Ayaḥsabu an lan yaqdira ‘alaihi aḥad (Apakah manusia itu menyangka bahwa sekali-kali tiada yang berkuasa atasnya – ayat 5). Maksudnya, apakah orang yang keras hijab dan sakit hatinya – akibat terhijab oleh tabiat rendah – itu menyangka bahwa sekali-kali tiada yang berkuasa atasnya.

Yaqūlu ahlaktu mālan lubada (Dia berkata: “Aku telah menghabiskan harta yang banyak” – ayat 6). Jelasnya, mereka menghabiskan banyak harta untuk pamer dan bangga-banggaan; tetapi dia berkata: “Aku telah menghabiskan banyak harta untuk amal kebaikan. Ungkapan ini sebenarnya mencerminkan kebiasaan orang-orang ‘Arab (Jahiliyah). Mereka seringkali berinfak untuk sekadar dibangga-banggakan di depan orang banyak; karena kebodohan mereka, mereka menganggap bangga-banggaan seperti itu sebagai keutamaan. Jika seseorang di antara mereka berinfak untuk bangga-banggaan, ia berkata: “Aku telah [rela] menghabiskan banyak harta demi dia (khasartu ‘alaihi kadzā).”

Karena itu, Allah berfirman: Apakah dia menyangka bahwa tiada seorangpun yang melihatnya? (ayaḥsabu an lam yarahu aḥad – ayat 7). Maksudnya, apakah dia menyangka bahwa Allah tidak akan melihat gerak batin dan niatnya ketika ia berinfak untuk pamer semata (sum‘ah dan riyā’), untuk bangga-banggaan, bukannya untuk mencari ridha Allah? Berinfak seperti itu sebenarnya adalah “kehinaan di atas kehinaan,” lalu bagaimana mungkin ia menjadi keutamaan.

أَلَمْ نَجْعَلْ لَّهُ عَيْنَيْنِ.

وَ لِسَانًا وَ شَفَتَيْنِ.

وَ هَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ.

فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ.

وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ.

فَكُّ رَقَبَةٍ.

أَوْ إِطْعَامٌ فِيْ يَوْمٍ ذِيْ مَسْغَبَةٍ.

يَتِيْمًا ذَا مَقْرَبَةٍ.

أَوْ مِسْكِيْنًا ذَا مَتْرَبَةٍ.

ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ تَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَ تَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ.

أُولئِكَ أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ.

وَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِآيَاتِنَا هُمْ أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ.

عَلَيْهِمْ نَارٌ مُّؤْصَدَةٌ

090:8. Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata,

090:9. lidah dan dua buah bibir.

090:10. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.

090:11. Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?.

090:12. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?

090:13. (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan,

090:14. atau memberi makan pada hari kelaparan,

090:15. (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat,

090:16. atau orang miskin yang sangat fakir.

090:17. Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.

090:18. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.

090:19. Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri.

090:20. Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat.

Alam naj‘al lahu ‘ainain (Bukankah kami telah memberikan kepadanya dua buah mata – ayat 8). Jelasnya, bukankah kami telah memberikan kepadanya nikmat anggota-anggota tubuh yang memungkinkannya untuk mencari kesempurnaan, memetik pelajaran dan bertanya tentang apa yang tidak diketahuinya.

Wa hadaināhu (dan Kami telah menunjukkan kepadanya – ayat 10) (najdain) dua jalan kebaikan dan keburukan.

Fa laqtaḥama al-‘aqabah (Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar [al-‘aqabah] – ayat 12). Yang dimaksud jalan yang mendaki lagi sukar [al-‘aqabah] adalah mendaki bukit terjal jiwa dan hawa nafsu yang menghijab kalbu dengan riyādhah dan mujāhadah. Lalu sesukar dan seterjal apakah ia? Jelas, orang yang tak tahu arah (buta) tak tahu kesukarannya.

Fakku raqabah ([yaitu] membebaskan budak dari perbudakan – ayat 13). Jelasnya, bukit terjal yang mesti didaki itu adalah “membebaskan budak” hati yang tertawan oleh jerat-jerat hawa nafsu dengan cara mengosongkan diri sepenuhnya (tajrīd) dari seluruh kecenderungan tabiat rendah.

Atau, jika riyādhah (latihan ruhani) belum sepenuhnya bisa mematikan seluruh kecenderungan tabiat rendah dan hawa nafsu, maka penempuhan itu bisa dilakukan dengan cara menempuh berbagai keutamaan (al-fadhā’īl), sedemikian rupa sehingga berbagai keutamaan itu menjadi watak kepribadian.

Inilah makna firman-Nya: Atau memberi makan pada hari kelaparan (au ith‘amun fī yaumin dzī masghabah) – sampai firman-Nya: … dan saling berpesan untuk berkasih sayang (wa tawāshau bil-marḥamah – ayat 14-17). Sebab, memberi makan terutama pada saat orang benar-benar membutuhkannya secara adil, adalah bagian dari keutamaan ‘iffah (kesederhanaan), bahkan ia adalah jenis ‘iffah yang paling utama. Menyusul keutamaan memberi makan adalah keutamaan keimanan (ayat 17). Keimanan juga adalah bagian dari keutamaan hikmah (kearifan), bahkan ia merupakan jenis kearifan yang paling agung. Itulah iman yang sampai pada tingkat ‘ilm-ul-yaqīn. Lalu disusul sabar terhadap berbagai kesusahan (ayat 17). Sabar juga termasuk jenis keberanian (syajā‘ah) yang paling agung. Dalam urutan ayat di atas, sabar diletakkan setelah iman karena tidak mungkin tercapai kesabaran – yang merupakan jenis keberanian paling agung – tanpa adanya keyakinan iman. Sementara itu, keutamaan yang terakhir, berkasih sayang (al-marḥamah) tak lain adalah jenis keadilan yang paling utama.

Sejenak, coba renungkanlah bagaimana Allah menyebut empat jenis keutamaan induk yang bisa menyempurnakan jiwa (secara berurutan). Allah memulai dengan ‘iffah (kesederhaan) yang merupakan keutamaan paling pokok, dan mengambil contoh keutamaan paling pokok ini dengan jenis kesederhanaan yang paling agung dan istimewa: Itulah kedermawanan. Setelah itu, Dia menyebutkan keimanan yang merupakan asas secara eksplisit. Tentu, keimanan derajatnya jauh lebih tinggi ketimbang keutamaan yang pertama. Di sini, sekali lagi, Allah mengambil contoh keutamaan kearifan (hikmah) dengan keimanan karena keimanan merupakan induk kearifan. Setelah itu Allah menyebutkan sabar karena, sekali lagi, tidak mungkin ada sabar tanpa adanya keyakinan. Akhirnya, Allah mengakhirkan keadilan karena ia merupakan urutan akhir dari berbagai keutamaan (al-fadhā’īl). Allah mencukupkan dengan menyebut kasih sayang saja – yang tak lain adalah cerminan sifat ar-Raḥmān-Nya, sebagaimana Dia juga cukup menyebut sabar sebagai contoh dari keutamaan Keberanian.

Ulā’ika ashḥāb-ul-maimanah (Mereka [orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu] adalah golongan kanan – ayat 18). Jelasnya, mereka yang disifati dengan berbagai keutamaan itulah golongan berbahagia yang disebut golongan kanan dan penghuni alam al-Quddus.

Sementara itu, orang-orang kafir kepada ayat Kami – ayat 19) yang terhijab dari sifat-sifat keutamaan itu – yang tak lain adalah ayat-ayat sejati Allah yang mengantarkan pada pengenalan (makrifat) tentang Dzat-Nya – mereka itulah golongan kiri dan penghuni alam Najis. Api “neraka efek-efek tabiat rendah” ditumpahkan dan dikuncikan di atas mereka, terpenjara di sana dan terhalang dari ruh dan tingkatan wujud selama-lamanya. Wallāhu a‘lam.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *