Surah al-‘Alaq 96 ~ Tafsir al-Jailani

Dari Buku: TAFSIR al-Jaelani
Oleh: Syekh ‘Abdul-Qadir Jaelani
Penerjemah: Abdul Hamid

Penerbit: PT. SAHARA intisains

Surah ke 096; 19 ayat

Al-‘Alaq

(segumpal darah).

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Pembuka Surah al-‘Alaq.

Orang yang dibangunkan Allah s.w.t. dari tidur yang melalaikan dan diberi petunjuk oleh-Nya untuk keluar dari alam dunia menuju cakrawala wujud; pasti mengetahui kalau tanda-tanda adanya perlindungan Ilahi dan karamah-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapat bantuan dari sisi-Nya dan ditarik menuju diri-Nya adalah; pertama Dia mengingatkan dan mengajari mereka sejumlah nama-namaNya yang baik (asmā’-ul-ḥusnā) dan sifat-sifatNya yang agung, lalu membuat mereka terus menekuni nama dan sifat-Nya tersebut, sampai memancar sumber hikmah laduniyah yang ditanamkan dalam hatinya, yang menetes dari lautan zat keesaan. Lalu hikmah itu muncul dari lisannya dan, pada saat itu, ia pun menjadi orang yang selalu mengingat Rabbnya, bermukim di martabat keyakinan ilmiah. Kemudian dari martabat keyakinan ini, ia terus mendaki sampai ilmunya menjadi terlihat, lalu dari yang terlihat menjadi suatu kebenaran dan terjelaskan.

Karena itulah Allah s.w.t. memerintahkan kekasih-Nya, Nabi Muḥammad s.a.w., pertama dengan berdzikir dan mengingat nama-namaNya setelah Dia berkeinginan mendidik dan memuliakannya. Setelah memberikan keberkahan, Allah s.w.t. berfirman: (بِسْمِ اللهِ) [Dengan menyebut nama Allah] yang mengatur perkara manusia dengan pengaturan yang terbaik, (الرَّحْمنِ) [Yang Maha Pemurah] kepadanya di mana Dia menciptakannya dalam bentuk yang paling baik, (الرَّحِيْمِ) [lagi Maha Penyayang] kepadanya di mana Dia menunjukinya tempat kembali terbaik.

Ayat 1.

(اِقْرَأْ) [Bacalah] wahai rasul yang paling sempurna, dan ingatlah setelah kamu diberi perlindungan dan dikelilingi oleh karamah ilahiyah (بِاسْمِ رَبِّكَ) [dengan (menyebut) nama Rabbmu], yakni terus-menerus mengingat semua nama pendidikmu (الَّذِيْ خَلَقَ) [yang menciptakan] segala sesuatu dan memunculkannya dari ketiadaan menurut nama-nama dan sifat-sifatNya, lalu mengasuhnya dengan berbagai macam kelembutan dan kemuliaan, dan menghalalkan sebagian besar kenikmatan baginya.

Ayat 2.

Terlebih (خَلَقَ الْإِنْسَانَ) [Dia telah menciptakan manusia] dan mengistimewakannya dari makhluk yang lain dengan melimpahkan berbagai kenikmatan dan kebaikan kepadanya. Padahal Allah s.w.t. menciptakan dan menjadikan wujudnya (مِنْ عَلَقٍ) [dari segumpal darah] yang hina, yang berasal dari air mani yang hina, dan air mani ini berasal dari darah yang mengalir yang terbentuk dari proses makanan.

Setelah Allah s.w.t. memerintahkan manusia terkasih-Nya – Muḥammad s.a.w. – untuk membaca dan menghitung nama-namaNya, Dia pun kembali memerintahkannya untuk membaca agar ia bisa merenungkan dan memikirkan makna-maknanya serta menyingkap maksud dan simbol yang terkandung di dalamnya dengan berfirman:

Ayat 3.

(اِقْرَأْ) [Bacalah] dengan bacaan yang penuh perenungan, pendalaman, dan penyingkapan atas segala keindahan dan keanehan yang terkandung di dalamnya. Jangan terpaku dengan keadaanmu sebagai seorang ummiy yang tidak ahli dalam mendikte karena (وَ رَبُّكَ الْأَكْرَمُ) [Rabbmulah Yang Paling Pemurah], yang sempurna kemurahan dan hidayah-Nya kepada orang-orang yang mendapat perlindungan.

Ayat 4.

(الَّذِيْ عَلَّمَ) [Yang mengajarkan (manusia)] tulisan dan angka (بِالْقَلَمِ) [dengan perantaraan qalam], di mana kalam ini adalah fase-fase dalam belajar dan memahami.

Janganlah kamu menjauhkan diri dari kemurahan dan perlindungan Allah s.w.t. yang sempurna, wahai Rasul yang paling sempurna, maka Dia pasti mengajarimu.

Ayat 5.

Sebab (عَلَّمَ الْإِنْسَانَ) [Dia mengajarkan kepada manusia] yang diciptakan dalam bentuk Sang Raḥmān, (مَا لَمْ يَعْلَمْ) [apa yang tidak diketahuinya] dari penjelasan dan keterangan serta berbagai macam cara menyingkap dan mengetahui sesuatu. Sebab kamu, wahai rasul yang paling sempurna, adalah manusia yang paling terhormat keadaannya, paling berharga petunjuknya, dan paling tinggi kedudukannya.

Setelah Allah s.w.t. menyebutkan penciptaan awal manusia dan materinya sampai akhir perjalanan dan tujuannya. Dia merasa kagum dengan keadaannya. Dia pun menjauhkan kesewenang-wenangan, kekufuran, kedurhakaan, dan permusuhan yang berasal dari dirinya, diiringi dengan perlindungan dan kemurahan Allah s.w.t. yang sempurna kepadanya. Dengan nada menghalangi dan mencegah, Dia pun berfirman:

Ayat 6.

(كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ) [Ketahuilah! Sesungguhnya manusia] yang diciptakan dari kotoran yang hina, lalu naik menuju kemuliaan terakhir dan maqam tertinggi (لَيَطْغَى) [benar-benar melampaui batas], melanggar ketentuan-Nya, bersikap takabbur kepada Rabbnya, dan melupakan asal kejadiannya hanya:

Ayat 7.

(أَنْ رَّآهُ) [Karena ia melihat] dan mengetahui kalau (اسْتَغْنَى) [dirinya serba cukup]. Maksudnya, ia menjadi orang yang merasa tidak membutuhkan Allah s.w.t. bersikap sombong kepada hamba-Nya yang lain, dan berjalan di atas bumi dengan penuh kecongkakan karena memiliki reruntuhan dunia dan perhiasannya yang fana.

Dengan alasan apa kamu berlaku sewenang-wenang dan bersikap sombong, wahai manusia yang dihinakan, direndahkan, dan diciptakan dari barang yang hina?

Ayat 8.

(إِنَّ إِلَى رَبِّكَ) [Sesungguhnya hanya kepada Rabbmulah], yang memunculkannya dari ketiadaan dan menciptakanmu dari campuran yang hina, kamu (الرُّجْعَى) [kembali]. Maksudnya, kembali ke akhirat. Lalu Allah s.w.t. membalasmu berdasarkan semua perbuatan yang telah kamu lakukan setelah sebelumnya Dia menghisabmu dengan adil.

Kemudian Allah s.w.t. menetapkan untuk menyebutkan salah seorang yang telah berlaku sewenang-wenang, yang merasa dirinya serba cukup, dan yang bersikap sombong karena pangkat dan kekayaan yang dimilikinya, yaitu Abū Jahal. Tentang Abū Jahal ini, Allah s.w.t. berfirman:

Ayat 9.

(أَرَأَيْتَ) [Bagaimana pendapatmu] wahai orang yang dapat mengambil pelajaran, yang dapat melihat, yang berlaku durhaka, dan yang sewenang-wenang: (الَّذِيْ يَنْهَى) [tentang orang yang melarang], mencegah, dan menghalangi:

Ayat 10.

(عَبْدًا) [seorang hamba] yang sempurna dalam ibadahnya, yaitu Muḥammad s.a.w., (إِذَا صَلَّى) [ketika ia mengerjakan shalat] dan menghadap kepada Rabbnya dengan seluruh anggota tubuhnya. Namun kamu ingin memalingkannya dari Rabbnya?

Ini terjadi karena Abū Jahal pernah berkata: “Seandainya saya melihat Muḥammad sedang bersujud, maka aku akan menginjak lehernya.” Lalu pada suatu hari ia melihat Nabi s.a.w. sedang bersujud dan ia pun mendatanginya dengan niat akan menginjaknya. Namun ia mengurungkan niatnya dan berpaling pergi. Saat ia ditanya: “Apa yang terjadi denganmu? Mengapa kamu tidak jadi menginjaknya?” Ia menjawab: “Saat itu, antara aku dengannya ada parit yang dipenuhi dengan api, hal-hal yang mengerikan, dan bangunan tinggi yang memisahkan aku dengannya.”

Kemudian dengan nada yang penuh ancaman dan celaan, Allah s.w.t. berbicara kepada orang yang zhalim ini dengan berkata:

Ayat 11.

(أَرَأَيْتَ) [Bagaimana pendapatmu], maksudnya: beritahukanlah kepada-Ku, wahai orang yang berbuat kerusakan dan benar-benar tenggelam dalam kedurhakaan dan penentangan, (إِنْ كَانَ) [jika orang yang dilarang] mengerjakan shalat – yaitu Nabi Muḥammad s.a.w. – (عَلَى الْهُدَى) [itu berada di atas kebenaran] dan petunjuk.

Ayat 12.

(أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى) [Atau ia menyuruh bertakwa (kepada Allah)] dan menjauhkan diri dari tuntutan hawa nafsu yang berusaha menghalanginya dari melakukan suatu perbuatan yang sesuai dengan perintah dan petunjuk-Nya.

Ayat 13.

(أَرَأَيْتَ) [Bagaimana pendapatmu], maksudnya: beritahukan pula kepada-Ku kalau kamu juga akan tetap mencegahnya dari mengerjakan shalat (إِنْ كَذَّبَ) [jika ia (Rasulullah s.a.w.) mendustakan] Allah s.w.t. (وَ تَوَلَّى) [dan berpaling] dari ketentuan perintah dan larangan-Nya?

Ringkasnya, kamu akan tetap melarang dan menghalanginya dari mengerjakan shalat, baik ia berada di atas kebenaran, atau menyuruh bertakwa seraya menjauhi hawa nafsu, atau mendustakan Allah s.w.t. dan berpaling dari qadha’ yang berlaku kepadanya. Maksudnya, laranganmu itu tidak lain disebabkan oleh sikap fanatisme dan kedurhakaanmu, baik ia berada dalam posisi yang benar dalam perbuatannya maupun dalam posisi yang salah.

Kemudian dengan nada mengecam dan mencela, Allah s.w.t. berfirman tentang si pendusta ini:

Ayat: 14.

(أَلَمْ) [Tidakkah ia], yaitu orang yang melarang, berlaku sombong, dan keterlaluan dalam kezhaliman dan kesewenang-wenangannya, (يَعْلَمْ بِأَنَّ اللهَ) [mengetahui bahwa sesungguhnya Allah], Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Mampu untuk memberikan kenikmatan dan pembalasan, dapat (يَرَى) [melihat] dan mengetahui segala perbuatan yang berbentuk perbedaan dan perselisihan yang berasal darinya. Lalu Dia akan membalasnya sesuai dengan ilmu dan pengetahuan-Nya.

Ayat 15.

Selanjutnya Allah s.w.t. berfirman: (كَلَّا) [ketahuilah] untuk menyangkal kedustaan dan penentangan orang yang melarang dan berlaku sombong, (لَئِنْ لَّمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ) [sungguh jika ia tidak berhenti (berbuat demikian), niscaya Kami tarik ubun-ubunnya] dan Kami penjarakan ia dalam posisi wajah yang ditelungkupkan di api yang menyala-nyala, demi untuk menyiksa orang-orang kafir yang berlebih-lebihan dalam kesewenang-wenangan dan penentangannya.

Ayat 16.

Adapun ubun-ubun yang ditarik oleh Allah s.w.t. adalah (نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ) [ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka]. Tujuan Allah s.w.t. menggambarkan ubun-ubun tersebut dengan dua sifat ini adalah untuk membesar-besarkan dan menekankan masalah penyiksaan ini.

Ayat 17.

Setelah Kami menarik ubun-ubunnya dan menghukumnya berdasarkan kezhaliman-Nya, (فَلْيَدْعُ نَادِيَهْ) [maka biarkanlah ia memanggil golongannya] dan orang-orang yang dapat membantunya dari cengkraman Kami pada saat itu.

Ayat 18.

Padahal (سَنَدْعُ) [kelak Kami juga akan memanggil] dan memerintahkan supaya mereka menolong dan menyelamatkan orang-orang yang berteriak memohon pertolongan kepada mereka, dari (الزَّبَانِيَةَ) [malaikat Zabāniyah]. Yaitu dari para polisi yang ditugaskan di neraka Jahannam untuk menyeretnya menuju neraka dalam keadaan terhina dan terendahkan.

Ayat 19.

Kemudian Allah s.w.t. mengulangi kalimat (كَلَّا) [sekali-kali jangan] untuk menguatkan pencegahan-Nya terhadap orang yang berdusta, berlaku sombong dan sewenang-wenang. Lalu Dia melarang kekasih-Nya, Muḥammad s.a.w., dari mentaati orang yang zhalim, mematuhi perkataannya, bersikap lembut kepadanya, dan berpaling kepadanya, dengan berfirman: (لَا تُطِعْهُ) [janganlah kamu patuh kepadanya] yang maksudnya adalah, teruslah kamu dalam shalatmu dan janganlah kamu berpaling pada halusinasinya, wahai rasul yang paling sempurna: (وَ اسْجُدْ) [dan sujadlah] kepada Rabbmu dengan penuh ketundukan dan kekhusyu‘an: (وَ اقْتَرِبْ) [dan dekatkanlah] dirimu kepada-Nya dengan mencampakkan semua kebutuhan watak kemanusiaanmu, mengharamkan dirimu dari mengambil bagian duniamu, dan menggugurkan semua materi yang melekat pada dirimu secara mutlak.

Dalam sebuah hadits dikatakan: “Posisi terdekat seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sedang bersujud.” (691). Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu, masuklah kamu ke dalam golongan orang-orang yang sujud, dan sembahlah Rabbmu sampai ajal mendatangimu.

 

Penutup Surah al-‘Alaq.

Wahai orang yang sedang berusaha mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. dan berupaya untuk sampai di cakrawala ketuhanan – semoga Dia membantumu dalam usaha dan pencarianmu ini -; kamu harus senantiasa berada dalam ketaatan, beribadah dengan penuh keikhlasan, merendahkan diri dengan sempurna, dan menyingkirkan segala hal yang melampaui batas. Sebab seorang hamba tidak akan dapat mendekatkan diri kepada-Nya kecuali dengan kepatuhan total, merendahkan diri, meniadakan diri dari semua tuntutan kemanusiaan, dan disifati sebagai orang yang mematikan keinginannya di mana sifat ini dapat mewariskan kehidupan yang abadi nan kekal.

Semoga Allah s.w.t. memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang disifati sebagai orang yang mematikan keinginannya dengan karunia dan kedermawanan-Nya.

Catatan:


  1. 69). H.R. Muslim [1/350, nomor hadits: 482], at-Tirmidzī [5/569, nomor hadits: 3579], Abū Dāwūd [1/231, nomor hadits: 875], al-Ḥakīm dalam al-Mustadrak [1/395, nomor hadits: 969]. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *