Surah adh-Dhuha 93 ~ Tafsir al-Jalalain

Dari Buku:
Tafsir Jalalain.
(Jilid 4. Dari Sūrat-uz-Zumar sampai Sūrat-un-Nās)
Oleh: Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

093

SŪRAT-UDH-DHUḤĀ

Makkiyyah, 11 ayat

Turun sesudah Sūrat-ul-Fajr

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

وَ الضُّحَى.

1. (وَ الضُّحَى.) “Demi waktu Dhuḥā” yakni waktu matahari sepenggalah naik, yaitu di awal siang hari; atau makna yang dimaksud ialah siang hari seluruhnya.

وَ اللَّيْلِ إِذَا سَجَى.

2. (وَ اللَّيْلِ إِذَا سَجَى.) “Dan demi malam apabila telah sunyi” telah tenang, atau telah menutupi dengan kegelapannya.

مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَ مَا قَلَى.

3. (مَا وَدَّعَكَ) “Tiada meninggalkan kamu” tiada membiarkan kamu sendirian, hai Muḥammad (رَبُّكَ وَ مَا قَلَى) “Rabbmu, dan tiada pula Dia benci kepadamu” atau tidak senang kepadamu. Ayat ini diturunkan setelah selang beberapa waktu yaitu lima belas hari wahyu tidak turun-turun kepadanya, kemudian orang-orang kafir mengatakan, sesungguhnya Rabb Muḥammad telah meninggalkannya dan membencinya.

وَ لَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَى.

4. (وَ لَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ) “Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu” maksudnya kehidupan di akhirat itu lebih baik bagimu, karena di dalamnya terdapat kemuliaan-kemuliaan bagimu (مِنَ الْأُولَى) “dari permulaan” dari kehidupan duniawi.

وَ لَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى.

5. (وَ لَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ) “Dan kelak Rabbmu pasti memberimu” di akhirat berupa kebaikan-kebaikan yang berlimpah ruah (فَتَرْضَى) “lalu kamu menjadi puas” dengan pemberian itu. Maka Rasulullah saw. bersabda: “Kalau begitu mana mungkin aku puas, sedangkan seseorang di antara umatku masih berada di neraka.” Sampai di sini selesailah jawāb qasam, yaitu dengan kedua kalimat yang dinisbatkan sesudah dua kalimat yang dinafikan.

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَآوَى.

6. (أَلَمْ يَجِدْكَ) “Bukankah Dia mendapatimuIstifhām atau kata tanya di sini mengandung makna taqrīr atau menetapkan (يَتِيْمًا) “sebagai seorang yatim” karena ayahmu telah mati meninggalkan kamu sebelum kamu dilahirkan, atau sesudahnya (فَآوَى) “lalu Dia melindungimu” yaitu dengan cara menyerahkan dirimu ke asuhan pamanmu Abū Thālib.

وَ وَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى.

7. (وَ وَجَدَكَ ضَالًّا) “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung” mengenai syariat yang harus kamu jalankan (فَهَدَى) “lalu Dia memberi petunjuk” Dia menunjukimu kepadanya.

وَ وَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى.

8. (وَ وَجَدَكَ عَائِلًا) “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan” atau orang yang fakir (فَأَغْنَى) “lalu Dia memberikan kecukupan” kepadamu dengan pemberian yang kamu merasa puas dengannya, yaitu dari ganimah dan dari lain-lainnya. Di dalam sebuah hadis disebutkan, “Tiadalah kaya itu karena banyaknya harta, tetapi kaya itu adalah kaya jiwa.

فَأَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْ.

9. (فَأَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْ.) “Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang” dengan cara mengambil hartanya atau lain-lainnya yang menjadi milik anak yatim.

وَ أَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ.

10. (وَ أَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ.) “Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya” membentaknya karena dia miskin.

وَ أَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

11. (وَ أَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ) “Dan terhadap nikmat Rabbmu” yang dilimpahkan kepadamu, yaitu berupa kenabian dan nikmat-nikmat lainnya (فَحَدِّثْ) “maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya” yakni mengungkapkannya dengan cara mensyukurinya. Di dalam beberapa fi‘il pada surah ini dhamīr yang kembali kepada Rasulullah s.a.w. tidak disebutkan karena demi memelihara fawashil atau bunyi huruf di akhir ayat. Seperti lafal qalā asalnya qalāka; lafal fa’āwā asalnya fa’āwāka; lafal fahadā asalnya fahadāka; dan lafal fa-aghnā asalnya fa-aghnāka

 

ASBĀB-UN-NUZŪL

SŪRAT-UDH-DHUḤĀ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Asy-Syaikhān atau Imām Bukhārī dan Imām Muslim, serta selain keduanya, semuanya telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Jundab yang telah menceritakan, bahwa Nabi s.a.w. mengalami sakit, karena itu beliau tidak melakukan shalāt-ul-lail selama semalam atau dua malam. Lalu datang kepadanya seorang wanita seraya berkata: “Hai Muḥammad, aku tidak berpendapat lain kecuali aku yakin bahwasanya setan-mu itu telah meninggalkanmu.” Maka Allah menurunkan firman-Nya:

Demi waktu Dhuḥā, Dan demi malam apabila telah sunyi. Rabbmu tiada meninggalkan kamu, dan tidak (pula) benci kepadamu.” (adh-Dhuḥā [93]: 1-3).

Imām Sa‘īd ibnu Manshūr dan Imām Faryābī kedua-duanya telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Jundab yang telah menceritkan bahwa malaikat Jibril sudah cukup lama tidak muncul kepada Nabi s.a.w. Maka orang-orang musyrik mengatakan: “Muḥammad telah ditinggalkan”. Lalu turunlah ayat tadi.

Imām Ḥakīm telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Zaid ibnu Arqām r.a. yang telah menceritakan, bahwa Rasulullah s.a.w. tinggal selama beberapa hari tanpa ada wahyu yang turun kepadanya. Maka Ummu Jamīl istri Abū Lahab mengatakan: aku tiada berpendapat melainkan bahwa temanmu itu (yakni malaikat Jibril) telah meninggalkanmu dan membencimu. Lalu, Allah menurunkan firman-Nya:

Demi waktu Dhuḥā,…” (adh-Dhuḥā [93]: 1, dan beberapa ayat berikutnya….).

Imām Thabrānī dan Imām Ibnu Abī Syaibah di dalam kitab Musnad-nya, juga Imām al-Wāḥidī serta lain-lainnya, semuanya telah mengetengahkan sebuah hadits dengan sanad yang di dalamnya terdapat seseorang perawi yang identitasnya masih belum dikenal. Hadits ini diketengahkan melalui Ḥafsh ibnu Masirah al-Qurasyi, kemudian Ḥafsh menerimanya dari ibunya, ibu Ḥafsh menerimanya dari ibunya yang bernama Khaulah. Khaulah ini menjadi pelayan Rasulullah s.a.w.; ia telah menceritakan, bahwa ada seekor anak anjing memasuki rumah Nabi s.a.w. lalu anak anjing itu memasuki kolong ranjang beliau, dan anjing itu mati di situ. Maka Nabi s.a.w. tinggal selama empat malam tanpa ada suatu wahyu pun yang turun kepadanya.

Nabi s.a.w. berkata: “Hai Khaulah, apakah gerangan yang telah terjadi di dalam rumah Rasulullah, Jibril sudah cukup lama tidak berkunjung kepadaku.” Kemudian aku berkata di dalam hati, seandainya aku bersihkan terlebih dahulu rumah ini alangkah baiknya. Segera aku menyapu rumah, lalu aku membungkukkan badanku untuk membersihkan bawah kolong ranjang dengan sapu, lalu aku mengeluarkan bangkai anak anjing dari kolong ranjangnya.

Ketika Nabi s.a.w. datang, tiba-tiba tubuhnya bergetar sehingga pakaian jubah yang disandangnya pun ikut bergetar. Sesungguhnya Nabi s.a.w. apabila turun wahyu kepadanya, maka tubuhnya tampak gemetar, lalu Allah menurukan firman-Nya:

Demi waktu Dhuḥā,…” (adh-Dhuḥā [93]: 1)

sampai dengan firman-Nya:

lalu (hati) kamu menjadi puas.” (adh-Dhuḥā [93]: 5)

Sehubungan dengan hadits di atas al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar memberikan komentarnya bahwa, kisah mengenai terlambatnya malaikat Jibril disebabkan adanya anak anjing, hadits mengenai kisah ini sudah terkenal, hanya saja keadaan hadits tersebut kalau dianggap sebagai Asbāb-un-Nuzūl ayat ini, maka hal ini gharīb yakni aneh bahkan syādz dan ditolak karena ada bukti yang menyanggahnya di dalam kitab shaḥīḥ.

Imām Ibnu Jarīr telah mengetengahkan sebuah hadits melalui ‘Abdullāh ibnu Syaddād, bahwa Siti Khadījah telah berkata kepada Nabi s.a.w.: “Sesungguhnya aku melihat, bahwa tiada lain Rabbmu telah meninggalkan kamu.” Lalu turunlah ayat tersebut.

Imām Ibnu Jarīr telah mengetengahkan pula hadits lainnya melalui ‘Urwah yang telah menceritakan, bahwa malaikat Jibril terlambat datang kepada Nabi s.a.w., maka Nabi s.a.w. merasa sangat berduka cita. Selanjutnya Siti Khadījah berkata: “Sesungguhnya aku memandang bahwa Rabbmu membencimu karena sikapmu yang selalu kelihatan berduka cita itu”, lalu turunlah ayat tersebut.

Kedua hadits tersebut perawinya adalah orang-orang yang dapat dipercaya, dan predikat kedua hadits tersebut sama-sama mursal-nya. Al-Ḥāfizh ibnu Ḥajar memberikan komentarnya, menurut pendapat yang kuat ialah bahwa masing-masing dari Ummu Jamīl dan Siti Khadījah benar-benar telah mengatakan hal tersebut. Hanya saja Ummu Jamīl mengatakannya atas dorongan kebencian, sedangkan Siti Khadījah mengatakannya karena ikut berduka cita.

Imām Thabrānī di dalam kitab al-Ausath-nya telah mengetengkan sebuah hadits yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas r.a. yang telah menceritakan, bahwa Rasulullah s.a.w. telah sabda: “Telah ditampakkan kepadaku apa-apa yang kelak dapat ditaklukkan oleh umatku sesudahku, lalu aku gembira melihatnya.” Maka Allah menurunkan firman-Nya:

dan sesungguhnya akhirat/akhir itu lebih baik bagimu dari dunia/permulaan.” (adh-Dhuḥā [93]: 4)

Sanad hadits ini berpredikat ḥasan atau baik.

Imām Ḥakīm dan Imām Baihaqī di dalam kitab ad-Dalā’il-nya serta Imām Thabrānī dan juga lain-lainnya, semuanya telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Ibnu ‘Abbas r.a. yang telah menceritakan, bahwa telah ditampakkan kepada Rasulullah s.a.w. kawasan-kawasan yang akan ditaklukkan oleh umatnya nanti yakni, kota demi kota; melihat hal tersebut hati Rasulullah s.a.w. senang. Maka Allah segera menurunkan firman-Nya:

Dan kelak Rabbnmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” (adh-Dhuḥā [93]: 5)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *