1-1-1 1 Periode Nabi Saw (Periode Pertama) – Ushul Fiqih Sebelum Dibukukan | Sejarah & Pengantar Ushul Fiqh

SEJARAH DAN PENGANTAR USHUL FIQH
PENYUSUN: Drs. Ramayulis dkk.

Diterbitkan: Penerbit KALAM MULIA

Rangkaian Pos: 001 Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh | Sejarah & Pengantar Ushul Fiqh

BAHAGIAN PERTAMA

Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh

 

BAB I

SEJARAH ILMU USHUL FIQH

Pasal 1, Ushul Fiqh Sebelum Dibukukan

 

Periode Nabi s.a.w. (Periode Pertama)

Sumber utama perundang-undangan pada periode ini adalah al-Qur’ān. Namun, di samping itu dalam masalah yang tidak tegas nashnya ditemukan dalam al-Qur’ān, Rasūlullāh s.a.w. memberikan penjelasan dalam bentuk as-Sunnah (Hadits). Sebab, setiap terjadi permasalahan, Rasūlullāh yang menjadi rujukan untuk menentukan hukumnya. Sahabat belum berani berfatwa dan berijtihad pada masa ini. Namun demikian ada sahabat yang pernah melakukan ijtihad pada masa ini. Misalnya, ketika ‘Alī ibn Abī Thālib diutus Rasūlullāh s.a.w. ke Yaman sebagai seorang Qādhī. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Allah akan menunjuki hatimu serta menguatkan lisanmu. Maka kalau duduk di depanmu dua orang yang bersengketa, janganlah engkau memutuskan suatu hukuman untuk keduanya sebelum engkau dengar penjelasan dari keduanya, sebab hal itu akan lebih menjaga jelasnya keputusan hukuman.

Akan tetapi kasus-kasus seperti di atas yang terjadi di masa Rasūlullāh itu dan kasus yang semacam itu tidak berarti bahwa seseorang selain dari Nabi, mempunyai wewenang untuk membuat ketentuan hukum pada masa ini. Sebab, kasus seperti ini terjadi hanya pada waktu-waktu tertentu saja, sehingga sukar mengembalikannya kepada Rasūlullāh, berhubungan jarak yang jauh dan kesempatan yang sangat terbatas. Di samping setiap/hasil ijtihad seorang sahabat dalam memutuskan perkara itu, belumlah merupakan ketetapan hukum yang berlaku kecuali setelah mendapat legitimasi dari Nabi. Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa selama Nabi masih hidup, maka wewenang dalam masalah perundang-undangan berada di tangan beliau sendiri. Maka wajar sekali kalau pada periode ini tidak ada dua pendapat dalam satu peristiwa.

Ditinjau dari segi sumber perundang-undangan yang dijadikan patokan adalah wahyu dan ijtihad Nabi sendiri. Maka proses terjadinya pembentukan hukum itu adakalanya karena terjadinya perselisihan atau terjadi suatu peristiwa atau dengan datangnya pertanyaan atau mungkin melalui permintaan fatwa, maka untuk menjawabnya Allah mewahyukan beberapa ayat yang berkenaan dengan itu. Lalu Nabi menyampaikan kepada ummat Islam, apa yang diterima beliau lewat wahyu umpamanya, apakah hukum khamar dan judi. Lalu Allah berfirman:

قُلْ فِيْهِمَا إِثْمٌ كَبِيْرٌ….

Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa besar….”

(al-Baqarah: 219).

Sebaliknya kalau muncul suatu yang menghendaki peraturan, sedangkan Allah tidak mewahyukan ketentuannya. Maka di ketika ini, Rasūl melakukan ijtihad sendiri untuk memutuskan hukumnya. Dengan hasil ijtihad itulah Rasūlullāh s.a.w. menetapkan hukuman masalah itu. Misalnya, Nabi pernah menyelesaikan persoalan yang ditanyakan kepadanya tentang seseorang yang menanyakan kewajiban haji bagi bapaknya yang sudah meninggal dunia, apakah juga dihajiikan. Lalu Rasūl menjawab dengan mengqiyaskan; bagaimana pendapatmu kalau bapakmu mempunyai hutang lalu kamu bayarkan; apakah dapat membebaskan utangnya? Lebih lanjut kata Nabi, utang kepada Tuhan lebih pantas didahulukan untuk membayarnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap hukuman yang disyari‘atkan periode Rasūl, sumbernya adalah wahyu dan ijtihad beliau sendiri dan munculnya hukum itu berdasarkan adanya keperluan untuk itu.

Adapun yang berasal dari sumber kedua ini (ijtihad Nabi), kadang-kadang merupakan pengungkapan manifestasi dari ilham Allah. Dengan kata lain bahwa sewaktu Nabi melaksanakan ijtihadnya maka Allah memberi ilham kepada beliau tentang hukum persoalan yang hendak diketahui duduk masalahnya. Dan kadang kala ia merupakan penggalian terhadap sesuatu hukum tersebut dengan ditunjukkan oleh satu kemaslahatan serta jiwa perundang-undangan yang bersifat ijtihādī dan merupakan hasil dari ilham Allah kepada Rasūl. Dalam arti hal itu adalah dalam wewenang Allah sedangkan Rasūl hanya sebagai washilat-Nya. Sedangkan hukum-hukum ijtihad yang tidak diilhamkan Allah akan timbul dari analisa dan pemikiran (ide) beliau sendiri yang dinamakan hukum nabawī. Cara seperti ini pernah ditempuh beliau antara lain, pada peristiwa tebusan tawanan perang Badar. Pada waktu itu umat Islam menawan sebanyak 70 orang musyrik Makkah; padahal syari‘at hukum tentang hal itu belum ada. Maka Rasūl berijtihad dan bermusyawarah dengan para sahabat. Abū Bakar berpendapat agar diterima tebusan terhadap tawanan yang mau menebus dirinya; sedangkan ‘Umar mengajukan saran supaya jangan mau menerima tebusan dari tawanan itu, bahkan ‘Umar menyuruh untuk membunuh mereka. Akhirnya Rasūlullāh s.a.w. dalam menyelesaikan kasus ini berijtihad dengan menerima tebusan. Lalu Allah berfirman dalam surat al-Anfāl: 67, yang menunjukkan bahwa ijtihad beliau diterima dalam arti ijtihad itu benar.

Tentang garis perundang-undangan dalam periode Nabi dengan cara yang ditentukan oleh ahli tasyrī‘ dalam mengembalikan permasalahan kepada sumber-sumber tasyrī‘ dan prinsip-prinsip umum adalah mereka pelihara. Oleh sebab itu, periode ini dapat dikatakan sebagai periode pembentukan hukum dan peletakan dasar-dasar perundang-undangan. Maka garis perundang-undangan dalam masa ini adalah berupa pola dasar untuk pembentukan undang-undang Islam.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *