Perang Badar Kubra – Nurul Yaqin (2/3)

NŪR-UL-YAQĪN
 
Judul Asli:
Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn
Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek

 
Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil
Penerbit: UMMUL QURA
 
(Diketik oleh: Zulfa)

Rangkaian Pos: Ghazawat & Saraya - Nurul Yaqin

Selanjutnya, Rasūlullāh s.a.w. menggerakkan pasukan kaum Muslimīn sehingga mencapai daerah terendah di kawasan tersebut yang banyak airnya. Sebelum itu, beliau memerintahkan agar sumur yang berada di belakang kaum Muslimīn ditimbun supaya kaum musyrikīn tidak mempunyai harapan lagi untuk dapat menemukan air minum. Lalu Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan agar membuat sebuah kolam untuk menampung air di tempat mereka bermarkas. Setelah semua selesai, Sa‘ad bin Abī Mu‘ādz, pemimpin kabilah Aus berkata: “Wahai Rasūlullāh, maukah aku bangunkan sebuah kemah khusus untuk tempatmu dan kami mempersiapkan kendaraanmu di dekatnya kemudian kami akan menghadapi musuh. Bila ternyata Allah s.w.t. memenangkan kita dan dapat mengalahkan musuh kita maka itulah yang kita sukai. Apabila hasilnya lain, engkau bisa langsung duduk di atas kendaraan, lalu bisa menyusul orang-orang di belakang kami. Di sana masih ada beberapa orang yang tidak ikut bergabung dengan kami. Wahai Nabiyullah, mereka jauh lebih mencintaimu daripada cinta kami kepadamu, dan mereka lebih patuh kepadamu daripada kami dalam hal berjihad dan keikhlasan niat. Seandainya mereka mempunyai dugaan bahwa engkau menemui peperangan, niscaya tiada seorang pun di antara mereka yang tertinggal; semuanya pasti mengikutimu. Sesungguhnya mereka tidak ikut serta denganmu karena mereka menduga bahwa engkau hanyalah bermaksud mencegah kafilah dagang Quraisy. Mereka adalah kaum yang oleh Allah s.w.t. dijadikan sebagai benteng pertahanan bagimu. Mereka siap sedia untuk berjihad bersamamu.” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Aku percaya bahwa tidak ada pendapat yang lebih baik daripada pendapat ini.”

Kemudian mereka membuat kemah khusus di sebuah tebing yang menghadap ke medan pertempuran untuk Rasūlullāh s.a.w. Sesudah barisan kaum Muslimīn berkumpul semuanya, Beliau s.a.w. meluruskan barisan mereka. Bahu mereka saling menempel dengan rapat sehingga keadaan mereka mirip dengan bangunan yang rapi dan kokoh. Lalu Rasūlullāh s.a.w. memandang kepada kaum Quraisy dan berkata:

Ya, Allah, mereka adalah orang-orang Quraisy yang kini datang dengan membawa kesombongan dan ketakabburan mereka; bermaksud menantang-Mu dan mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, aku mengharapkan pertolongan-Mu yang telah engkau janjikan kepadaku.

Pada saat itu di barisan kaum musyrikin terjadi perselisihan di antara para pemimpin mereka. ‘Utbah bin Rabī‘ah mencegah kaumnya melakukan peperangan karena ia hanya bermaksud menuntut diyat teman sekutunya, yaitu ‘Amru bin al-Ḥadhramī yang dibunuh oleh sariyyah ‘Abdullāh bin Jaḥsy dan membawa barang dari kafilah dagangnya yang terampas. Ia juga menyeru orang-orang untuk melakukan hal itu. Ketika Abū Jahal mendengar berita ini, ia mencibirnya sebagai pengecut, seraya berkata: “Demi Allah, kita tidak akan mundur hingga Allah menetapkan keputusan-Nya antara kita dan Muḥammad.”

Sebelum peperangan dimulai, tiba-tiba keluarlah al-Aswad bin ‘Abd-il-Asad al-Makhzūmī dari barisan kaum musyrikīn, dan berkata: “Aku bersumpah kepada Allah, aku harus minum dari kolam mereka atau aku akan meruntuhkannya, atau aku harus mati karenanya.” Maka Ḥamzah bin ‘Abd-il-Muththalib keluar menyambutnya dan menebasnya dengan pedang sehingga terpotong kakinya hingga batas setengah betisnya. Al-Aswad pun jatuh tergeletak, tetapi ia tetap merangkak menuju kolam sekalipun kakinya sudah putus. Ia hendak memenuhi sumpahnya. Ḥamzah mengikutinya dari belakang lalu membunuhnya.

Rasūlullāh s.a.w. berdiri dan berkhutbah memberikan semangat kepada barisan kaum Muslimīn supaya teguh dan sabar menghadapi peperangan ini. Di antara yang beliau katakan adalah:

“Sesungguhnya bersabar ketika menghadapi peperangan merupakan sebab di mana Allah swt melenyapkan semua kesedihan, dan Dia akan melenyapkan kegundahan.”

Kemudian peperangan dimulai dengan perang tanding. Dari barisan kaum musyrikin keluar tiga orang, yaitu ‘Utbah bin Rabī‘ah, dan saudaranya, ya‘ni Syaibah, beserta anak ‘Utbah yang bernama al-Walīd. Mereka menantang orang-orang yang sepadan dengan kedudukan mereka dari pasukan kaum Muslimīn. Maka keluarlah dari barisan kaum Muslimīn tiga orang dari shahabat Anshār. Namun, mereka (kaum musyrikīn) menolak: “Kami tidak ada urusan dengan kalian, tetapi kami hanya mau dengan orang-orang yang sepadan dengan kami, yaitu anak paman-paman kami.” Maka Rasūlullāh s.a.w. menyuruh shahabat ‘Ubaidah bin al-Ḥārits, untuk menghadapi ‘Utbah bin Rabī‘ah, dan shahabat Ḥamzah untuk menghadapi Syaibah, serta shahabat ‘Alī untuk menghadapi al-Walīd, anak ‘Utbah.

Akhirnya, shahabat Ḥamzah dan ‘Alī berhasil membunuh kedua orang lawan mereka. Sementara ‘Ubaidah bergantian melepaskan serangan sehingga keduanya sama-sama terluka. Maka dua teman ‘Ubaidah segera menyerang ‘Utbah dan langsung membunuhnya, kemudian membawa ‘Ubaidah ke barisan kaum Muslimīn dalam keadaan terluka sehingga darah mengalir dari betisnya. Lalu mereka membaringkannya di sebelah tempat Rasūlullāh s.a.w. Rasūlullāh s.a.w. memangku kakinya yang terluka berat itu, dan beliau meletakkan pipinya padanya seraya memberitahukan kepadanya berita gembira bahwa dia mendapat derajat syuhadā’. ‘Ubaidah berkata kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Demi Allah, sungguh aku senang sekali seandainya Abū Thālib masih hidup, dan niscaya aku katakan kepadanya bahwa akulah yang lebih berhak daripadanya untuk mendapatkan gelar seperti apa yang dikatakannya:

Dan kami tidak akan menyerahkannya (Muḥammad) sampai kami mati berkalang tanah di sekitarnya, dan (demi mempertahankannya) akan kami lupakan anak-anak dan istri-istri kami.” (361)

Setelah perang tanding usai, Rasūlullāh s.a.w. berjalan memeriksa barisan kaum Muslimīn seraya meluruskannya dengan tongkat yang dibawanya untuk tujuan itu. Ketika Rasūlullāh s.a.w. melewati Sawad bin Gaziyah, sekutu Bani Najjār dan ia keluar dari barisan. Lalu Rasūlullāh s.a.w. memukul perutnya dengan tongkat seraya berkata: “Wahai Sawad, luruskan barisanmu.”

Sawad menjawab: “Wahai Rasūlullāh, sungguh engkau telah menyakitiku, sedangkan engkau diutus untuk membawa perkara yang hak dan keadilan. Maka berikanlah kesempatan kepadaku untuk membalas kepadamu.”

Kemudian Rasūlullāh s.a.w. membuka perutnya seraya berkata kepada Sawad: “Silahkan balas, wahai Sawad.”

Namun, ternyata Sawad hanya memeluk perut Rasūlullāh s.a.w. dan menciumnya. Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Apakah yang membuatmu berbuat demikian?” Sawad menjawab: “Seperti apa yang engkau lihat sendiri, peperangan telah di ambang pintu. Maka aku mengharapkan agar sebelum aku gugur, kulitku ini bersentuhan dengan kulitmu yang mulia itu.” Maka Rasūlullāh s.a.w. mendoakan kebaikan untukmu. (372)

Rasūlullāh s.a.w. mulai menyampaikan Khuthbah kepada semua pasukan kaum Muslimīn:

Jangan menyerang sebelum aku memerintahkannya, dan jika musuh mengepung kalian maka hujanilah mereka dengan panah. Janganlah kalian mencabut pedang kalian kecuali jika mereka menyerang dari jarak dekat.”

Selanjutnya, Rasūlullāh s.a.w. menyemangati mereka agar teguh dan sabar. Kemudian Beliau kembali ke kemahnya bersama Abū Bakar r.a. yang selalu menemaninya. Adapun yang menjadi pengawalnya adalah Sa‘ad bin Mu‘ādz. Ia selalu berdiri di depan kemah dengan pedang terhunus.

Di dalam kitab Shaḥīḥ-ul-Bukhārī disebutkan bahwa di antara yang diucapkan Rasūlullāh s.a.w. ialah:

Ya Allah, aku sangat mengharapkan janji-Mu. Ya Allah, jika engkau menghendaki (kami kalah) maka Engkau tidak akan disembah.” (383)

Abū Bakar berkata: “Cukup, sesungguhnya Allah akan memenuhi janji-janjiNya untukmu.” Lalu Rasūlullāh s.a.w. keluar dari kemahnya seraya membacakan firman Allah s.w.t:

سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّوْنَ الدُّبُرَ

Golongan itu pasti akan kalah, dan mereka akan mundur ke belakang.” (QS. al-Qamar [54]: 45)

Kemudian Rasūlullāh s.a.w. menyemangati pasukan kaum Muslimīn:

Demi Dzat (Allah) yang jiwa Muḥammad berada di Tangan-Nya, tiada seorang pun yang memerangi mereka (kaum musyrikin) hari ini, kemudian ia gugur dalam keadaan sabar dan mengharapkan pahala dari Allah serta maju dan tidak mundur, melainkan Allah memasukkan-Nya ke dalam Jannah. Dan barang siapa yang membunuh lawannya maka ia berhak mengambil ghanimah-nya.”

Maka ‘Umair bin al-Hammām yang sedang memegang beberapa butir kurma untuk ia makan, berkata: “Wah, kalau demikian tiada jarak antara diriku dan jannah selain mereka harus membunuhku.” Ia pun membuang kurma di tangannya, lalu mengambil pedangnya dan menyerang ke barisan musuh, mengobrak-abriknya sehingga ia gugur. (394)

Pertempuran di antara kedua pasukan semakin sengit dan suasana semakin panas membakar. Kemudian Allah s.w.t. memperkuat barisan kaum Muslimīn dengan bantuan para malaikat sebagai berita gembira bagi mereka agar mereka menjadi tenang. Tidak lama kemudian golongan kaum musyrikīn itu kalah dan lari tunggang langgang. Kemudian mereka dikejar oleh pasukan kaum Muslimīn sehingga banyak di antara mereka yang terbunuh dan tertawan. Jumlah pasukan kaum musyrikīn yang terbunuh dalam peperangan itu kurang lebih tujuh puluh orang. Sebagiannya adalah dari Quraisy, yaitu ‘Utbah dan Syaibah, keduanya putra Rabī‘ah, serta al-Walīd bin ‘Utbah, semuanya terbunuh dalam perang tanding di permulaan peperangan.

Korban lainnya yang terbunuh ialah Abū-l-Bakhtarī bin Hisyām dan al-Jarrāḥ, ayah Abū ‘Ubaidah yang mati dibunuh oleh Abū ‘Ubaidah, anaknya sendiri, setelah terlebih dahulu Abū ‘Ubaidah memberikan peringatan kepadanya agar menjauh dari medan perang, tetapi ia tidak menghiraukannya. Korban terbunuh lainnya ialah Umayyah bin Khalaf dan anak laki-lakinya. Mereka mati dikeroyok oleh beberapa orang Anshār bersama Bilāl bin Rabāḥ dan ‘Ammār bin Yāsir. ‘Ammār dan Bilāl telah berusaha melakukan hal tersebut mengingat kekejaman yang dilakukan oleh Umayyah terhadap mereka berdua sewaktu di Makkah. Korban lainnya dari kaum Musyrikīn dalam perang tersebut ialah Ḥanzhalah bin Abī Sufyān dan Abū Jahal bin Hisyām. Keduanya dilukai oleh dua orang remaja dari Anshār karena mereka berdua telah mendengar bahwa kedua orang tersebut sering menyakiti Rasūlullāh s.a.w., kemudian Ḥanzhalah dan Abū Jahal dibunuh oleh shahabat ‘Abdullāh bin Mas‘ūd. Kemudian Naufal bin Khuwailid dibunuh oleh ‘Alī bin Abī Thālib. Korban lainnya dari kaum musyrikīn Quraisy adalah ‘Ubaidah dan al-‘Āsh, dua putra Abū ‘Ubaidah; Sa‘īd bin al-Āsh bin Umayyah. Dan masih banyak lagi korban terbunuh lainnya dari kaum musyrikīn dalam Perang Badar itu.

Catatan:

  1. 36). HR. al-Bukhārī (4743, 4744).
  2. 37). Shaḥīḥ-us-Sīrat-in-Nabawiyyah, hlm. 236.
  3. 38). HR. al-Bukhārī (3953).
  4. 39). HR. Muslim (1157).

1 Komentar

  1. Imtiyaz Durratul Hikmah berkata:

    Alhamdulillah

Tinggalkan Balasan ke Imtiyaz Durratul Hikmah Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *