Lentera Ilahi – Imam Ja’far ash-Shadiq – Bab Tentang Dzikir

Dari Buku:

Lentera Ilahi
(Judul Asli: Mishbāḥ-usy-Syarī‘ah)
Oleh: Imam Ja’far ash-Shadiq

Diterjemahkan dari The Lantern of the Path
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penerbit: Penerbit Mizan

24 DZIKIR

 

Orang yang benar-benar mengingat Tuhan adalah orang yang mematuhi-Nya; barang siapa melupakan-Nya, berarti ia ingkar. Kepatuhan merupakan tanda jalan yang lurus, sedangkan keingkaran merupakan tanda kesesatan. Akar kedua keadaan itu adalah ingatan (dzikr) dan kealpaan. Jadikanlah hatimu sebagai titik pusat lidahmu, yang tidak akan bergerak kecuali jika hati memerintahkannya, akal menyetujuinya dan lidahmu sejalan dengan keyakinanmu. Tuhan yang Mahakuasa tahu apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu lahirkan.

Jadilah seperti seseorang yang telah memisahkan jiwanya dari raganya, atau seperti orang yang sedang menghadiri barisan pada Hari Perhitungan, tidak menarik dirimu dari kewājiban-kewājiban yang telah dibebankan oleh Allah atas dirimu dalam perintah-perintah dan larangan-laranganNya, janji dan ancaman-Nya. Jangan menyibukkan dirimu dengan urusanmu sendiri dan tanpa tugas-tugas yang tidak dibebankan oleh Allah atas dirimu.

Cucilah hatimu bersih-bersih dengan air kesedihan dan ketakutan; jadilah ingatan hanya kepada Allah sebagai bagian dari ingatan yang paling mulia dalam dirimu. Dia ingat kepadamu, tetapi Dia tidak membutuhkanmu. Ingatan-Nya kepadamu itu lebih mulia, lebih patut didambakan, lebih berharga, lebih sempurna dan lebih dulu ada daripada ingatanmu kepada-Nya.

Pengetahuan yang kamu peroleh melalui ingatan-Nya kepadamu menanamkan dalam dirimu kerendahan hati, kesederhanaan dan kesedihan akibat rasa berdosa, pada gilirannya akan menjadi penyebab kesaksianmu akan kemuliaan dan kebaikan-Nya yang berlimpah. Yang terakhir itu selanjutnya akan mengecilkan arti kepatuhanmu di matamu sendiri, betapapun banyak jumlahnya sebagai akibat dari perkenan-Nya; dan kamu akan berbakti dengan tulus kepada-Nya. Tetapi kesadaran dan penilaian akan ingatan sendiri kepada-Nya akan menuntun kepada kesombongan, kecongkakan, kebodohan dan kekasaran dalam sifatmu, sebab hal itu berarti memberikan makna yang terlalu besar pada kepatuhanmu sementara kamu melupakan kasih sayang dan kemurahan-Nya yang melimpah. Itu akan membuatmu semakin jauh dari-Nya, dan yang akan kamu peroleh sejalan dengan berlalunya waktu hanyalah rasa terasing.

Adapun dua ingatan (dzikr): ingatan yang tulus, yang dengan itu hati menjadi tenteram; dan ingatan yang timbul dengan jalan dengan menghapuskan semua ingatan lain kecuali ingat kepada Allah. Sebagaimana disabdakan oleh Rasūlullāh,”Aku tidak dapat bersikap adil dalam memuji-muji-Mu secara patut sebagaimana Engkau memuji diri-Mu Sendiri.” Rasūlullāh tidak menetapkan batasan untuk mengingat Allah, sebab beliau mengetahui bahwa ingatan Allah akan hamba-Nya lebih besar daripada ingatan hamba-Nya kepada-Nya. Dengan demikian benarlah bahwa siapa saja yang datang sesudah Nabi tidak boleh menetapkan batasan-batasan apa pun, dan barangsiapa ingin mengingat Allah hendaknya mengetahui bahwa selama Allah tidak ingat hamba-Nya dengan memberinya keberhasilan untuk mengingat-Nya, maka hamba itu tidak akan mampu mengingat-Nya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *