4-7 Penutup – Tauhid-uz-Zat – Permata Yang Indah (Bag 1)

الدر النفيس
للشيخ محمد نفيس ابن إدريس البنجاري

PERMATA YANG INDAH
TITIAN SUFI MENUJU TAUḤĪDULLĀH
Oleh: Syekh Muhammad Nafīs Ibnu Idrīs Al-Banjārī

Rangkaian Pos: 004 Tauhid-uz-Zat - Permata Yang Indah

هو

PASAL EMPAT

TAUḤĪD AŻ-ŻᾹT

 

PENUTUP

(Bagian 1)

 

Sub ini menjelaskan tentang martabat tajallī Zat.

Wahai para sālik! Ketahuilah bahwa tajallī Zat itu terdiri dari tujuh martabat. Proses penurunan (tanazzul) martabat-maratabat ini dari hadirat Allah, diandaikan dengan Zat itu sendiri tanpa keterkaitan Sifat dan Asma. Ketidakterkaitan ini diumpamakan dengan putusnya isyarat seseorang. Menurut seorang ‘ārif, Sayyid bi Allāh Ibn Ibrāhīm Ganī q.s. di dalam kitabnya yang telah disebutkan (Tuḥfah al-Mursalah), bahwasanya:

“Kunhi Zat Allah tidak mungkin dapat dicerna dan dipahami oleh akal dan panca indera manusia. Sebab, Zat Allah tidak mempunyai batas dan perhinggaan. Maka siapa pun yang mencoba untuk memahami Zat Allah lewat jalan akal dan indera ini, niscaya dia sebetulnya berusaha di jalan yang mustahil dan sia-sia. Untuk mencapai pengetahuan mengenai Zat Allah, maka satu-satunya jalan yang bisa membantu adalah melalui kasyf (penyingkapan rahasia Ilahi).”

Yang pertama dari martabat-martabat tanazzul Zat itu adalah martabat Aḥadiyyah. Dalam martabat ini, segala Sifat dan Asma akan menjadi tampak, tetapi kemudian keduanya akan binasa di alam Zat Allah. Martabat ini adalah martabat tertinggi, yang tidak ada martabat lain di atasnya, karena semua martabat lain berada di bawahnya.

Martabat kedua adalah martabat Waḥdah. Dalam martabat ini, semua Sifat dan Asma akan tampak secara global (ijmal) dan berpadu, dan itulah hakikat Nabi kita Muḥammad s.a.w. yang merupakan asal dari segala yang maujud dan kehidupan. Dengan demikian, Nabi Muḥammad s.a.w. adalah Esensi (Huwiyyah) dari Alam semesta. Artinya Nabi merupakan hakikat alam dan segala sesuatu, sebab, segala sesuatu diciptakan dari Nūr Muḥammad. Hal ini sebagaimana disabdakan olehnya kepada Sayyidinā Jābir r.a.:

أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللهُ نُوْرُ نَبِيِّكَ يَا جَابِرُ وَ خُلِقَ مِنْهُ الْأَشْيَاءُ وَ أَنْتَ مِنْ تِلْكَ الْأَشْيَاءِ

Wahai Jābir! Yang pertama sekali diciptakan Allah adalah Cahaya Nabimu. Dari Cahaya itulah kemudian diciptakan segala sesuatu, termasuk engkau di dalam segala sesuatu itu.

Yang dimaksud dengan diciptakan atau dijadikan itu adalah ditampakkan. Nabi juga bersabda dalam Hadis lain:

أَنَا مِنَ اللهِ وَ الْمُؤْمِنُوْنَ مِنِّيْ

Aku berasal dari Allah, dan orang-orang Mu’min berasal dariku.

Dalam Hadis lain, Nabi juga bersabda:

إِنَّ اللهَ خَلَقَ رُوْحَ النَّبِيِّ (ص) مِنْ ذَاتِهِ وَ خَلَقَ الْعَالَمَ بِأَسْرَارِهِ مِنْ نُوْرِ مُحَمَّدٍ (ص)

Sesungguhnya Allah telah menciptakan ruh Nabi s.a.w. dari Zat-Nya dan menciptakan sekalian alam beserta rahasianya dari Nūr Muḥammad s.a.w.

Di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abd ar-Razzāq r.a. disebutkan bahwa Jābir datang menghadap Rasūlullāh s.a.w. seraya mengatakan: “Ya Rasūlullāh! Beritahukanlah aku tentang sesuatu yang mula-mula diciptakan oleh Allah, yang mendahului segala sesuatu.”

Nabi menjawab:

يَا جَابِرُ إِنَّ اللهَ خَلَقَ قَبْلَ الْأَشْيَاءِ نُوْرَ نَبِيِّكَ مِنْ نُوْرِهِ

Hai Jābir! Sesungguhnya Allah telah menciptakan Nur Nabimu yang berasal dari Nur-Nya sebelum segala sesuatu diciptakan.

Dengan demikian, dari Hadits-hadits ini dipahami bahwa Nabi kita Muḥammad s.a.w. berasal dari Nur Zat Allah. Camkan dan yakinilah! Allah s.w.t. menamai Muḥammad di dalam al-Qur’ān dengan Nūr-Nya:

لَقَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللهِ نُوْرٌ

Sungguh telah datang padamu Cahaya (Nūr) dari Allah.” (al-Mā’idah [5]: 15).

Yang dimaksud dengan Cahaya (Nūr) Allah dalam hal ini adalah Nabi Muḥammad s.a.w. Sebagaimana diketahui, Nur adalah sebuah Nama Zat Allah, Nama inilah kemudian yang dinisbatkan oleh Allah kepada Nabi Muḥammad s.a.w. karena Nabi Muḥammad s.a.w. berasal dari-Nya. Penisbatan ini dapat diumpamakan sebagaimana halnya matahari, bahwasanya cahaya matahari menunjukkan wujudnya, namun, cahaya matahari bukanlah wujud (diri) matahari itu sendiri. Jadi penisbatan ini bukan berada dalam pengertian harfiah, melainkan dalam pengertian maknawiah. Bukanlah cahaya matahari sebagai wujud matahari, tetapi ketiadaan cahaya matahari menyebabkan ketiadaan wujud matahari. Sehingga, keduanya dari segi maknawiah tidaklah pula dapat dibedakan. Dengan perumpamaan ini, yakni bahwa cahaya itu sendiri “tidak lain” daripadanya, maka Nabi Muḥammad s.a.w. juga disebut oleh Allah s.w.t. sebagai “al-Ḥaqq”. Hal ini terlihat dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكُمْ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu al-Ḥaqq dari Tuhanmu.” (Yūnus [10]: 108).

Yang dimaksud dengan al-Ḥaqq (Kebenaran) di sini tidak lain adalah Nabi kita Muḥammad s.a.w. – yang membawa al-Qur’ān.

Yang ketiga dari segala martabat tanazzul Zat adalah Martabat Wāḥidiyyah. Dalam martabat ini, akan tampak dan lahir segala Sifat dan Asma, dengan cara memerinci hal-hal global yang terdapat di dalam martabat Waḥdah. Dengan kehadiran Wāḥidiyyah, seseorang akan memunculkan khiṭāb (ucapan) dari Allah s.w.t. sebagai:

إِنَّهُ أَنَا اللهُ

Sesungguhnya Aku adalah Allah.”

Diperolehnya khitab dengan Kalam yang qadīm ini pada martabat Wāḥidiyyah, karena apa yang diucapkan telah menembus atau memperoleh Alam Sifat dan Alam Asma.

Semua tingkatan martabat yang tiga di atas ini bersifat qadīm.

Penyusunan kami mengenai tanazzul Zat seperti ini, bahwa yang pertama adalah Aḥadiyyah, kedua adalah Waḥdah, dan ketiga adalah Wāḥidiyyah, semata-mata didasarkan pada cernaan akal. Hal ini tidak lain merupakan urusan penakwilan (amr i‘tibārī), dan urut-urutannya tidaklah diumpamakan dengan konteks urut-urutan waktu.

Jadi, jelaslah bahwa Alam Asma dan Alam Sifat itu adalah ruh Nabi kita Muḥammad s.a.w., di mana ia bersifat global (mujmal) pada martabat Waḥdah dan terperinci (mufaṣṣal) pada martabat Wāḥidiyyah di Alam Syahādah. Rūḥ Muḥammad-lah yang merupakan awal segala yang mungkin/kontingen (mumkināt) yang ditampakkan dari hadrat Maḥabbah (Cinta) Hal ini sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. di dalam sebuah Hadits Qudsi:

كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرِفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ لِيَعْرِفَنِيْ

Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku ingin agar Aku dikenal, maka Aku menciptakan makhluk – yaitu Muḥammad – supaya mereka mengenal-Ku.

Yang dimaksud dengan “menciptakan” dalam hal ini, sama dengan di atas, adalah “menampakkan”. Tatkala penciptaan Nabi kita Muḥammad s.a.w. telah sempurna di Alam Syahādah, maka diciptakan pula darinya akan segala alam lain. Sehingga dengan demikian, dapat dikatakan di sini bawah ruh Nabi Muḥammad s.a.w. merupakan Bapak segala ruh. Pernyataan ini disamakan dengan kalau kita mengatakan bahwa Nabi Ᾱdam a.s. merupakan Bapak segala tubuh (manusia). Nabi sendiri sebenarnya telah menyinggung kedua pernyataan ini dalam Haditsnya:

أَنَا أَبُو الْأَرْوَاحِ وَ آدَمُ أَبُو الْبَشَرِ

Aku adalah Bapak segala ruh dan Ᾱdam adalah Bapak sekalian tubuh (manusia).

Di dalam Syarḥ Fuṣūṣ, Syaikh ‘Abd al-Ganī an-Nābulsī q.s. mengatakan bahwa:

“Ruh segala jasad pada dasarnya adalah satu. Yang banyak dan berbeda itu adalah nafs (jiwa). Nafs itulah yang mati, sedangkan ruh tidaklah mati, sebab ruh berdiri bersama-sama dengan al-Ḥaqq Ta‘ālā dalam segala hal.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *