002-2 Fasal Tentang Syarat Shalat – FIQH Populer Terjemah FATHUL MU’IN

FIQH Populer
Terjemah Fath-ul-Mu‘in
Penulis: Syaikh Zainuddin bin ‘Abdul-‘Aziz al-Malibari
(Judul Asli: Fatḥ-ul-Mu’īni Bi Syarḥi Qurrat-il-‘Aini Bi Muhimmāt-id-Dīn)

Penerjemah: M. Fikril Hakim, S.H.I. dan Abu Sholahuddin.
Penerbit: Lirboyo Press.

Rangkaian Pos: Fasal Tentang Syarat Shalat | FIQH Populer Terjemah FATHUL MU'IN

(فَصْلٌ) فِيْ شُرُوْطِ الصَّلَاةِ.
FASAL TENTANG SYARAT SHALAT

(Bagian 2)

 

(Cabangan Masalah). Kalau seandainya seorang yang berwudhu’ memasukkan tangannya dengan maksud mandi menghilangkan hadats ataupun orang tersebut tidak berniat seperti itu, namun setelah berniat mandi junub, atau setelah mengulang tiga kali dalam membasuh wajah seorang yang hadats kecil atau setelah basuhan pertama – jika ia meringkas dengan satu basuhan saja – dengan tanpa berniat ightirāf (71) dan juga tidak bertujuan mengambil air karena tujuan lain selain bersuci maka air tersebut menjadi musta‘mal untuk selain tangannya dan baginya diperbolehkan untuk membasuh lengannya dengan air yang berada pada tangannya. (82).

(وَ) غَيْرُ (مُتَغَيَّرٍ) تَغَيُّرًا (كَثِيْرًا) بِحَيْثُ يَمْنَعُ إِطْلَاقَ اسْمِ الْمَاءِ عَلَيْهِ، بِأَنْ تَغَيَّرَ أَحَدُ صِفَاتِهِ مِنْ طَعْمٍ أَوْ لَوْنٍ أَوْ رِيْحٍ، وَ لَوْ تَقْدِيْرِيًّا أَوْ كَانَ التَّغَيُّرُ بِمَا عَلَى عُضْوِ الْمُتَطَهِّرِ فِي الْأَصَحِّ، وَ إِنَّمَا يُؤَثِّرُ التَّغَيُّرُ إِنْ كَانَ (بِخَلِيْطٍ) أَيْ مُخَالِطًا لِلْمَاءٍ، وَ هُوَ مَا لَا يَتَمَيَّزُ فِيْ رَأْيِ الْعَيْنِ (طَاهِرٍ) وَ قَدْ (غَنِيَ) الْمَاءُ (عَنْهُ) كَزْعَفَرَانٍ، وَ ثَمَرَ شَجَرٍ نَبَتَ قُرْبَ الْمَاءِ، وَ وَرَقٍ طُرِحَ ثُمَّ تَفَتَّتَ، لَا تُرَابٍ وَ مِلْحِ مَاءٍ وَ إِنْ طُرِحَا فِيْهِ. وَ لَا يُضَرُّ تَغَيُّرٌ لَا يَمْنَعُ الْاِسْمَ لِقِلَّتِهِ وَ لَوِ احْتِمَالًا، بِأَنْ شَكَّ أَهُوَ كَثِيْرٌ أَوْ قَلِيْلٌ. وَ خَرَجَ بِقَوْلِيْ بِخَلِيْطِ الْمُجَاوِرُ، وَ هُوَ مَا يَتَمَيَّزُ لِلنَّاظِرِ، كَعُوْدٍ وَ دُهْنٍ وَ لَوْ مُطَيِّبَيْنَ، وَ مِنْهُ الْبُخُوْرُ وَ إِنْ كَثُرَ وَ ظَهَرَ نَحْوَ رِيْحِهِ، خِلَافًا لِجَمْعٍ. وَ مِنْهُ أَيْضًا مَاءٌ أُغْلِيَ فِيْهِ نَحْوَ بُرٍّ وَ تَمْرٍ حَيْثُ لَمْ يُعْلَمِ انْفِصَالُ عَيْنٍ فِيْهِ مُخَالِطَةً، بِأَنْ لَمْ يَصِلَ إِلَى حَدٍّ بِحَيْثُ لَهُ اسْمٌ آخَرَ كَالْمَرَقَةِ، وَ لَوْ شَكَّ فِيْ شَيْءٍ أَمُخَالِطٌ هُوَ أَمْ مُجَاوِرٌ، لَهُ حُكْمُ الْمُجَاوِرِ. وَ بِقُوْلِيْ غَنِيٌّ عَنْهُ مَا لَا يُسْتَغْنَى عَنْهُ، كَمَا فِيْ مَقَرِّهِ وَ مَمَرِّهِ، مِنْ نَحْوِ طِيْنٍ وَ طُحْلُبٍ مُتَفَتِّتٍ وَ كِبْرِيْتٍ، وَ كَالتَّغَيُّرِ بِطُوْلِ الْمُكْثِ أَوْ بِأَوْرَاقٍ مُتَنَاثِرَةٍ بِنَفْسِهَا وَ إِنْ تَفَتَّتَتْ وَ بَعُدَتِ الشَّجَرَةُ عَنِ الْمَاءِ. (أَوْ بِنَجَسٍ) وَ أَنْ قَلَّ التَّغَيُّرُ. (وَ لَوْ كَانَ) الْمَاءُ (كَثِيْرًا) أَيْ قُلَّتَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ فِيْ صُوْرَتَيِ التَّغْيِيْرِ بِالطَّاهِرِ وَ النَّجَسِ.

(Dan) tidak (ada perubahan) dengan perubahan (yang banyak) sekira perubahan tersebut dapat mencegah kemutlakan nama air, sebagaimana perubahan yang terjadi pada salah satu sifatnya air yakni dari rasa, warna dan baunya walaupun perubahannya hanya secara perkiraan (93) atau adanya perubahan sebab sesuatu yang berada pada anggota orang yang bersuci menurut pendapat ashaḥḥ. Perubahan hanya akan terjadi apabila perubahan disebabkan oleh (sesuatu yang mencampuri air) yakni mukhālith – mukhālith adalah benda yang tidak terlihat berbeda dengan air (104) – (yang bersifat suci) dan (air tersebut dapat terhindar dari percampuran tersebut) seperti minyak za‘faran, buah dari pohon yang tumbuh di dekat air dan dedaunan yang dijatuhkan kemudian hancur di dalamnya, bukan debu (115) dan garam air walaupun dijatuhkan ke dalam air. Tidak masalah sebuah perubahan yang tidak merubah kemutlakan nama air sebab perubahannya sedikit, walaupun terjadi keraguan sebagaimana seorang yang ragu apakah perubahan tersebut banyak atau sedikit. (126) Dikecualikan dari ucapan saya: mukhālith adalah mujāwir. Mujāwir adalah benda yang terlihat berbeda dengan air seperti kayu, minyak walaupun keduanya dibuat wewangian. Sebagian dari benda mujāwir adalah tetesan air yang mendidih walaupun sangat banyak dan baunya tampak jelas, berbeda dengan pendapat sekelompok ulama’. Sebagian lagi adalah air yang mendidih sedang di dalamnya terdapat sejenis gandum dan kurma sekira tidak diketahui terpisahnya sebuah bentuk benda yang mencampuri air dengan tidak terjadinya penamaan yang lain seperti air kuah. Kalau seandainya sebuah benda diragukan apakah mukhālith ataupun mujāwir, maka benda itu dihukumi mujāwir. Dikecualikan pula dengan ucapanku: dapat dihindarkan dari air adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan seperti halnya kasus air yang berada pada tempat menetapnya air dan tempat mengalirnya air, (137) seperti sejenis lumpur, lumut yang hancur, belerang, dan seperti perubahan sebab diam yang terlalu lama atau dedaunan yang berguguran dengan sendirinya walaupun hancur dan pohonnya jauh dari air tersebut. (Atau perubahan terjadi dengan sebab najis) walaupun perubahannya hanya sedikit (dan walaupun adanya) air (tersebut banyak) yakni dua qullah lebih dalam dua contoh perubahan dengan menggunakan perkara yang suci dan najis.

وَ الْقُلَّتَانِ بِالْوَزْنِ: خَمْسُمِائَةِ رِطْلِ بَغْدَادِيٍّ تَقْرِيْبًا، وَ بِالْمِسَاحَةِ فِي الْمُرَبَّعِ: ذِرَاعٌ وَ رُبُعٌ طُوْلًا وَ عَرْضًا وَ عُمْقًا، بِذِرَاعِ الْيَدِ الْمُعْتَدِلَةِ. وَ فِي الْمُدَوَّرِ: ذِرَاعٌ مِنْ سَائِرِ الْجَوَانِبِ بِذِرَاعِ الْآدَمِيِّ، وَ ذِرَاعَانِ عُمْقًا بِذِرَاعِ النَّجَّارِ، وَ هُوَ ذِرَاعٌ وَ رُبُعٌ. وَ لَا تَنَجَّسَ قُلَّتَا مَاءٍ وَ لَوِ احْتِمَالًا، كَأَنْ شَكَّ فِيْ مَاءٍ أَبْلَغَهُمَا أَمْ لَا، وَ إِنْ تُيُقِّنَتْ قِلَّتُهُ قَبْلَ بِمُلَاقَاةِ نَجَسٍ مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ بِهِ، وَ إِنِ اسْتُهْلِكَتِ النَّجَاسَةُ فِيْهِ. وَ لَا يَجِبُ التَّبَاعُدُ مِنْ نَجَسٍ فِيْ مَاءٍ كَثِيْرٍ. وَ لَوْ بَالَ فِي الْبَحْرِ مَثَلًا فَارْتَفَعَتْ مِنْهُ رَغْوَةٌ فَهِيَ نَجِسَةٌ إِنْ تَحَقَّقَ أَنَّهَا مِنْ عَيْنِ النَّجَاسَةِ، أَوْ مِنَ الْمُتَغَيِّرِ أَحَدُ أَوْصَافِهِ بِهَا، وَ إِلَّا فَلَا. وَ لَوْ طُرِحَتْ فِيْهِ بَعْرَةٌ، فَوَقَعَتْ مِنْ أَجْلِ الطَّرْحِ قَطْرَةٌ عَلَى شَيْءٍ لَمْ تُنَجِّسْهُ،

Ukuran air dua qullah dengan timbangan adalah kurang-lebih 500 liter Baghdad, sedang dua qullah dengan alat ukur dalam wadah kubus adalah 1 ¼ hasta orang normal setiap panjang, lebar dan dalamnya. Sedang dalam wadah silinder atau bulat adalah dengan diameter 1 hasta manusia disetiap sisi dan dalamnya 2 hasta dengan hasta tangan tukang kayu, yakni 1 ¼ hasta tangan biasa. Air yang berjumlah dua qullah tidak dapat dihukumi najis – walaupun masih kemungkinan seperti diragukan apakah ari tersebut sudah mencapai dua qullah ataupun belum dan walaupun sebelumnya telah diyakini sedikitnya jumlah air tersebut – dengan sebab terkena najis selama najis tersebut tidak merubah sifat air walaupun najis tersebut larut di dalamnya. Tidak wajib menjauhi najis di air yang berjumlah banyak (148). Kalau seandainya seseorang kencing di laut, kemudian terjadi buih, maka buih tersebut dihukumi najis bila jelas buih itu dari air kencingnya atau dari air yang telah berubah salah satu sifat air dengan sebab air kencing tersebut, dan bila tidak seperti itu maka tidaklah dihukumi najis. Jika sebuah kotoran kering (159) dilemparkan ke dalam air, lalu dari pelemparan tersebut menimbulkan percikan air yang mengenai pada suatu benda, maka benda tersebut tidak dihukumi najis.

وَ يُنَجِّسُ قَلِيْلُ الْمَاءِ – وَ هُوَ مَا دُوْنَ الْقُلَّتَيْنِ – حَيْثُ لَمْ يَكُنْ وَارِدًا بِوُصُوْلِ نَجَسٍ إِلَيْهِ يُرَى بِالْبَصَرِ الْمُعْتَدِلِ، غَيْرَ مَعْفُوٍّ عَنْهُ فِي الْمَاءِ، وَ لَوْ مَعْفُوًّا عَنْهِ فِي الصَّلَاةِ، كَغَيْرِهِ مِنْ رُطَبٍ وَ مَائِعٍ، وَ إِنْ كَثُرَ. لَا بِوُصُوْلِ مَيْتَةٍ لَا دَمَ لِجِنْسِهَا سَائِلٌ عِنْدَ شَقِّ عُضْوٍ مِنْهَا، كَعَقْرَبٍ وَ وَزْعٍ، إِلَّا إِنْ تَغَيَّرَ مَا أَصَابَتْهُ – وَ لَوْ يَسِيْرًا – فَحِيْنَئِذٍ يَنْجُسُ. لَا سَرْطَانٍ وَ ضِفْدَعٍ فَيَنْجُسُ بِهِمَا، خِلَافًا لِجَمْعٍ، وَ لَا بِمَيْتَةٍ كَانَ نَشْؤُهَا مِنَ الْمَاءِ كَالْعَلَقِ، وَ لَوْ طُرِحَ فِيْهِ مَيْتَةٌ مِنْ ذلِكَ نَجَسَ، وَ إِنْ كَانَ الطَّارِحُ غَيْرَ مُكَلَّفٍ، وَ لَا أَثَرَ لِطَرْحِ الْحَيِّ مُطْلَقًا. وَ اخْتَارَ كَثِيْرُوْنَ مِنْ أَئِمَّتِنَا مَذْهَبَ مَالِكٍ: أَنَّ الْمَاءَ لَا يَنْجُسُ مُطْلَقًا إِلَّا بِالتَّغَيُّرِ، وَ الْجَارِيْ كَرَاكِدٍ وَ فِي الْقَدِيْمِ: لَا يَنْجُسُ قَلِيْلُهُ بِلَا تَغَيُّرٍ، وَ هُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ. قَالَ فِي الْمَجْمُوْعِ: سَوَاءٌ كَانَتِ النَّجَاسَةُ مَائِعَةً أَوْ جَامِدَةً. وَ الْمَاءُ الْقَلِيْلُ إِذَا تَنَجَّسَ يَطْهُرُ بِبُلُوْغِهِ قُلَّتَيْنِ – وَ لَوْ بِمَاءٍ مُتَنَجِّسٍ – حَيْثُ لَا تَغَيُّرَ بِهِ، وَ الْكَثِيْرُ يَطْهُرُ بِزَوَالِ تَغَيُّرِهِ بِنَفْسِهِ أَوْ بِمَاءٍ زِيْدَ عَلَيْهِ أَوْ نُقِصَ عَنْهُ وَ كَانَ الْبَاقِيْ كَثِيْرًا.

Air yang jumlahnya sedikit yakni air yang kurang dari dua qullah dapat menjadi najis – bila air itu tidak dialirkan – (1610) dengan sebab masuknya najis pada air tersebut dengan najis yang dapat dilihat dengan mata orang yang normal, yang tidak dima‘fuw di dalam air walaupun dima‘fuw di dalam shalat, seperti halnya hukum selain air yakni dari perkara yang basah dan cair walaupun cairan yang berjumlah banyak. Tidak najis dengan sebab masuknya bangkai yang tidak memiliki jenis darah yang mengalir saat anggota tubuhnya dirobek seperti scorpio (kalajengking) dan cecak kecuali bangkai tersebut merubah sifat air walaupun dengan perubahan yang sedikit, maka pada saat seperti itu air menjadi najis. Tidak dengan masuknya bangkai kepiting dan katak, maka air menjadi najis dengan sebab dua bangkai hewan tersebut, sementara segolongan ulama’ berpendapat lain. Dan juga tidak najis dengan sebab bangkai dari hewan yang muncul dari air seperti halnya lintah. Kalau seandainya bangkai-bangkai itu (1711) dilempar ke dalam air, maka air dihukumi najis walaupun yang melempar adalah selainnya orang yang mukallaf. Tidak masalah melempar hewan pada waktu masih hidup secara mutlak. Mayoritas ulama’ kita lebih memilih pendapat Imām Mālik yang mengatakan bahwa air tidak dihukumi najis secara mutlak kecuali air menjadi berubah. Air yang mengalir seperti halnya air yang diam. Dalam qaul qadīm Imām Syāfi‘ī disebutkan bahwa tidak dihukumi najis sedikitnya air tanpa perubahan dan itu adalah madzhab Imām Mālik. Dan Majmū‘-nya Imām Nawawī mengatakan: Baik adanya najis tersebut cair ataupun padat. Air sedikit yang terkena najis dapat menjadi suci dengan sampainya air tersebut menjadi dua qullah – walaupun dengan menggunakan air yang terkena najis – sekira tidak ditemukan perubahan pada sifat air tersebut. Sedangkan air banyak yang terkena najis dapat suci dengan sebab hilangnya perubahan pada air itu dengan sendirinya atau dengan air yang ditambahkan (1812) atau dikurangi sedang sisanya masih banyak.

Catatan:


  1. 7). Niat ightirāf adalah niat mengeluarkan air dari bejana untuk digunakan bersuci di luarnya. Waktu niatnya adalah sebelum menyentuh air tersebut. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 39 Darul-Fikr. 
  2. 8). Kesimpulannya, jika semisal seseorang ingin berwudhu’ dari air yang berada dalam bejana yang kurang dari dua qullah maka pada saat wudhu’ dan sampai membasuh tangan, disyaratkan sebelum mengambil air untuk anggota tangan tersebut untuk berniat ightirāf supaya air yang tersisa pada bejana tersebut tidak menjadi musta‘mal bagi anggota setelah tangan. (pen.). 
  3. 9). Maksudnya dengan mengira-ngirakan terjadinya perubahan bau, rasa dan warnanya dengan menggunakan perkara yang berbeda sifat dengan air. Untuk rasa gunakan buah delima, untuk warna gunakan warna perasan anggur, dan untuk bau gunakan kemenyan ‘Arab. Caranya: sediakan dua wadah masing-masing berisi air suci mensucikan dengan kadar yang sama misal satu liter. Tuangkan air musta‘mal ke dalam satu wadah dengan kadar misal 100 mililiter, untuk mengetahui perubahan pada air yang telah dituangi air musta‘mal ini, maka jika ingin mengetahui perubahan warna: sediakan perasan anggur 100 mililiter, lalu tuangkan pada wadah yang satunya. Jika terjadi perubahan warna, maka air yang dituangi dengan air musta‘mal tersebut juga berubah. Lakukan hal yang sama untuk mengetahui rasa dan bau. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 39 Darul-Fikr bil-ma‘nā. 
  4. 10). Sebagian pendapat mengatakan bahwa mukhalith adalah percampuran yang tidak mungkin dipisahkan. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 40 Darul-Fikr. 
  5. 11). Artinya perubahan air sebab debu tidaklah mempengaruhi kesucian air sebab keduanya sama-sama sucinya dan perubahan warna hanyalah murni keruh saja. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 39 Darul-Fikr. 
  6. 12). Sebab kesucian air tidak dapat hilang hanya dengan sebuah keraguan. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 40 Darul-Fikr. 
  7. 13). Maksudnya adalah tempat asli yang berada di tanah, atau buatan yang menyerupai aslinya. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 41 Darul-Fikr. 
  8. 14). Maksudnya tidak wajib menjauhi dari najis yang berada di air yang berjumlah banyak saat menciduk air di tempat tersebut bahkan diperbolehkan untuk menciduk di tempat manapun sampai berada di tempat terdekat dengan najis itu. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 42 Darul-Fikr. 
  9. 15). Dan sejenisnya dari setiap najis yang keras. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 42 Darul-Fikr. 
  10. 16). Kesimpulannya: Bila air tersebut dialirkan pada tempat najis dan air belum terpisah dari tempatnya, maka air tersebut hukumnya suci-mensucikan. Bila telah terpisah dan tidak ada perubahan, tidak bertambah kadar timbangannya setelah mengira-ngirakan kadar yang diserap oleh tempat yang terkena najis dan tempatnya telah suci, maka hukumnya suci namun tidak mensucikan. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 43 Darul-Fikr. 
  11. 17). Isim isyārah tersebut kembali pada bangkai jenis hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir dan bangkai hewan yang berasal dari air menurut pendapat sekelompok ulama’ dan Imām Ramlī. Sedangkan menurut Imām Nawawī, Rāfi‘ī dan Ibnu Ḥajar bahwa bangkai hewan yang berasal dari air tidaklah masalah bila dilempar ke dalam air. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 44 Darul-Fikr. 
  12. 18). Tidak dengan selainnya air seperti dicampur dengan minyak misik, maka hukumnya tidak suci sebab masih diragukan apakah najisnya hilang atau tertutupi saja. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 45 Darul-Fikr. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *