2-1 Hubungan Ahl-ul-Bait Dengan Sahabat – Al Hasan ra & Al Husain ra

Dari Buku:

SAYYIDĀ SYABĀB AHL-IL-JANNAH
AL-HASAN R.A. & AL-HUSAIN R.A.

Oleh: Achmad Zein Alkaf

Penerbit: Pustaka Albayyinat

Hubungan Ahl-ul-Bait Dengan Shaḥābat

(Bagian 1)

 

Para ulama kita terutama para salafunā-sh-shāleh berpendapat bahwa antara Ahl-ul-Bait dengan para Shaḥābat telah terjalin hubungan yang sangat baik. Mereka saling hormat-menghormati, cinta-mencintai dan sayang-menyayangi. Mereka semua adalah sama-sama sabagai anak didik Rasūlullāh saw yang telah mewarisi sifat-sifat Rasūlullāh saw, seperti al-Akhlāq-ul-Karīmah, al-Afwu Ind-al-Maqdirah serta Ḥusnuzh-Zhann kepada sesama Muslim.

Hal ini dikuatkan oleh firman Allah SWT:

محمد رسول الله و الذين معه أشداء على الكفار رحماء بينهم. (الفتح: ٢٩)

“Muḥammad itu adalah itu utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya itu, keras atau tegas kepada orang-orang kafir, tapi saling kasih sayang sesama mereka.” (QS. Al-Fatḥ: 29)

Selanjutnya untuk membuktikan keterangan di atas marilah kita ikuti pidato Imām ‘Alī k.w. yang membuktikan kesaksian dan kecintaan beliau kepada para shahabat, sekaligus menolak anggapan orang-orang Syī‘ah, yang sering berkomentar bahwa Ahl-ul-Bait dan para Shaḥābat saling bermusuhan. Apa yang akan kami sampaikan ini, kami kutip dari Kitāb Nahj-ul-Balāghah, sebuah kitab yang diagungkan oleh orang-orang Syī‘ah.

Berkata Amīr-ul-Mu’minīn ‘Alī bin Abī Thālib k.w.:

Saya sudah lihat sendiri Shaḥābat-shaḥābat Rasūlullāh SAW, tidak seorangpun dari kalian yang dapat menyamai mereka. Mereka siang hari banyak berdiri ruku’ dan sujud (menyembah Allah), silih berganti, tampak kegesitan di dahi dan wajah-wajah mereka, seolah-olah mereka berpijak di atas bara bila mereka ingat akan hari pembalasan (akhirat), di antara kedua mata mereka tampak bekas sujud mereka yang lama, bila mereka ingat akan Allah, berlinang air mata mereka sampai membasahi baju mereka, mereka condong bagaikan condongnya pohon dihembus angin lembut karena takut akan siksa Allah, serta mengharapakn pahala atau ganjaran dari Allah.

Dalam kesempatan lain beliau berkata:

“Manakah kaum yang diseru kepada Islam, lalu menerimanya, yang membaca Al-Qur’ān lalu berhukum kepadanya, dikerahkan ke medan perang lalu segera meninggalkan anak-istrinya, sambil menghunus pedang dari sarungnya, terus menyerbu permukaan bumi bergelombang-gelombang dan bersaf-saf, ada yang tewas dan ada yang selamat, tidak gembira karena tetap hidup dan tak perlu ditaziyahi bila mati, berkunang mata mereka karena banyak berdoa, pucat muka mereka karena banyak ibadah di malam hari, wajah-wajah mereka penuh dengan kekhusyuan. Mereka adalah Shaḥābat-shaḥābatku yang telah pergi, pantas kita merindukan mereka dan menggigit jari karena kepergian mereka.”

Demikian bukti kecintaan Imām ‘Alī k.w. kepada para Shaḥābat, sekaligus sebagai pelajaran bagi kita. Sehingga Imām Ḥasan bin ‘Alī bin Abī Thālib ra ketika ditanya:

“Apakah mencintai Abū Bakar dan ‘Umar hukumnya Sunnah?” Beliau menjawab:

“Bukanlah semata-mata Sunnah, tetapi Wajib hukumnya.”

Sedang Imām Ja‘far as-Shādiq bin Muḥammad al-Bāqir bin Zain-al-‘Ābidīn bin Ḥasan bin ‘Alī bin Abī Thālib ra, ketika membicarakan keutamaan Sayyidinā Abū Bakar r.a. Beliau berkata:

ما أرجو من شفاعة علي شيئا إلَّا و أنا أرجو من شفاعة أبي بكر مثله (رواه الدارقطني)

“Di samping saya mengharap syafa’at dari Alī, saya juga mengharap syafaat dari Abū Bakar.” (HR. Ad-Dāruquthnī)

Beliau juga berkata:

اللهم إني أتولى أبا بكر و عمر و أحبهما. اللهم إن كان في نفسي غير هذا فلا نالتني شفاعة محمد صلى الله عليه و سلم يوم القيامة. (رواه الدارقطني)

“Ya Allah, aku mengakui Abū Bakar dan Umar sebagai pemimpin dan aku mencintai kedua orang tersebut. Ya Allah, apabila yang ada dalam hatiku bukan demikian, biarlah aku tidak mendapat syafaat dari Muḥammad SAW kelak di hari kiamat.” (HR. Ad-Dāruquthnī)

Dalam kesempatan lain beliau berkata:

من تبرأ من أبي بكر و عمر فأنا بريء منه. (رواه الدارقطني)

“Barang siapa lepas tangan (tidak menyukai) Abū Bakar dan Umar, maka saya juga lepas tangan dari orang tersebut.” (HR. ad-Dāruquthnī )

Dalam kesempatan lain Imām Ja‘far as-Shādiq r.a. berkata:

إني بريء من مبغض الشيخين أبي بكر و عمر، و لو أني وليت لتقربت إلى الله تعالى بدماء من يكرهما. (المشرع الروى – ١ ص ٨٦)

Aku lepas tangan dari orang-orang yang membenci Abū Bakar dan ‘Umar, dan kalau sekiranya aku berkuasa, niscaya aku akan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menumpahkan darah orang yang membenci keduanya. (Al-Masyra‘-ur-Ruwā juz 1 hal. 86)

Demikian di antara bukti-bukti kecintaan Ahl-ul-Bait kepada para Shaḥābat dan terutama Khalifah Abū Bakar ra dan Khalifah ‘Umar ra.

Sehingga dapat kita simpulkan bahwa di antara Ahl-ul-Bait dengan para Shaḥābat telah terjalin hubungan yang sangat intim dan harmonis, serta saling menghormati dan saling mencintai.

Berbeda dengan anggapan orang-orang Syī‘ah, mereka berpendapat bahwa hubungan Imām ‘Alī k.w. dan Siti Fāthimah ra dengan Khalifah Abū Bakar r.a. dan Khalifah ‘Umar ra, berada dalam keadaaan yang bermusuhan dan tidak terjalin hubungan baik.

Pengertian yang demikian itu, dikarenakan adanya cerita-cerita yang sengaja dibuat olah ulama-ulama Syī‘ah dalam usaha mereka memisahkan antara Siti Fāthimah r.a. dan Imam ‘Alī k.w. dengan kedua Khalifah tersebut pada khususnya dan dengan para Shahabat pada umumnya.

Sebenarnya apabila kita membaca sejarah Ahl-ul-Bait, maka cerita-cerita yang bersumber dari ulama-ulama Syī‘ah itu telah terbantah dengan keadaan yang sebenarnya terjadi. Karena hubungan baik Siti Fāthimah r.a. dan Imām ‘Alī k.w. dengan Sayyidinā Abū Bakar ra dan Sayyidinā ‘Umar ra bukan saja terjadi di saat Rasūlullāh SAW masih hidup, tetapi sampai akhir hayat Siti Fāthimah r.a. hubungan baik tersebut terus berjalan. Sampai-sampai dalam wasiatnya, Siti Fāthimah r.a. meminta agar apabila beliau wafat, maka yang memandikan adalah istri Khalifah Abū Bakar ra yang bernama Asmā’ binti Umais r.a.

Hubungan baik tersebut diteruskan oleh Imām ‘Alī k.w., di mana setelah Khalifah Abū Bakar r.a. wafat, putranya yang bernama Muḥammad bin Abī Bakar dipelihara oleh Imām ‘Alī k.w. Hal mana setelah Imām ‘Alī k.w. menolong Asmā’ binti Umais ra dengan mengawininya.

Hubungan kekeluargaan yang baik tersebut juga dikuatkan dan dipererat dengan perkawinan antara Imām Ḥusain ra putra Imām ‘Alī k.w. dengan cucu Khalifah Abū Bakar ra, yaitu Ḥafshah binti Abd-ir-Raḥmān bin Abī Bakar, serta cicit Imām ‘Alī k.w., yaitu Muḥammad al-Bāqir r.a. dengan cicit Khalifah Abū Bakar.

Dalam hal ini Imām Ja‘far Shādiq berkata:

ولدني أبو بكر مرتين. (رواه الدارقطني)

“Saya dilahirkan dari Abū Bakar dua kali.” (HR. ad-Dāruquthnī)

Yang pertama dari ibunya, yang bernama Farwah binti al-Qāsim bin Muḥammad bin Abū Bakar as-Shiddīq dan kedua neneknya yang bernama Ḥafshah binti ‘Abd-ur-Raḥmān bin Abī Bakar as-Shiddīq.

Oleh karena itu Imām Ja‘far Shādiq ra merasa bangga sekali, sebab disamping ayahnya dari keturunan Rasūlullāh SAW, maka ibunya dari keturunan Khalifatu Rasūlillāh Sayyidinā Abū Bakar ash-Shiddīq r.a.

Demikian pula terjalin hubungan baik antara Imām ‘Alī k.w. dengan Khalifah ‘Umar ra. Karena disamping Imām ‘Alī k.w. dikenal sebagai penasehat Khalifah ‘Umar ra, beliau juga telah menerima Khalifah ‘Umar ra sebagai menantunya. Di mana Khalifah ‘Umar telah dinikahkan dengan Ummu Kultsūm r.a. putri Siti Fāthimah r.a. dan Imām ‘Alī k.w.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *