1-D Ulama Non-‘Arab – Biografi Imam Abu Hanifah

Biografi IMĀM ABŪ HANĪFAH
(Judul Asli: Silsilat al-Aimmah al-Mushawwarah (3): al-Imām Abu Hanifah al-Numān)
Oleh: Dr. Tariq Suwaidan

Penerjemah: M. Taufik Damas dan M. Zaenal Arifin.
Penerbit: Zaman

Rangkaian Pos: 001 Pertumbuhan Dan Keluarga | Biografi Imam Abu Hanifah

BAGIAN SATU

MASA PERTUMBUHAN DAN MASA MENCARI ILMU

BAB 1

PERTUMBUHAN DAN KELUARGA

 

ULAMA NON-‘ARAB
Abū al-Mu’ayyad al-Makkī mengatakan bahwa ilmu pengetahuan dan nilai-nilai intelektual-spiritual tidak hanya dimonopoli oleh bangsa ‘Arab saja. Inilah yang menunjukkan kedudukan Abū Ḥanīfah di bidang pemikiran dan keagamaan. Penuturan al-Makkī bahwa sang imam hidup sezaman dengan Hisyām ibn ‘Abdul Mālik menunjukkan bahwa disiplin ilmu fikih lebih banyak dikuasai oleh orang non-‘Arab. Al-Makkī lalu menyebutkan satu kisah yang menguatkan keunggulan orang non-‘Arab atas orang ‘Arab dalam hal kedalaman ilmu fikih.

Diriwayatkan oleh ‘Athā’ dari ayahnya yang berkata: “Aku menemui Hisyām ibn ‘Abdul Mālik di Rashafah. Ia lalu bertanya padaku: “Wahai ‘Athā’, apakah engkau mengetahui ulama di setiap kota?” Aku pun menjawab: “Ya, saya mengetahuinya, Amirul Mu’minin.”

Ia mulai bertanya: “Siapakah ahli fikih di Madinah?” Aku jawab: “Nāfi‘, bekas budak Ibnu ‘Umar”. Ia bertanya lagi: “Ia seorang maula (bekas budak) atau orang ‘Arab?” Aku jawab: “Seorang maula.”

“Siapakah ahli fikih Makkah?” Aku jawab: “‘Athā’ ibn Rabah”. Ia maula atau orang ‘Arab?” tanyanya lagi. Aku jawab: “Seorang maula.”

“Siapakah ahli fikih Yaman?” Aku jawab: “Thāwus ibn Kisān.” “Ia maula atau orang ‘Arab?” tanyanya lagi. Aku jawab: “Seorang maula.”

“Siapakah ahli fikih Yamāmah?” Aku jawab: “Yaḥyā ibn Katsīr.” “Ia maula atau orang ‘Arab?” tanyanya lagi. Aku jawab: “Seorang maula.”

“Siapakah ahli fikih Syam?” Aku jawab: “Makḥūl.” “Ia maula atau orang ‘Arab?” tanyanya lagi. Aku jawab: “Seorang maula.”

“Siapakah ahli fikih Jazirah?” Aku jawab: “Maymūn ibn Mahrān.” “Ia maula atau orang ‘Arab?” tanyanya lagi. Aku jawab: “Seorang maula.”

“Siapakah ahli fikih Khurasan?” Aku jawab: “al-Dhaḥḥāk ibn Muzāhim”. “ Ia maula atau orang ‘Arab?” tanyanya lagi. Aku jawab: “Seorang maula.”

“Siapakah ahli fikih Bashrah?” Aku jawab: “al-Ḥasan dan Ibnu Sīrīn”. Mereka maula atau orang ‘Arab?” tanyanya lagi. Aku jawab: “Mereka maula.”

“Lalu, siapakah ahli fikih Kufah?” Aku jawab: “Ibrāhīm al Nakha‘ī”. Ia maula atau orang ‘Arab?” tanyanya lagi. Aku jawab: “Orang ‘Arab”. Hisyām kemudian berkata: “Aku hampir saja tak bisa mengontrol diri karena tak seorang ‘Arab pun yang disebutnya.”

Riwayat Lain

Di kitab al-‘Aqd al-Farīd karangan Ibnu ‘Abdi Rabbih terdapat dialog yang mirip dengan pertanyaan Hisyām ibn ‘Abdul Mālik kepada ‘Athā’, yaitu dialog antara Ibnu Abī Lailā dan menteri ‘Īsā ibn Mūsā – yang memiliki sikap fanatisme sangat tinggi terhadap bangsa ‘Arab.

‘Īsā ibn Mūsā bertanya: “Siapakah ahli fikih Irak?” Aku (Ibnu Abī Lailā) menjawab: “al-Ḥasan ibn Abī al-Ḥasan.”

“Siapa lagi selainnya?” Aku jawab: “Muḥammad ibn Sīrīn.”

“Apa status keduanya?” Aku jawab: “Keduanya adalah maula, bukan orang ‘Arab.”

Sang menteri bertanya lagi: “Siapakah ahli fikih Makkah?” Aku jawab: ‘Athā’ ibn Abī Rabah, Mujāhid, Sa‘īd ibn Jubayr, dan Salmān ibn Yasār.”

“Apa status mereka?” Aku jawab: “Mereka semua maula.” Mendengar ini, wajah sang menteri mulai berubah.

Sang menteri bertanya: “Siapakah ahli fikih Quba’?” Aku jawab: “Rabī‘ah al-Ra’y dan Ibnu Abī al-Zannād.”

“Apa status keduanya?” Aku jawab: “Keduanya maula”. Wajah sang menteri mulai memerah.

“Siapakah ahli fikih di Yaman?” Aku jawab: “Thāwus dan Ibnu Munabbih.”

“Siapa mereka?” Aku jawab: “Keduanya maula.” Wajah sang menteri mengerut. Ia langsung bangkit berdiri, lalu bertanya lagi: “Siapakah ahli fikih di Khurasan?” Aku jawab: “ ‘Athā’ ibn ‘Abdul Mālik al-Khurasānī.”

“Apa status ‘Athā’ ini?” Aku jawab: “Dia seorang maula.” Wajah sang menteri kian mengerut tanda marah dan mulai menghitam membuatku takut.

Ia bertanya lagi: “Siapa ahli fikih Syam?” Aku jawab: “Makḥūl.”

“Apa status Makḥūl ini?” Aku jawab: “Dia seorang maula.”

Mendengar jawaban demikian, sang menteri menghela nafas sangat dalam tanda gregetan, lalu bertanya lagi: “Siapa ahli fikih Kufah?”

Demi Allah, seandainya bukan karena rasa takut, aku pasti akan menjawab: “Al-Ḥakam ibn ‘Uthbah dan Ḥammād ibn Abī Sulaymān.” Aku melihat adanya keburukan yang mungkin terjadi bila aku jawab demikian. Oleh sebab itu, aku mejawab “Ibrāhīm al-Nakha‘ī dan al-Sya‘bī.”

“Apa status keduanya?” Aku jawab: “Keduanya orang ‘Arab.”

Ia lantas berkata: “Allah Maha Besar”. Dan, kegeraman sang menteri langsung reda.

Politik Adiluhung

Islam mengajarkan politik adiluhung yang bersumber dari prinsip mulia hingga bisa diterima oleh akal manusia. Prinsip dasar politik Islam adalah ayat: Manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya (al-Najm [53]: 30).

Prinsip ini diajarkan oleh Rasulullah dalam sabdanya: “Tidak ada keistimewaan bagi orang ‘Arab atas orang non-‘Arab kecuali karena ketakwaan.” Inilah prinsip utama yang disebarkan oleh agama Islam di muka bumi. Di bawah naungan politik positif ini, Islam mulai bergerak menaklukkan berbagai wilayah. Lahirlah kaum filsuf non-‘Arab dan para ulama besar di lingkungan Islam, selain kaum filsuf ‘Arab. Orang-orang ‘Arab menimba ilmu di madrasah non-‘Arab dan di bawah bimbingan ulama non-‘Arab. Begitu pun orang-orang non-‘Arab. Mereka menimba ilmu di madrasah ‘Arab dan di bawah arahan orang ‘Arab. Tidak sekali pun kita menemukan di dalam kitab-kitab mereka sesuatu yang mengisyaratkan kelebihan atau keunggulan orang non-‘Arab atas orang ‘Arab. Begitu pun sebaliknya. Semuanya sama di bidang ilmu pengetahuan dan intelektualitas.

 

Mayoritas ulama pada masa Abū Ḥanīfah dan masa sesudahnya berasal dari kalangan orang non-‘Arab. Ini semua menguatkan prinsip Islam tentang persamaan dan kesetaraan di antara umat manusia di dalam bingkai sebuah peradaban yang adiluhung.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *