1-1-1 3 Periode Tabi’in (Periode Ketiga) – Ushul Fiqih Sebelum Dibukukan | Sejarah & Pengantar Ushul Fiqh

SEJARAH DAN PENGANTAR USHUL FIQH
PENYUSUN: Drs. Ramayulis dkk.

Diterbitkan: Penerbit KALAM MULIA

Rangkaian Pos: 001 Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh | Sejarah & Pengantar Ushul Fiqh

BAHAGIAN PERTAMA

Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh

 

BAB I

SEJARAH ILMU USHUL FIQH

Pasal 1, Ushul Fiqh Sebelum Dibukukan

 

Periode Tabi‘in (Periode Ketiga)

Benih-benih perselisihan yang sudah tumbuh pada periode sahabat ini, pada periode tabi‘in menjadi melebar, dan dalam pemikiran hukum Islam melahirkan dua aliran yaitu, aliran ar-ra’yu yang mendasarkan diri terutama pada pemikiran yang berdasarkan ijtihad, dan aliran hadits yang mendasarkan pemikiran hukumnya sekedar yang ada di dalam nash.

Aliran Hadits (Aliran Traditionalism)

Madrasah hadits pada permulaannya timbul di Ḥijāz, karena penduduk Ḥijāz lebih mengetahui hadits Rasūl dan lebih mengetahui tentang perkataan dan perbuatan/amalan Rasūl. Merekalah yang mendukung panji hadits. Ḥijāz pada masa itu merupakan sentrum para ulama. Mereka terpengaruh oleh jalan pikiran fuqaha’ sahabat dan tabi‘in. Dalam hal ini Ibn-ul-Qayyim berkata: “Ulama Madinah menerima ilmunya dari teman-teman ‘Abdullāh bin ‘Abbās. Sedangkan penduduk ‘Irāq menerima ilmunya dari ‘Abdullāh bin Mas‘ūd. Kemudian Ibn-ul-Qayyim menerangkan bahwa fuqaha’ – tujuh (SH11) yang kenyataannya adalah merupakan pembangun-pembangun madrasah fiqh, dan menundukkan seluruh kehidupan ummat Islam – di bawah dasar-dasar yang diambil dari Qur’ān dan Sunnah.

Madrasah hadits ini, sebenarnya bukan hanya dipelihara oleh fuqaha’ Ḥijāz, atau Madinah saja, melainkan juga oleh fuqaha’ di luar Ḥijāz yang pengikut-pengikutnya terdapat di beberapa kota besar Islam, ‘Āmir asy-Sya‘bī seorang fuqaha’ Kufah berpegang teguh kepada atsar dengan tidak melampauinya. Sufyān ats-Tsaurī seorang tabi‘-tabi‘in juga menjauhkan dari ra’yu. Al-Auzā‘ī seorang ulama Syam juga termasuk madrasah hadits. Yazīd ibn Ḥabīb permulaan ulama Mesir yang mempelopori ulama Mesir ke arah madrasah hadits. Asy-Syāfi‘ī, Aḥmad dan Dāūd demikian juga halnya.

Madrasah hadits ini, mula-mulanya dipimpin oleh Ibnu Musayyab. Banyak ulama Ḥijāz yang berguru kepadanya. Fuqaha’-fuqaha’ itu setelah mempelajari benar-benar bagaimana cara-cara Istinbāth Ibnu Musayyab, merekapun bertebaranlah ke berbagai kota untuk menyampaikan dan mengajarkan hadits yang diriwayatkan oleh ulama-ulama Madinah. Mereka ada yang pergi ke ‘Irāq, ke Syam, Mesir dan lain-lain.

Yang mengendalikan madrasah hadits ini, selain daripada Sa‘īd ibn Musayyab ialah Sālim ibn ‘Abdillāh ibn ‘Umar, kemudian az-Zuhrī dan Yaḥyā ibn Sa‘īd, kemudian sesudahnya Mālik, asy-Syāfi‘ī, Aḥmad dan Dāūd.

Walaupun Mālik sebagai pewaris pertama di Madinah dan madrasah ini, yang daripadanya kemudian berpindah kepada asy-Syāfi‘ī kemudian kepada Aḥmad dan Dāūd, namun Aḥmad dan Dāūd lebih keras pendiriannya di dalam atsar dan menjauhkan diri dari pada ra’yu.

Menurut Prof. T.M. Hashbi Al-Shiddiq cara aliran Hadits meng-istinbāth-kan hukum sebagai berikut:

Apabila para ulama dihadapkan kepada sesuatu masalah, maka mereka mencari penyelesaian masalah itu kepada Kitābullāh, kemudian kepada Sunnah Rasūl. Kalau ada mereka dapati Hadits yang berbeda-beda, mereka mengambil hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang lebih utama. Apabila mereka tidak memperoleh hadits, merekapun meninjau pendapat sahabat. Jika mereka tidak mendapat pendapat sahabat, mereka mempergunakan ijtihad, atau mereka tidak memberi fatwa. Karena itu mereka tidak suka kepada fiqh iftirādī dan tak suka bertanya-tanya tentang masalah-masalah yang belum terjadi. Akan tetapi kecenderungan ini tidak lama masanya. Dan telah berakhir dengan wafatnya Imām Dāūd ibn ‘Alī. Fuqaha’ yang datang sesudahnya, semuanya memperhatikan fatwa dan memberikan fatwa terhadap yang telah terjadi dan terhadap masalah yang belum pernah terjadi, atau yang mungkin terjadi.

Aliran Ra’yu (Aliran Rationalism)

Kufah adalah salah satu daerah ‘Irāq yang mempunyai banyak fuqaha’ pula, dan mempunyai kedudukan dalam mengembangkan ilmu menyaingi kota Madinah walaupun tidak mempunyai popularitas ilmiyyah sebelum lahirnya madzhab-madzhab. Kemudian lahirlah Abū Ḥanīfah dengan fiqhnya yang berlawanan dengan madrasah hadits dalam segi-segi ber-istinbāth dan dalam mempertahankan ‘illat-‘illat hukum ‘Irāq adalah suatu daerah yang jauh dari daerah hadits yang belum lagi dibukukan itu. Hadits-hadits yang sampai ke sana hanyalah hadits-hadits yang dibawa oleh sahabat yang datang ke sana, antara lain oleh Ibnu Mas‘ūd, ‘Alī ibn Abī Thālib, Sa‘d ibn Abī Waqqāsh, Abū Mūsā al-Asy‘arī, al-Mughīrah ibn Syu‘bah dan Anas ibn Mālik. Di samping itu perselisihan umat muslimin lantaran masalah khilāfiyyah sumbernya di ‘Irāq. Di sanalah timbul kaum Syi‘ah dan Khawarij, dan di sana terdapat pula orang Islam yang imannya belum kuat, belum sampai ke lubuk hatinya, sehingga mereka berani membuat hadits palsu.

Tokoh-tokoh Fiqhnya, yang meninggalkan sistim tradisional yang kemudian diambil oleh Fuqaha’ ‘Irāq, ialah: ‘Abdullāh bin Mas‘ūd, yang sependirian dengan ‘Umar di dalam mempergunakan ijtihad dan membahas ‘illah-‘illah hukum. Sebagaimana madrasah hadits yang tidak hanya dipimpin oleh fuqaha’-fuqaha’ ‘Irāq saja tetapi juga fuqaha’ di luar ‘Irāq. ‘Abdullāh ibn Mas‘ūd-lah sebagai pembangun utama aliran ini.

Di antara sahabatnya yang terkenal di Kufah, ialah ‘Alqamah an-Nakha‘ī (wafat 62 H.), al-Aswad an-Nakha‘ī (wafat 75 H.), Nasrūq (wafat 63 H.), Syuraiḥ (wafat 82 H.) dan al-Ḥārits. Mereka semuanya adalah fuqaha’ abad pertama yang wafatnya antara tahun 62 sampai 82 H. Sesudah itu Madrasah ini dipimpin oleh Ibrāhīm an-Nakha‘ī, yang sempat dapat bertemu dengan sebagian para sahabat, seperti dengan Abū Sa‘īd al-Khudrī. Ibrāhīm an-Nakha‘ī belajar dari Abū Sa‘īd dalam hal fiqh dan beliau menerima pula riwayat-riwayat daripadanya. Kemudian madrasah ini dipimpin oleh Abū Ḥanīfah, yang kepada beliaulah nama madrasah ini disandarkan. Sehingga Madzhab Ḥanafiyyah merupakan madzhab Ra’yi yang jama‘, atau madzhab jama‘ dalam madrasah ra’yi, yang masanya bersamaan dengan madzhab jama‘ dalam madrasah Hadits, yakni madzhab Imām Mālik.

Selanjutnya Hashbi menjelaskan pula cara yang ditempuh aliran Ra’yi dalam meng-istinbāth-kan hukum sebagai berikut:

Madrasah ra’yi berpendapat, bahwa agama Islam telah sempurna sebelum Rasūl wafat. Syariat Islam dapat dipahami maknanya, dapat diselami ‘illah-‘illah-nya, karena itu, fuqaha’ madrasah ini membahas ‘illat-‘illat hukum dan menentukan hukum sesuai dengan perputaran ‘illah-‘illah-nya. Karenanya mereka tidak takut-takut memberi fatwa dan mereka tidak takut pula memberikan fatwa terhadap sesuatu masalah yang belum terjadi. Dalam pada itu mereka sangat takut menerima sesuatu hadits, karena takut kalau-kalau hadits itu palsu.

Dalil yang bersifat qath‘i adanya dan bersifat adanya dan bersifat qath‘ī pula dalalahnya, seperti Qur’ān dan Sunnah ‘amaliyyah tidak akan menjadi medan perselisihan. Tapi dalil-dalil yang bersifat zhahirnya adanya atau zhahirnya dalalahnya atau zhannī kedua-duanya itulah yang menjadi tempat perselisihan.

Catatan:


  1. SH1: Bangsa Tabi’in yang tinggal di Madinah [fuqaha’-us-Sab’ah] ( 1. Ibnu al-Musayyab 2. ‘Urwah bin al-Zubair 3. Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar as-Shadiq 4. ‘Ubaidillah bin ‘Utbah bin Mas’ud 5. Kharijah bin Zaid bin Tsabit 6. Sulaiman bin Yasr. Untuk yang ke-7 ikhtilaf. Dikatakan yang ke-7 ialah Abu Salmah bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf, pendapat yang lain mengatakan yang ke-7 ialah Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khattab, pendapat yang terakhir mengatakan yang ke-7 ialah Abu Bakar bin ‘Abdurrahman.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *