1-1-1 2 Periode Sahabat (Periode Kedua) – Ushul Fiqih Sebelum Dibukukan | Sejarah & Pengantar Ushul Fiqh

SEJARAH DAN PENGANTAR USHUL FIQH
PENYUSUN: Drs. Ramayulis dkk.

Diterbitkan: Penerbit KALAM MULIA

Rangkaian Pos: 001 Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh | Sejarah & Pengantar Ushul Fiqh

BAHAGIAN PERTAMA

Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh

 

BAB I

SEJARAH ILMU USHUL FIQH

Pasal 1, Ushul Fiqh Sebelum Dibukukan

 

Periode Sahabat (Periode Kedua)

Masa ini dimulai sejak Nabi meninggal dunia (11 H.) dan berakhir sesudah 100 tahun kemudian. Dinamakan dengan periode sahabat adalah karena sahabatlah pemegang (penentu) dalam masalah perundang-undangan. Di antaranya ada yang hidup sampai puluhan terakhir dari abad ke-1 Hijriyyah seperti Anas bin Mālik yang wafat pada 93 H. (631 M). Pada periode ini, terbukanya pintu penggalian hukum terhadap peristiwa yang tidak ada ketentuan hukumnya. Tokoh sahabat pada masa ini banyak yang memunculkan interpretasinya terhadap nash al-Qur’ān dan Hadits yang bisa dianggap sebagai pandangan yurudis bagi penafsiran dan komentar beberapa nash. Dari mereka timbul fatwa-fatwa hukum berbagai masalah yang tidak ada nash-nya yang kemudian dapat dianggap sebagai dasar dalam berijtihad dalam mengambil suatu hukum.

Sumber hukum yang utama pada masa ini adalah al-Qur’ān dan as-Sunnah yang ditinggal oleh Nabi. Akan tetapi karena pada masa ini banyak timbul peristiwa-peristiwa baru yang tidak ditemukan nash-nya atau hadits Nabi sebagai jawabnya, maka para sahabat mempergunakan ijtihad seperti yang dipergunakan Nabi sebelumnya. Akan tetapi penggunaan ijtihad pada masa ini mempunyai ruang lingkup yang lebih luas, ketimbang masa-masa sebelumnya. Para sahabat berusaha memahami nash tidak secara zhahirnya saja, akan tetapi juga berusaha menggali makna-makna yang terkandung (tersirat) di dalamnya. Mereka tidak hanya memahami nash apa adanya seperti perintah wajib, tetapi berusaha menguak makna yang terkandung di dalamnya; kenapa dan apa sebabnya diwajibkan. Hal itu tampaknya sesuai dengan tuntutan zaman, di mana semakin banyaknya masalah-masalah baru yang tidak dapat dihukumkan secara zhahir nash saja.

Sehubungan dengan ini pada beberapa kasus yang menyebabkan sahabat membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan hukum antara lain:

1. Khalīfah ‘Umar umpamanya, pernah mengambil kebijaksanaan untuk tidak memberikan zakat kepada (مُؤَلَّفَاتُ قُلُوْبُهُمْ).

sedang hal ini di zaman Rasūl senantiasa diberikan. ‘Umar mengambil kebijaksanaan demikian dalam ijtihadnya, tampaknya, adalah karena beliau memahami sekali makna yang terkandung dalam ayat mengenai hak kepada mu’allaf. Inilah yang disebut kemudian dalam ilmu Ushul Fiqh dengan istilah: (مَصْلَحَةُ مُرْسَلَةُ).

2. Begitu juga kasus ‘iddah wanita hamil yang suaminya meninggal dunia. Dalam hal ini Ibn Mas‘ūd menetapkan ‘iddahnya sampai bersalin dengan merujuk kepada ayat:

وَ أُوْلَاتُ الْأَحْمَالِ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ.

Ibn Mas‘ūd menegaskan bahwa surat ath-Thalaq yang dinamakan an-Nisā’-ush-Shughrā, turun sesudah al-Baqarah yang dinamakan an-Nisā’-ul-Kubrā, menurut Ibn Mas‘ūd mengisyaratkan kepada patokan: bahwa yang datang kemudian menasakhkan yang datang lebih dahulu. (11).

3. Pada kasus lain, berdasarkan satu riwayat bahwa Abū Bakar pernah menerima suatu pengaduan sedangkan untuk memutuskannyya, beliau tidak menjumpai nash-nya dalam al-Qur’ān ataupun dalam hadits. Untuk itu beliau mengumpulkan tokoh-tokoh umat Islam untuk bermusyawarah. Kemudian, jika mereka sepakat dalam masalah itu, maka mereka laksanakanlah kesepakatan itu. Langkah tersebut juga dilakukan oleh ‘Umar bin Khaththab. (12) dan oleh para fuqahā’ dinyatakan sebagai ijma‘ yang dasarnya merupakan kesepakatan pembentukan hukum Islam yang dilakukan oleh jama‘ah, bukan pribadi. Kenyataan tersebut tidak dijumpai kecuali di masa sahabat dan pada permulaan masa Bani Umayyad di Andalus (abad ke-2 H.). Adapun sesudah masa ini tidak ditemui lagi ijtihad yang ijma‘ī seperti ini, karena para mujtahid melakukan ijtihad secara perorangan.

4. Dengan jalan melakukan qiyas, para sahabat secara bersungguh-sungguh telah melaksanakan ijtihad terhadap berbagai persoalan, yang tidak terdapat nash-nya. Cara yang ditempuh adalah dengan mengqiaskan kejadian yang tidak ada nash-nya, kepada kejadian yang ada nash-nya, dan sahabat mengambil perbandingan. Antara lain, para sahabat telah mengqiaskan masalah khilafah dengan imam shalat, sehingga Abū Bakar dapat diterima sebagai khalifah. Mereka mengajukan alasan qiyas dengan ungkapan: Abū Bakar telah diridhai oleh Rasūlullāh s.a.w. untuk kepentingan agama kita, apakah kita tidak ridha untuk kepentingan dunia kita?

Dengan demikian yang menjadi sumber hukum Islam pada masa ini adalah:

1. Al-Qur’ān, 2. Sunnah dan 3. Ijtihad para sahabat.

Pada masa sahabat besar atau periode kedua ini terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan hukum Islam.

Pertama: Akibat perluasan daerah Islam pada masa ‘Umar bin Khaththāb, dan berpindahnya ibu kota dari Madinah, maka para ulama dan fuqaha’ dari kalangan sahabat dan tabi‘in tersebar ke berbagai kota untuk menjadi qādhī, muftī, qārī, guru dan sebagainya, yang kemudian memunculkan para ahli di tempat masing-masing sebagai murid dan pengikutnya. Akibat lebih lanjut dari keadaan ini ialah lahirnya fatwa dalam bentuk produk ijitihadiyah yang lebih bersifat perorangan. Dalam melakukan ijtihad itu para fuqaha’ mempunyai sistem dan metode sendiri-sendiri karena luasnya daerah dan sulitnya perhubungan antara lain disebabkan jarak antara masing-masing daerah/kota cukup jauh serta beraneka ragamnya persoalan (hukum) yang timbul yang harus dipecahkan.

Kedua: Di kalangan para sahabat terdapat pula perselisihan dalam memahami nash. Ada di antara sahabat yang hanya memahami nash dari segi zhāhir-un-nash. Dan adapula di antara sahabat yang memahami ruḥ-un-nash. Golongan ini berani membahas dan menganalisa serta berani memberi fatwa tanpa ragu-ragu, terutama terhadap penggunaan sunnah atau hadits apabila berhadapan dengan ar-ra’yu dan ternyata terdapat pertentangan, mereka mendahulukan ar-ra’yu dan meninggalkan hadits.

Ketiga: Munculnya perbedaan misi politik yang melahirkan tiga golongan yaitu Khawarij, Syi‘ah dan Sunni. Perselisihan dalam bidang politik yang bermula dalam masalah urusan khilāfah dan khalīfah, lambat laun merambat ke dalam soal agama yang mempunyai pengaruh besar terhadap peradilan Islam (qadhā).

Golongan khawarij tidak mau mengambil hukum-hukum yang terdapat pada hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ‘Utsmān bin ‘Affān, ‘Alī bin Abī Thālib, Mu‘āwiyah Ibn Abī Sufyān dan sahabat-sahabat lain yang menyokong salah satu dari pendirian mereka. Golongan Khawarij ini hanya mau menerima hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang/ulama-ulama yang cocok dengan pendapat mereka. Oleh karenanya mereka mempunyai aliran fiqh sendiri. Begitu pula golongan Syi‘ah menolak hadits yang diriwayatkan oleh mayoritas sahabat, dan tidak memperdulikan fatwa atau pendapat mereka. Masing-masing golongan Syi‘ah hanya mau berpegang kepada hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para Imam mereka dari keluarga Rasūl. Dengan demikian mereka juga mempunyai aliran fiqh tersendiri. Adapun golongan Sunni yang menjadi mayoritas umat Islam, mereka bisa saja menerima setiap hadits-hadits shaḥīḥ dari setiap rawi yang terpercaya, jujur dan adil walaupun dari siapa saja datangnya. Oleh karena itu pendapat golongan ini tidak sama dengan pendapat golongan Khawarij dan Syi‘ah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *