1-1-2 Air Yang Dapat Berubah Menjadi Najis & Yang Tidak – Ringkasan Kitab al-Umm

Ringkasan Kitab al-Umm
Buku 1 (Jilid 1-2)
(Judul Asli: Mukhtashar Kitab al-Umm fil-Fiqhi)
Oleh: Imam Syafi‘i Abu Abdullah Muhammad Idris

Penerjemah: Mohammad Yasir ‘Abd Mutholib
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Air Yang Dapat Berubah Menjadi Najis & Yang Tidak - Ringkasan Kitab al-Umm

Air yang Dapat Berubah Menjadi Najis dan yang Tidak.

(Bagian 2 dari 2)

 

Apabila seseorang berada di laut dan tidak mendapatkan tanah, lalu orang tersebut mencucinya dengan sesuatu yang dapat menggantikan tanah, seperti abu gosok, sikat atau yang lain, maka dalam permasalahan ini ada dua pendapat.

Pertama, bejana itu tetap tidak suci, karena menyucikannya tidak boleh dengan sesuatu yang lain kecuali dengan tanah.

Kedua, bejana itu dapat disucikan dengan sesuatu yang menggantikan tanah atau yang dapat lebih membersihkan daripada tanah.

Imām Syāfi‘ī berkata: Apabila seseorang bertanya: “Apakah alasan anda mengatakan bahwa apabila seekor anjing atau babi meminum dari suatu bejana maka bejana itu tidak akan disucikan kecuali dengan tujuh kali cucian, sedangkan bangkai atau darah yang jatuh ke dalam bejana itu cukup dengan sekali cuci saja, meski semuanya tidak memberi perubahan apapun pada air itu?” Maka katakan kepada orang itu bahwa yang demikian itu mengikuti Rasūl s.a.w.

Imām Syāfi‘ī berkata: Telah diriwayatkan dari Abū Hurairah, ia berkata bahwa Rasūl s.a.w. bersabda:

إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ مِنْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ.

Apabila seekor anjing menjilat suatu bejana salah seorang di antara kalian, maka hendaklah ia mencucinya sampai tujuh kali.” (131).

Imām Syāfi‘ī berkata: Kita mengatakan bahwa hukum anjing adalah najis, karena berdasar kepada sabda Rasūl s.a.w.. Sedangkan babi tidak lebih buruk keadaannya daripada anjing, maka kami mengatakan hukumnya juga sama, karena dianalogikan kepada anjing. Adapun pendapat kami bahwa selain keduanya (anjing dan babi) adalah najis, karena berdasarkan berita yang dikabarkan kepada kami oleh Ibnu ‘Uyainah dari Hisyām bin ‘Urwah. Ia mendegar dari istrinya – Fāthimah binti al-Mundzir – dari Asmā’, ia berkata: Seorang wanita bertanya kepada Rasūl s.a.w.: “Wahai Rasūlullāh, bagaimanakah pendapatmu jika salah seorang di antara kami pakaiannya terkena darah haidh?” Rasūlullāh s.a.w. berkata kepadanya:

إِذَا أَصَابَ ثَوْبُ إِحْدَاكُنَّ الدَّمَ مِنَ الْحَيْضَةِ فَلْتَقْرِصْهُ ثُمَّ لَتَنْضَحْهُ لِتُصَلِّ فِيْهِ.

Apabila kain salah seorang di antara kalian terkena darah haidh hendaklah ia mengeriknya dengan kuku kemudian dipercikkan air, lalu ia shalat dengannya.” (142).

Imām Syāfi‘ī berkata: Tidak najis hukumnya apabila binatang yang hidup menyentuh air yang kadarnya sedikit, baik dengan cara meminumnya atau masuk ke dalam air itu, atau memasukkan salah satu anggota tubuhnya (kecuali anjing dan babi); hanya saja binatang yang telah mati adalah najis.

Apakah engkau tidak memperhatikan bahwa apabila seseorang menunggangi seekor keledai, keledai itu sampai mengeluarkan keringat, sedangkan orang itu tetap berada di atasnya dan ia halal menyentuhnya? Jawabannya, yaitu hadits Rasūl s.a.w. dari Ibrāhīm bin Muḥammad, dari Dāūd bin Ḥusain, dari bapaknya, dari Jābir bin ‘Abdullāh, bahwasanya Rasūl s.a.w. pernah ditanya: “Apakah seseorang berwudhu’ dari sisa keledai?” Rasūl s.a.w. menjawab:

نَعَمْ وَ بِمَا أَفْضَلَتِ السِّبَاعَ كُلَّهَا.

Ya, ia juga berwudhu’ dari air sisa seluruh binatang buas.” (153).

Imām Syāfi‘ī berkata: Diriwayatkan dari Kabsyah binti Ka‘b bin Mālik, dari Ibnu Abī Qatādah, bahwa Abū Qatādah menunagkan air untuk berwudhu’, lalu tiba-tiba seekor kucing datang dan meminum dari bejana itu. Abū Qatādah melihatku sedang memandangnya, maka ia bertanya: “Apakah engkau heran, wahai putri saudaraku? Rasūl s.a.w. bersabda:

إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِيْنَ عَلَيْكُمْ أَوِ الطَّوَّافَاتِ.

Sesungguhnya kucing itu tidak najis dan sesungguhnya ia adalah binatang yang mengelilingi kamu.” (164).

Imām Syāfi‘ī berkata: Apabila air yang sedikit atau banyak telah berubah sehingga membusuk atau berubah warnanya dikarenakan bercampur dengan sesuatu yang tidak haram, maka air itu dikategorikan sebagai air yang suci. Demikian juga halnya apabila seseorang yang kencing dalam air dan tidak diketahui apakah air itu bercampur najis atau tidak sementara warna, bau dan rasanya telah berubah, maka air itu tetap suci sehingga diketahui dengan jelas penyebab najisnya. Karena ketika air itu dibiarkan dan tidak diambil sebagai air minum, maka barangkali saja ia berubah dikarenakan bercampur dengan daun kayu dan lain sebagainya.

Imām Syāfi‘ī berkata: Apabila sesuatu yang halal terjatuh pada air dan merubah bau dan rasanya, akan tetapi air tidak menjadi rusak olehnya, maka seseorang bisa menggunakannya untuk berwudhu’; seperti apabila yang jatuh ke dalam air itu adalah kayu sehingga menimbulkan aroma tersendiri.

Adapun jika air bercampur dengan susu, madu, tepung atau yang lainnya, lalu air itu didominasi oleh benda-benda tadi, maka air itu tidak dapat digunakan untuk berwudhu’ dikarenakan air yang didominasi oleh benda-benda itu dinisbatkan kepada apa yang mendominasinya, seperti dikatakan; air tepung, air susu, atau air madu yang bercampur.

Kemudian apabila sesuatu yang mempunyai kadar rendah dimasukkan ke dalam air tersebut; baik berupa tepung, susu atau madu, lalu benda-benda ini tampak pada air tersebut, maka air yang suci dan tidak berubah rasanya ini boleh digunakan untuk berwudhu’, sebab air itu tidak berubah (sebagaimana adanya).

Imām Syāfi‘ī berkata: Demikian halnya jika dituangkan minyak kayu cendana di atas air sehingga air tersebut menimbulkan aroma minyak kayu cendana, maka tidak boleh berwudhu’ dengannya. Akan tetapi jika tidak menimbulkan bau, maka diperbolehkan untuk menggunakannya, karena apabila minyak kayu cendana atau air mawar dicampur dengan air, maka keduanya tidak dapat dibedakan.

Jika minyak wangi, minyak ambar, kayu cendana atau sesuatu yang mempunyai aroma dituangkan ke dalam air, namun tidak dapat melebur di dalamnya melainkan menimbulkan bau, maka dibolehkan berwudhu’ dengan air itu, karena tidak ada sesuatu pun dari benda-benda tersebut yang bercampur dengannya.

Jika dituangkan minyak kesturi atau dzarīrah (sejenis wangi-wangian) atau sesuatu yang larut dalam air sehingga air itu melebur dan tidak dapat dibedakan, lalu timbul bau padanya, maka tidak boleh berwudhu’ dengan air itu, karena dia bukan air lagi, tapi air yang bercampur dengan benda.

Catatan:


  1. (13). HR. Muslim, hadits no. 91 dalam kitab Thahārah
  2. (14). HR. Bukhārī, pembahasan tentang Haidh, bab “Membasuh Darah Haidh”, juz i, hal. 84. 
  3. (15). Musnad Syāfi‘ī, Syarḥ as-Sunnah, oleh Baghawī, juz 2, hal. 71. 
  4. (16). HR. Abū Dāūd, pembahasan tentang bersuci, bab “Air Liur Kucing”; Musnad Imām Aḥmad bin Ḥanbal, juz 5, hal. 33; Tirmidzī, bab “Wudhu’”, hadits no. 92; dan Ibnu Mājah, pembahasan tentang bersuci dan kesunnahannya. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *