1-1-2 3 Periode Penyempurnaan (Abad V-VI H.) – Ushul Fiqh Setelah Dibukukan | Sejarah & Pengantar Ushul Fiqh

SEJARAH DAN PENGANTAR USHUL FIQH
PENYUSUN: Drs. Ramayulis dkk.

Diterbitkan: Penerbit KALAM MULIA

Rangkaian Pos: 001 Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh | Sejarah & Pengantar Ushul Fiqh

BAHAGIAN PERTAMA

Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh

 

BAB I

SEJARAH ILMU USHUL FIQH

Pasal 2, Ushul Fiqh Setelah Dibukukan

 

Periode Penyempurnaan (Abad V-VI H.)

Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil, membawa arti bagi perkembangan baru peradaban Islam. Peradaban Islam tidak lagi terpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti Cairo (Qahirah-Mesir), Bukhārā, Ghaznah, dan Marakusy (Moroco). Hal itu disebabkan karena adanya perhatian besar dari sultan-sultan, raja-raja atau penguasa di daulah-daulah itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.

Salah satu dampak dari perkembangan itu ialah kemajuan di bidang Ushul Fikih. Sebahagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya, antara lain: al-Baqillānī, al-Qādhī ‘Abd-ul-Jabbār, ‘Abd-ul-Wahhāb al-Baghdādī, Abū Zaid ad-Dabūsī, Abul-Ḥusain al-Bashrī, Imām al-Ḥarāmain ‘Abd-ul-Mālik al-Juwainī, Abū Ḥāmid al-Ghazālī, dan lain-lain. Mereka itulah pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di kemudian (hari), mengikuti metode dan jejak mereka, yang mewujudkan aktifitas ilmiyah di bidang Ushul Fikih yang tidak ada bandingannya dalam penulisan dan pengkajian keislaman; generasi Islam di kemudian (hari), senantiasa menunjukkan minatnya kepada produk-produk Ushul Fikih di zaman itu, yang dijadikannya sebagai sumber pemikiran.

Kitab-kitab Ushul Fikih yang ditulis pada zaman ini, disamping mencerminkan adanya kitab Ushul bagi masing-masing madzhab fikih, juga menunjukkan adanya dua aliran Ushul Fikih yakni aliran Ḥanafiyyah yang dikenal sebagai aliran Fuqaha’, dan aliran Mutakallimin. Ulama yang terkenal di kalangan aliran Ḥanafiyyah ialah Abū Zayd ad-Dabūsī dan Abul-Ḥusain ‘Alī bin al-Ḥusain an-Bazdawī, sedang dari aliran Mutakallimin adalah: Imām al-Ḥarāmain penulis kitab al-Burhān, al-Ghazālī penulis kitab al-Mustashfā, keduanya dari golongan Asy‘ariyyah, adan al-Qādhī ‘Abd-ul-Jabbār penulis kitab al-‘Ahd, Abul-Ḥasan al-Bashrī penulis kitab al-Mu‘tamad, keduanya dari golongan Mu‘tazilah.

Dalam sejarah perkembangan Ushul Fikih, abad V dan VI H. inilah yang merupakan periode penulisan kitab Ushul Fikih yang terpesat, yang di antaranya terdapat kitab-kitab yang menjadi buku standar dalam pengkajian Ushul Fikih selanjutnya. Kitab-kitab Fikih yang paling penting antara lain sebagai berikut:

1. Kitāb-ul-Mughnī fī Abwāb-il-‘Adli wat-Tauḥīd, ditulis oleh al-Qādhī ‘Abd-ul-Jabbār (w. 415 H.). Penulis kitab ini adalah juga penulis Kitāb-ul-‘Ahd, yang oleh Ibnu Khaldun dianggap sebagai salah satu dari empat kitab standar Ushul Fikih. Dalam al-Mughnī, ‘Abd-ul-Jabbār, tidak saja menulis kaidah-kaidah Ushul Fikih, tetapi juga kaidah-kaidah Ilmu Kalam yang bercorak Mu‘tazilah. Baginya, Ilmu Kalam dan Ilmu Ushul Fikih saling menyempurnakan antara satu dengan lainnya.

2. Kitāb-ul-Mu‘tamadi fī Ushūl-il-Fiqh, ditulis oleh Abul-Ḥusain al-Bashrī (w. 436 H.), yang juga beraliran Mu‘tazilah. Kitab ini adalah karya yang paling sempurna dan menjadi sumber utama bagi ulama-ulama Mu‘tazilah pada umumnya. Bahkan di nilai sebagai salah satu dari empat kitab standar dalam Ilmu Ushul Fikih yang dijadikan rujukan oleh pada umumnya pengkaji Ushul Fikih sesudahnya.

3. Kitāb-ul-‘Iddati fī Ushūl-il-Fiqh, ditulis oleh al-Qādhī Abū Ya‘lā Muḥammad bin al-Ḥusain bin Muḥammad bin Khalf al-Farrā’ (w. 458 H.), yang dianggap sebagai ulama besar madzhab Ḥanbalī pada abad V H. Pengaruhnya di kalangan Ḥanbalī sangat besar, yang berlanjut sampai ke generasi Sunni sesudahnya, khususnya kaum Ḥanabilah, melalui berbagai karangannya tentang al-Qur’ān, ‘Aqidah, Fikih, dan ushul Fikih. Tetapi diduga dia sendiri terpengaruh oleh Kitab al-Fushūlu karya Abū Bakar al-Jazhshash dalam masalah al-Bayān dan macam-macamnya, dan oleh Kitāb-ul-Mu‘tamad karya Abul-Ḥusain al-Bashrī dalam corak pemikiran Mu‘tazilah. Abū Ya‘lā, di bidang Ushul Fikih, tergolong dalam aliran Mutakallimin, dan mengikuti metode mereka dalam menguraikan Ushul Fikih dari berbagai masalah Furū‘ dalam Fikih. Ia berpendapat bahwa seseorang yang mendalami Ushul Fikih, mestilah mempelajari lebih dahulu soal-soal furū‘ sehingga dapat mantap dalam memahami maksud istidlāl dari kaidah-kaidah Ushul.

4. Kitāb-ul-Burhāni fī Ushūl-il-Fiqh, ditulis oleh Abul-Ma‘ālī ‘Abd-ul-Mālik bin ‘Abdillāh bin Yūsuf al-Juwainī Imām al-Ḥarāmain (w. 478 H.). Kitab ini juga dinilai sebagai salah satu dari kitab-kitab standar Ushul Fikih. Ibnu Khaldun menilai buku ini sebgai kitab Ushul Fikih yang terbaik dari kalangan Mutakallimin, di samping kitab al-Mustashfā yang ditulis oleh al-Ghazālī, Kitāb-ul-‘Ahd oleh ‘Abd-ul-Jabbār, dan al-Mu‘tamad oleh al-Ḥusain al-Bashrī. (40) Dalam kitab ini, al-Juwainī menunjukkan keorisinilan dan kebebasan cara berpikirnya, sehingga dalam berbagai hal ia berbeda pendapat dengan Imām asy-Syāfi‘ī, al-Asy‘arī, dan al-Baqillānī.

Sesudah ulama-ulama yang tersebut di atas diiringi lagi oleh dua orang ulama yang terkenal menyimpulkan isi buku-buku para ulama terdahulu itu dalam buku mereka masing-masing mereka itu adalah:

1. Imām ar-Rāzī, meninggal pada tahun 606 H., dengan bukunya al-Maḥshūl, dan

2. Imām Amadī, meninggal pada tahun 631 H., dengan bukunya al-Aḥkām.

Selanjutnya Ulama-ulama ini diiringi pula oleh para ulama lainnya untuk membuat karya, sedangkan karyanya itu bersifat kutipan, tetapi masing-masing mereka mengemukakan pendapat mereka yang kadang-kadang tidak sesuai dengan pendapat para ulama yang sebelumnya. Para ulama itu adalah murid Imām Syāfi‘ī, mereka buat satu cara terpenting/tertentu untuk menetapkan dalil-dalil hukum yang dibuatnya sendiri tanpa mengacuhkan dan mencari persesuaian dengan furū‘-furū‘; Madzhab ataupun menyalahinya.

Dan yang lain, dari murid-murid Ḥanafī, cara mereka menyusun adalah dengan mengusahakan untuk menyesuaikan furū‘-furū‘ Madzhab, mereka susun itu dengan peraturan-peraturan yang telah ada yang ditetapkan pengarang sebelumnya. Apabila mereka berusaha untuk menyesuaikan, tetapi sungguhpun begitu, sekarang kita lihat kenyataan Ushūl Ḥanafiyyah dipenuhi dengan furū‘ (cabang) yang banyak.

Pada zaman muta’akhirin sekarang ini golongan Syāfi‘ī dan yang lain mereka menulis dalam sebuah kesimpulan dan kumpulan buku serta dipenuhi dengan pendapat-pendapat, antara pendapat golongan.

Syāfi‘ī dan golongan Ḥanafī. Di antara mereka yang mengumpulkan itu adalah:

1. Tāj-ud-Dīn as-Subkī dalam bukunya Jam‘-ul-Jawāmi‘.

2. Ibn-ul-Himām dalam bukunya at-Taḥrīr, sedangkan penulisnya tidak menambah keterangan-keterangan yang berlalu itu, malahan membahas mengenai kalimat-kalimatnya.

Kemudian disusul pula oleh seorang ulama pengarang Ilmu Ushul Fiqh, Qādhī Muḥammad bin ‘Alī bin Muḥammad asy-Syaukānī yang meninggal pada tahun 1255 H., nama bukunya Irsyād-ul-Fuḥūli Ilat-Taḥaqquq-il-Ushūli Fiqhi. Isinya yang terpenting dalam buku itu dalil-dalil (alasan) ahli ushul dengan menyalahi pendapat-pendapat yang terdahulu menetapkan hukum terhadap yang telah benar dan menguatkan yang telah kuat dalam bentuk pemikiran dengan tidak menyebutkan pendapat si Anu, dan lain-lainnya.

Dengan tiba-tiba datang lagi seorang murid dari Qādhī Muḥammad bin ‘Alī bernama as-Sa‘īd Muḥammad Shādiq Ḥasan yang mengkhianatinya, kemudian dinyatakan dalam bukunya Ḥushūl-ul-Ma‘mūli ‘Ilmi Ushūl.

 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *