1-1-2 1 Periode Awal (Abad III H.) – Ushul Fiqh Setelah Dibukukan | Sejarah & Pengantar Ushul Fiqh

SEJARAH DAN PENGANTAR USHUL FIQH
PENYUSUN: Drs. Ramayulis dkk.

Diterbitkan: Penerbit KALAM MULIA

Rangkaian Pos: 001 Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh | Sejarah & Pengantar Ushul Fiqh

BAHAGIAN PERTAMA

Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh

 

BAB I

SEJARAH ILMU USHUL FIQH

Pasal 2, Ushul Fiqh Setelah Dibukukan

 

Salah satu hal yang mendorong perlunya Ushul Fiqh itu dibukukan ialah perkembangan wilayah Islam yang semakin luas, yang menyebabkan orang-orang ‘Arab bercampur dengan bangsa setempat, dan menyebabkan timbulnya berbagai masalah yang perlu diketahui hukumnya. Dalam pada itulah ulama-ulama Islam sangat membutuhkan adanya kaidah-kaidah hukum yang terbukukan, yang dapat dijadikannya sebagai rujukan dalam rangka menetapkan hukum.

Secara garis besar ada dua teori penulisan Ushul Fiqh yang dikenal yaitu:

Pertama: Merumuskan kaidah-kaidah fiqhiyyah bagi setiap bab dalam bab-bab fikih dan menganalisanya, dan mengaplikasikan masalah furu‘ atas kaidah-kaidah itu, sehingga menghasilkan misalnya kaidah-kaidah jual beli secara umum, atau kaidah-kaidah perburuhan, serta menetapkan batasan-batasannya dan menjelaskan cara-cara mengaplikasikannya atas kaidah-kaidah itu. Teori inilah yang ditempuh oleh golongan Ḥanafī, dan merekalah yang merintisnya.

Kedua: Merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang mujtahid untuk meng-istinbāth-kan hukum langsung dari sumber-sumber hukum syar‘i tanpa terikat pada pendapat seorang fakih, atau suatu pemahaman yang sejalan maupun yang bertentangan. Cara inilah yang ditempuh oleh asy-Syāfi‘ī dalam kitabnya ar-Risālah, suatu kitab yang tersusun secara sempurna dibidang Ushul Fiqh, dan secara independen. Kitab yang semacam ini belum pernah ada sebelumnya menurut ijma‘ para ulama dan sebagaimana yang dicatat oleh sejarah.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kitab ar-Risālah yang ditulis oleh asy-Syāfi‘ī itulah yang merupakan kitab yang pertama-tama tersusun secara sempurna dalam ilmu Ushul Fiqh. Kitab itu tersusun secara tersendiri dengan metode, obyek pembahasan, dan permasalahan yang tersendiri pula, tanpa terkait dengan kitab-kitab fikih manapun.

Periode Awal (Abad III H.)

Pada abad III H, wilayah Islam di bawah pemerintahan ‘Abbāsiyyah semakin luas di Timur. Khalifah-khalifah ‘Abbāsiyyah yang berkuasa dalam abad ini ialah: al-Ma’mūn (w. 218 H.), al-Mu‘tashim (w. 227 H.), al-Wasiq (w. 232 H.) dan al-Mutawakkil (w. 247 H.). Pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiyah di kalangan Islam, yang dimulai sejak Khalīfah ar-Rasyīd. Kebangkitan pemikiran pada masa ini ditandai dengan timbulnya semangat penterjemahan di kalangan ilmuwan Islam. Buku-buku filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa ‘Arab, dan diberi penjelasan (syarah) seluasnya. Di samping itu, ilmu-ilmu keagamaan juga berkembang, dan semakin luas obyek pembahasannya. Hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada ilmu keislaman yang berkembang sesudah ‘Abbāsiyyah kecuali telah dirintis atau diletakkan dasar-dasarnya pada zaman ‘Abbāsiyyah ini.

Salah satu hasil dari kebangkitan berpikir dan semangat keilmuan bagi ulama Islam ketika itu ialah perkembangan di bidang Fikih, yang pada gilirannya mendorong untuk disusunnya metode berpikir fikih yang disebut Ushul Fiqh.

Sebagaimana telah dikemukakan, kitab Ushul Fiqih yang pertama-tama tersusun secara utuh dan terpisah dari kitab-kitab fikih, ialah ar-Risālah, karangan Imām asy-Syāfi‘ī. Kitab ini, dinilai oleh ulama-ulama sebagai kitab yang mempunyai nilai yang sangat tinggi. Ar-Rāzī berkata: “bahwa kedudukan asy-Syāfi‘ī dalam ilmu Ushul setingkat dengan kedudukan Aristo dalam Ilmu Mantiq, dan kedudukan al-Khalīl bin Aḥmad dalam ilmu al-‘Arūdh, orang-orang sebelum asy-Syāfi‘ī berbicara tentang masalah-masalah Ushul Fiqih, dan menjadikannya pegangan, tetapi bagi mereka belum ada kaidah-kaidah umum yang menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari‘at, dan cara memperpegangi serta mentarjihkannya; maka datanglah asy-Syāfi‘ī menyusun ilmu Ushul Fikih, yang merupakan kaidah-kaidah umum (qānūn kullī) yang dijadikannya sebagai rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalil syara‘,…… dan kalaupun ada orang yang menyusun kitab ilmu Ushul Fiqih sesudah asy-Syāfi‘ī-lah yang membuka jalan untuk pertama kalinya untuk itu.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *