005 Bab 5 – Ciri Khash Qaum Shufi (Bagian 1) – Al Luma’

Dari Buku:
Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf
Judul Asli: Al-Luma'
Oleh: Abu Nashr as-Sarraj
Penerjemah: Wasmukan dan Samson Rahman, MA.
Penerbit: Risalah Gusti, Surabaya.

BĀB V

CIRI KHĀSH QAUM SHŪFĪ DARI ETIKA, KONDISI DAN ‘ILMU YANG MEMBEDAKAN MEREKA DARI ‘ULAMĀ’ YANG LAIN

 

Syekh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: hal pertama yang merupakan ciri khāsh qaum Shūfī yang membedakannya dari ‘ulamā’ yang lain setelah mereka bisa melakukan semua kewajiban dan meninggalkan larangan, adalah meninggalkan hal-hal yang tidak dianggap perlu dan penting, memutus semua hubungan yang hanya akan menghambat antara mereka dengan apa yang diinginkan dan dituju. Sebab yang menjadi maqshūd dan tujuannya tak lain adalah Al-Ḥaqq, Allah ‘azza wa jalla.

Mereka memiliki adab (etika) dan kondisi spiritual yang beragam. Di antaranya adalah, merasa puas (qanā‘ah) dengan sedikit materi (duniāwi), sehingga tidak perlu yang banyak, mencakupkan diri dengan mengonsumsi makanan yang menjadi kebutuhan pokok. Sangat sederhana dalam sarana hidup yang tak mungkin ditinggalkan, seperti pakaian, tempat tidur, makanan dan lain-lain. Mereka lebih memilih miskin daripada kaya. Mereka bergelut dengan kesederhanaan dan menghindari kemewahan. Lebih memilih lapar daripada kenyang, sesuatu yang sedikit daripada yang banyak. Mereka tinggalkan kedudukan dan posisi terhormat (di mata manusia). Mereka korbankan pangkat dan kedudukan. Mereka curahkan kasih sayang kepada semua makhlūq, ramah, sopan dan rendah hati kepada yang muda maupun yang tua. Mengutamakan orang lain meskipun saat itu masih membutuhkannya. Mereka tidak pernah iri dan dengki serta tidak peduli terhadap mereka yang memiliki harta melimpah. Dirinya selalu berprasangka baik kepada Allah, ikhlāsh ketika bersaing dalam melakukan kethā‘atan dan kebaikan. Dirinya selalu menghadap kepada Allah dan mencurahkan segalanya hanya untuk-Nya. Selalu bertahan dalam menghadapi cobaan dan bencana yang diberikan-Nya, rela (ridhā) akan ketentuan (qadhā’)-Nya, bersabar dalam berjuang dan menggempur hawā nafsunya. Selalu menghindari kesukaan-kesukaan nafsu dan selalu menentangnya. Karena Allah telah menjelaskan, bahwa nafsu akan selalu memerintah kejelekan (Ammāratun bis-sū’in), dan melihatnya sebagai musuh terbesar yang selalu berdampingan dengan anda, sebagaimana sabda Nabi s.a.w.:

Musuh engkau yang paling besar adalah hawā nafsu yang ada dalam dirimu sendiri.

(H.R. Al-Baihaqī)

(1)

Dan di antara etika (adab) dan perilaku mereka adalah selalu menjaga rahasia-rahasia hatinya dan selalu murāqabah (menjaga ḥaqq-ḥaqq Tuhan yang Maha Agung). Sementara menjaga hatinya, dengan membersihkannya dari bisikan-bisikan jelek, menenangkan pikiran-pikiran yang sibuk, di mana hanya Allah Yang Mengetahuinya. Sehingga mereka menyembah Allah dengan penuh konsentrasi (hati yang ḥādhir), tekad yang menyatu, niat yang murni dan maqshūd yang tulus. Sebab Allah s.w.t. tidak menerima perbuatan-perbuatan hamba-Nya yang tidak ditujukan murni untuk-Nya. Allah berfirman:

Ingatlah!! Hanya kepunyaan Allah agama yang bersih (dari syirik).”

(Az-Zumar: 3)

(2)

Di antara adab, perilaku dan ciri khāsh mereka yang lain, adalah menapaki jalan-jalan para wali-Nya, menerjunkan diri dalam berbagai posisi orang-orang pilihan-Nya dan melakukan ḥaqīqat berbagai kebenaran, dengan mengorbankan jiwa dan menghancurkan nafsu. Mereka lebih mengutamakan mati daripada hidup, lebih memilih kerendahan daripada keagungan dan lebih mengedepankan hal-hal yang berat daripada kemudahan. Karena keinginan kuatnya untuk bisa “sampai” (wushūl) kepada al-Ḥaqq yang menjadi tujuan utamanya, ia tidak menginginkan yang lain selain apa yang dikehendaki-Nya.

Ini hanyalah awal sesuatu yang tampak dari berbagai ḥaqīqat yang muncul dan ḥaqīqat suatu kebenaran. Apakah anda tidak melihat, bahwa Nabi pernah bertanya kepada Ḥāritsah r.a.: “Setaip kebenaran (ḥaqq) tentu memiliki ḥaqīqat. Lalu apa ḥaqīqat keimānanmu?” tanya Rasūlullāh s.a.w. kepada Ḥāritsah. Lalu apa jawāban Ḥāritsah? Ia menjawābnya: “Aku berusaha menjauhkan diri dari dunia, tidak tidur di malam hari, haus di siang hari. Seakan-akan aku melihat ‘Arasy Tuhanku yang begitu terang dan jelas, dan seakan-akan aku melihat ahli surga, bagaimana mereka saling berkunjung, dan melihat ahli neraka bagaimana mereka saling menolong.” Lalu Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

Berarti engkau telah tahu, maka tetaplah pada jalan ini.

(H.R. Al-Bazzār dengan sanad dha‘īf. Atau sebagaimana diri dalam Ḥadīts – Dan hanya Allah yang Maha Tahu.)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *