4-3 Tauhid-uz-Zat – Permata Yang Indah (Bagian 3)

الدر النفيس
للشيخ محمد نفيس ابن إدريس البنجاري

PERMATA YANG INDAH
TITIAN SUFI MENUJU TAUḤĪDULLĀH
Oleh: Syekh Muhammad Nafīs Ibnu Idrīs Al-Banjārī

Rangkaian Pos: 004 Tauhid-uz-Zat - Permata Yang Indah

هو

PASAL EMPAT

TAUḤĪD AŻ-ŻᾹT

(Bagian 3)

Kembali di sini saya tegaskan bahwa wujud selain Allah adalah fanā’ di bawah Wujud Allah, sehingga tidak ada yang maujud melainkan hanya Allah s.w.t. Bahwa wujud alam semesta merupakan penampakan (maẓhar) dari Wujud Allah yang kemudian dijadikan semacam perumpamaan oleh kaum ‘ārif bi Allāh, adalah semata-mata karena untuk memudahkan pemahaman, dan bukan pada arti yang sesungguhnya. Hal ini diibaratkan dengan laut, ombak, dan buih. Ketiganya merupakan penampakan dari air, sehingga tidak ada yang maujud kecuali hanya air – karena baik laut, ombak, maupun buih, ketiganya maujud lantaran wujud air. Proses mewujudkannya ketiga hal tersebut adalah bahwa ketika yang tampak (ẓāhir) itu misalnya bergerak-gerak, maka itulah yang menjadi ombak dan buih. Namun, ketika tempat air itu menjadi luas, maka itulah yang menjadi laut. Jadi, ketiga wujud tersebut menunjukkan hakikat air. Tiada yang maujud dari sekalian itu kecuali hanya air, yang meliputi wujud air pada laut, ombak, dan buih, sebab jika misalnya air itu tidak bergerak dan tidak memiliki tempat yang luas, maka pasti tidak ada ombak, buih, ataupun laut. Maka, seperti itulah Wujud Allah. Wujud-Nya meliputi sekalian alam semesta, sebab alam semesta ini pada dasarnya tidak maujud melainkan karena Allah s.w.t. Wujud Allah meliputi atas segala sesuatu, sebagaimana difirmankan dalam al-Qur’ān:

Sesungguhnya Allah meliputi segala sesuatu.” (Fuṣṣilāt [41]: 45).

Syaikhunā al-‘Ᾱlim al-‘Allāmah al-‘Ᾱrif bi Allāh Maulānā asy-Syaikh ‘Abd ar-Rahmān Ibn ‘Abd al-‘Azīz al-Maghribī al-‘Umarī r.h. berpendapat bahwa:

“Meliputi” di sini adalah dengan Zat-Nya yang melazimkan bagi-Nya Sifat maknawiah, sebab Allāh adalah Nama bagi Zat Yang Wājib al-Wujūd, Yang memiliki segala Sifat terpuji dan sempurna.”

Jadi “meliputi” dalam hal ini bukan dalam pengertian terhadap alam semesta saja, sebagaimana pendapat yang berkembang dari mayoritas ulama eksoterik (ẓāhir) syari‘ah, di mana mereka itu terdindingi untuk mengenal Zat dan Sifat Allah dengan sesempurna-sempurna pengenal. Firman-Nya:

وَ للهِ الْمَشْرِقُ وَ الْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah Wajah Allah.” (al-Baqarah [2]: 115).

Ayat ini menyiratkan suatu penakwilan bahwa di mana pun anda menghadapkan wajah, hati, ruh, atau akal anda, maka di sanalah terdapat Zat Allah s.w.t. Di lain ayat disebutkan:

وَ هُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ

Dan Dia bersama kamu di mana pun kamu berada.” (al-Ḥadīd [57]: 4).

“Beserta” (ma‘a) di sini adalah dalam pengertian dengan Zat-Nya, yang melazimkan bagi-Nya Sifat pada makna fanā’ sekalian alam ini, sehingga, tiada yang maujud kecuali Allah Semata. Jadi, di mana pun ada “wujud-wujud” itu, di situlah Allah mendirikan (meng-qiyām-kan) mereka sehingga mereka pun menjadi “wujud”. Syaikh ‘Abd al-Wahhāb asy-Sya‘rānī q.s. menyatakan dalam al-Yawāqit wa al-Jawāhir:

“Barang siapa yang mengatakan bahwa ma‘iyyah (kebesertaan) Allah terhadap makhluk-Nya hanya dengan Sifat-Nya saja, maka ia mengandaikan Sifat itu terlepas (infikāk) dari Zat. Hal ini tentu tidak mungkin. Tetapi jika ia mengatakan bahwa yang kemudian melekat ke dalam makhluk-Nya – dari proses kebesertaan tersebut – adalah hanya Sifat-Nya, dan bukan Zat-Nya, maka itulah pendapat yang sempurna dari umat, sekalipun sesungguhnya Sifat-Nya tidak dapat diceraikan dari Zat-Nya.”

Pikirkanlah mengenai hal ini, sebab sesungguhnya masalah ini merupakan perkara yang sangat halus!

Wujud dan Zat Allah bukanlah fisikal (jism), bukan substansi (jawāhir), bukan aksiden (‘arad), bukan “penyatuan” (ittiḥād), bukan “penempatan” (ḥulūl), dan bukan pula sesuatu yang bersegi (jihah), sebab Ia tidak terbatas (ber-ḥadd), tidak terhingga, tidak baru, dan keadaannya berbeda dari segala sesuatu. Ia berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

Tiada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syūrā [42]: 11).

Lebih lanjut, Allah s.w.t. tidak memerlukan pasangan (sahabat), tidak beranak, dan tidak pula diperanakkan. Allah itu Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan segala sesuatu memerlukan-Nya. Hal ini sebagaimana dalam firman-Nya:

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ. وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Katakanlah: “Dia-lah Allah Yang Mahaesa, Allah adalah tempat meminta. Dia tidak beranak dan tiada pun diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.” (al-Ikhlāṣ [112]: 1-4).

Syahdan, manakala anda membenarkan pandangan bahwa tidak ada yang maujud kecuali Allah, dan wujud dari segala alam semesta tidak lain dari penampakan bagi Wujud-Nya sehingga alam ini tidak mempunyai wujud hakiki dan tidak lebih dari sekadar wujud khayalan dan fatamorgana, maka peliharalah keyakinan anda itu, lalu kemudian dibarengi dengan keyakinan bahwa semua perbuatan makhluk akan fanā’ dalam Perbuatan Allah, semua asma makhluk akan fanā’ dalam Asma Allah, semua sifat makhluk akan fanā’ dalam Sifat Allah, dan semua zat makhluk akan fana’ dalam Zat Allah! Dalam keyakinan ini, tidak akan ada lagi yang tertinggal dari makhluk kecuali hanya khayalan dan wahm semata. Keyakinan seperti ini akan mengantarkan anda untuk melihat hakikat semesta, sehingga segenap perbuatan dan peristiwa yang terselenggara di alam ini merupakan perbuatan-perbuatan Allah. Hamba diibaratkan dengan sebuah benang yang bergelantung pada udara (hawa) yang ditiup angin kesana-kemari. Tiada baginya perbuatan. Demikian juga halnya dengan seluruh asma yang ada di alam ini, semata-mata dilihat sebagai Asma Allah, seluruh sifatnya pun dilihat sebagai Sifat Allah, demikian juga keseluruhan wujudnya dilihat sebagai Wujud Allah. Maka menyatulah anda, ketika itu, dalam laut Aḥadiyyah (Keesaan) Allah; kita tidak mengharapkan anda “terbebas” dari mabuk-laut anda di tengah gelombang samudera Ilahi itu akibat meminum khamar kebenaran, dan kita juga tidak mengharapkan anda siuman dari “mabuk berat Allah” tersebut.

Pada saat anda mencapai “mabuk berat” itu, anda sebenarnya berhasil mencapai maqam fanā’ fi Allāh. Artinya, wujud anda menjadi binasa atau menghilang ke dalam Wujud Allah. Maka kemudian, masuklah ke dalam sebuah kehormatan (khaṭar) yang amat besar, berupa maqam baqā’ Allāh, karena anda sebenarnya belum sempurna bila belum mencapai maqam ini. Maqam baqa’ Allah adalah anugerah yang diberikan Allah s.w.t. kepada anda agar memiliki visi penyaksian seperti itu untuk selama-lamanya.

Sebagaimana telah disinggung di atas, dalam upaya memandang segala wujud ini sebagai penampakan Wujud Allah s.w.t., ada dua cara yang bisa dilakukan:

1. syuhūd al-kaṡrah fi al-waḥdah, artinya memandang yang banyak di dalam yang satu. Pandanglah bahwa wujud segala makhluk ini dapat berdiri semata-mata adalah karena Wujud Allah (qā’im bi Wujūd Allāh). Wujud makhluk ini tidak berdiri secara sendirian. Hal ini sama halnya misalnya kita melihat pohon kayu. Yang kita lihat adalah bahwa pohon kayu itu terdiri dari pohon, cabang, daun, dan bagian-bagian lainnya. Kalau kita perhatikan, semua bagian itu pada awalnya dihasilkan dari satu hal, yaitu biji. Maka lebih-lebih lagi alam semesta sekalian ini, berasal dari Yang Satu, yaitu Allah s.w.t. (Maka renungkanlah!).

2. syuhūd al-waḥdah fi al-kaṡrah, yakni memandang yang satu di dalam yang banyak. Pandanglah bahwa Allah Maujud pada segala partikel wujud (żarrah al-wujūd). Hal ini bisa kita umpamakan dengan melihat sebuah biji, yang mana dari sesuatu ini akan keluar daun, cabang, pohon, dan bagian-bagian lainnya. Maka seperti itu pulalah Wujud Allah Yang Esa. Diri-Nya, memunculkan alam semesta ini. (Maka renungkanlah!).

Renungkanlah kedua cara-pandang ini dengan cara żauqī (perasaan), dan tidak secara qaulī (pengakuan lewat kata-kata) atau lafẓī, sebab lidah, pandangan, dan lafal itu tidak akan memberi manfaat dalam hal ini. Oleh karena itulah, Sayyidī Muṣṭafā al-Bakrī r.a. menegaskan bahwa:

“Sesungguhnya jalan penuntun semua kaum ‘ārif – orang yang mempunyai kebenaran – semoga Allah meridhai mereka semua – bersifat gaib. Penuntunnya ini tidak dapat dicerna oleh panca indera – misalnya tidak bisa dipandang lewat mata – , sebab ia berjalan melalui hati. Ia merupakan hal atau perkara yang gaib.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *