4-2 Tauhid-uz-Zat – Permata Yang Indah (Bagian 2)

الدر النفيس
للشيخ محمد نفيس ابن إدريس البنجاري

PERMATA YANG INDAH
TITIAN SUFI MENUJU TAUḤĪDULLĀH
Oleh: Syekh Muhammad Nafīs Ibnu Idrīs Al-Banjārī

Rangkaian Pos: 004 Tauhid-uz-Zat - Permata Yang Indah

هو

PASAL EMPAT

TAUḤĪD AŻ-ŻᾹT

(Bagian 2)

 

Wujud segala sesuatu jika dinisbatkan (dihubungkan) kepada Wujud Allah Yang Hakiki, niscaya wujud-wujud tersebut menjadi wujud ilutif (khayālī), fantasi (wahm), dan metaforis (majāzī). Sebab, wujud mereka berada di antara “ada” dan “tiada” (‘adam). Wujud yang seperti ini pada dasarnya adalah tiada (‘adam). Dan tiada wujud yang sebenarnya melainkan hanya wujud Allah s.w.t. Menurut ‘Ᾱrif bi Allāh Maulānā as-Sayyid ‘Abd Allāh Ibn Ibrāhīm Mirgānī r.h. di dalam Tuḥfah al-Mursalah:

“Segala yang mungkin maujud secara eksternal (khārijī) pada dasarnya adalah ‘ayn Wujūd al-Ḥaqq s.w.t jua.”

Dengan demikian, realitas wujud mumkin (contingent being) merupakan ‘Ayn Wujūd al-Ḥaqq (Necessary Being), dengan catatan bahwa keduanya secara hakiki adalah berbeda. Bahwa wujud kontingen merupakan esensi dari Wujud Niscaya, diumpamakan dengan buih, ombak, dan kendi, yang ketiganya diidentikkan dengan air. Ketiganya pada hakikatnya merupakan ‘ayn wujud air juga, namun rupanya mereka sudah berbeda dari air tersebut.

Sebagian kalangan ‘ārifīn berpendapat bahwa alam semesta ini adalah salinan (nuskhah) dari al-Ḥaqq ta‘ālā. Sebagian lainnya berpendapat bahwa alam semesta ini merupakan cermin al-Ḥaqq Ta‘ālā. Asy-Syaikh al-Akbar wa al-Kibrīt al-Aḥmar Ibn ‘Arabī q.s. di dalam Fuṣūṣ al-Ḥikam mengatakan:

“Apabila al-Ḥaqq Allah “Ada” pada satu segi (wajh) dari seorang hamba, berarti al-Ḥaqq Lahir di dalam cermin hamba, dan sang hamba tersebut tersembunyi. Sebaliknya, manakala hamba “ada” pada satu segi dari al-Ḥaqq, maka sang hamba menjadi lahir pada cermin al-Ḥaqq, dan al-Ḥaqq tersembunyi.”

Wahai sālik! Coba katakanlah sesuatu yang anda kehendaki dari segala yang maujud, yang dilahirkan ini, dengan segala iktibar yang bertentangan (bersalah-salahan). Jika anda katakan bahwa makhluk yang lahir di dalam cermin al-Ḥaqq ta‘ālā dengan iktibar bahwa keadaan para hamba menjadi wiqayah terhadap Wujud al-Ḥaqq ta‘ālā, maka akan berlaku konsep syuhūd al-kaṡrah fi al-waḥdah, yaitu memandang yang banyak di dalam yang satu. Konsep (ungkapan) ini memang sulit dipahami namun masih dianggap lebih mudah dibanding dengan konsep lainnya. Syaikh Suhāmī q.s. mengakui hal ini:

“Yang menjadi alasan konsep ini didahulukan adalah karena faktor kesulitan bagi akal kalangan awam untuk memahaminya.”

Jika anda katakan bahwa yang tampak itu merupakan al-Ḥaqq, yang berarti bahwa rupa-Nya tampak dalam cermin makhluk, dengan iktibar bahwa keadaan al-Ḥaqq menjadi wiqayah bagi hamba-hambaNya, maka akan berlaku konsep syuhūd al-waḥdah fi al-kaṡrah, yaitu memandang yang satu di dalam yang banyak. Andaikata kedua konsep ini sukar untuk dibedakan maka dapat diberikan perumpamaan sebagai laksana dua cermin yang terletak di suatu arah sehingga tampak memiliki persamaan rupa dalam keduanya. Lahir adalah batin dan batin juga adalah lahir. Anda bisa mengatakan bahwa yang tampak di dalam cermin itu merupakan al-Ḥaqq ta‘ālā ataupun juga makhluk, dengan iktibar bahwa masing-masing dari keduanya lahir di dalam cermin itu. Sebab, segala macam iktibar itu pada dasarnya hanya tetap berada di dalam ilmu al-Ḥaqq, yang tidak dapat dirubah dengan kecondongan pada segala wajh. Jika disebutkan bahwa al-Ḥaqq, Yang lain dari makhluk, jelas, maka hal ini tidak lain hanya sebuah pengertian bahwa alam semesta bukanlah Zat. Anda juga bisa mengatakan bahwa yang tampak itu bukan al-Ḥaqq yang ada pada setiap wajh, dan bukan pula makhluk, dengan iktibar lain di antara dua cermin itu pada satu wajh, yaitu wajh yang membedakan Ilmu itu – sebagai Sifat – dari Zat.

Syaikh ‘Abd al-Ghanī an-Nābulsī q.s. mengatakan bahwa:

“Yang dimaksudkan dengan “keadaan-Nya” itu bukanlah dalam artian bahwa ia merupakan al-Ḥaqq ta‘ālā pada setiap wajah, melainkan hanya menjadi iktibar al-Ḥaqq ta‘ālā pada wajah keadaan-Nya yang maujud. Dan yang dimaksudkan “keadaannya” itu bukanlah makhluk pada setiap wajah, melainkan iktibar makhluk pada wajah keadaannya.”

Anda boleh merasa heran mengenai hal ini, wahai sālik! Sama halnya misalnya anda merasa tidak mengetahui tentang mana yang lahir dan mana yang batin. Sebab, yang lahir di dalam cermin akan menjadi batin, dengan iktibar keadaan diri cermin dengan menilik Yang Lain. Tetapi bila anda mengenal dan memahami segala hal tentang kebenaran yang anda tuntut selama ini. Anda telah mencapai suatu titik pemahaman dari apa yang diinginkan oleh setiap orang yang bertakwa (muttaqīn) tentang tingkatan wujud dengan iktibar Zat dan żuhūr-Nya. Dan jika keyakinan ini ternyata memiliki keterbatasan (taḥdīd) maka itu tidak menjadi persoalan bagi Allah. Alasannya adalah keterbatasan itu sendiri berasal dari-Nya. Rasulullah s.a.w. sendiri mengakui hal ini, dengan mengatakan bahwa Allah dapat saja mengubah atau mengganti (taḥwīl) keadaan dalam segala macam rupa. Syaikh ‘Abd al-Ghanī an-Nābulsī q.s. menyatakan bahwa:

“Keterbatasan yang masih dimaklumi Allah ini adalah keterbatasan dalam konteks bahwa seseorang masih mengakui kenyataan “Ada”-Nya Allah serta batinnya tidak bergeser sedikit pun untuk membenarkan bahwa Allah s.w.t. sejak azali adalah tidak mengalami perubahan.”

Adapun fakta bahwa Allah s.w.t. mengalami perubahan bentuk dalam rupa-Nya dinyatakan dalam sebuah Hadits Rasūlullāh s.a.w.: “Bahwasanya pada Hari Kiamat nanti Allah akan ber-tajjalī (menyingkap) kepada segenap makhluk dalam pelbagai rupa yang selama ini dinafikan dan diingkari,” sembari mengatakan (di dalam al-Qur’ān):

أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى

Akulah Tuhanmu Yang Mahatinggi.” (an-Nāzi‘āt [79]: 24).\

Kemudian para hamba pun menjawab:

نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْكَ

“Kami berlindung kepada Allah daripada-Mu.”

Dengan demikian, pada Hari Kiamat-lah, Allah akan menampakkan Wajah Asli-Nya serta menyingkap dan memperlihatkan rahasia-Diri (tajallī)-Nya dalam bentuk (rupa) yang sesuai dengan iktikad para hamba, sehingga mereka pun bersujud di hadapan-Nya. Semua yang maujud tersebut berada di bawah martabat Ilahi. Semua makhluk tersebut diliputi oleh keterbatasan dan ditampakkan aslinya oleh Allah dalam pelbagai rupa, sekalipun sebetulnya makhluk itu sendiri tidak memiliki rupa yang sesungguhnya. Mereka, dan segenap a‘yān adalah ‘adam (nihil), sebab Yang Ada hanyalah Allah s.w.t. Oleh karenanya, jika keterbatasan berlaku bagi makhluk, maka janganlah mengira bahwa di hadapan cermin al-Ḥaqq Ta‘ālā, keterbatasan tersebut juga berlaku. Hal ini memang tidak begitu jelas disaksikan oleh mata-mata wujud kontingen, tetapi keberadaan hukumnya bersifat pasti. Sama saja kepastian tersebut dilihat dengan cara apa pun, sebab andai pun tiada diyakini, maka kepastian hukumnya tetaplah demikian. Dengan begitu, nalar dan visi wujud kontingen tidak menjangkau secara mutlak atas kebenaran masalah ini, melainkan dengan iktibar ṡubūt (ketetapan) Allah melalui Ilmu-Nya. (Maka renungkanlah! Karena sesungguhnya ini merupakan perkara yang samar).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *